Judul Buku: Dalam Kobaran Api, penulis: Tahar Ben Jelloun, penerjemah: Nanda Akbar Ariefanto, penerbit: Circa (Juni 2019), pimensi: 68 Halaman; 11 x 17 cm, ISBN :978-623-90721-0-0
Neswa.id-Sepanjang narasi sejarah yang dipahami oleh kita semua, kehadiran perempuan sering dipandang sebelah mata. Minimnya potret perempuan dalam sejarah, membuat kita memiliki sedikit referensi tentang peran perempuan. Padahal jika membaca sejarah, khususnya sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-cita kemerdekaan Indonesia, terdapat banyak sekali peran perempuan yang bisa kita baca. Misalnya, dalam Perang Aceh (1873-1910), ada peran Teuku Umar. Cerita-cerita tentang perang tersebut didominasi oleh-nya. Padahal, dibelakang Teuku Umar ada Cut Nyak Dien. Ia melanjutkan perjuangan istrinya itu, meski akhirnya dia ditangkap Belanda.
Begitupun tentang sebuah perjuangan revolusi di Timur Tengah dan Afrika, yaitu Arab Spring. Menukil dari Britannica.com, bahwa gelombang pertama Arab Spring terjadi di Tunisia dan Mesir pada 2010-2011, yang menjadi inspirasi gerakan serupa dan menjalar ke berbagai negera-negara Arab karena merasakan ketidakadilan atas tirani di masing-masing negaranya. Revolusi ini dilatarbelakangi oleh seorang pemuda Tunisia, Mohammed Bouazizi.
Cerita perjuangan Mohammed yang memantik api revolusi Arab Spring ini dituangkan kedalam sebuah novel yang di gubah oleh Tahar Ben Jelloun dengan judul Dalam Kobaran Api terbitan Circa (2019). Novel ini, berkisah tentang keadaan Mohammed yang diserang oleh problematika hidup yang datang dari dalam keluarganya dan keadaan negaranya. Selepas ayahnya meninggal, Mohammed putus asa dan bersipuh kesedihan. Kemudian, ia membakar ijazah strata satunya. Ia menganggap, kalau ijazah itu tak lebih dari tumpukan kertas yang tiada guna untuk mencari pekerjaan yang sesuai. Lalu, ia memilih untuk meraparasi gerobak tua milik mendiang ayahnya dan menggunakannya buat berjualan buah-buahan.
Berbagai masalah dihadapi manakala Mohammed menjajakan buah-buahannya. Mulai penggusuran saat ia berjualan oleh petugas kepolisian, pajak yang mencikik buat menggelar dagangan, hingga penyitaan gerobak miliknya yang dilakukan oleh aparat. Penyitaan itu memuat Mohammed murka.
Kemurkaannya dilakukan dengan hasrat untuk menemui walikota maupun dupetinya. Ia datang ke gedung walikota. Namun, sesampainya disana, ia tidak digubris oleh resepsionis serta dipaksa keluar olehnya. Mohammed bangkit menuju pintu depan, mengguyurkan bensin dari rambut hingga sampai telapak kakinya. Berkobarlah api. Tubuhnya lebam hingga wujudnya sudah tidak nampak seperti manusia lagi. Dari “kobaran api” itu lah, revolusi Arab Spring menggema.
Mungkin sebagian pembaca buku garapan peraih penghargaan Golden Doves for Peace, itu hanya melihat Mohammed saja yang menjadi episentrum terjadinya Arab Spring. Padahal, dalam kehidupan Mohammed ada seorang Zineb, pacar Muhammed. Ia selalu ada untuknya—disamping ada ibu dan keempat adik perempuannya, Zineb berkerja sebagai sekretaris di sebuah kantor dokter dan begitu mencintai Mohammed. Mohammed berpikiran bahwa, pasca menikah mereka akan tinggal di rumah orangtuanya.
Biasanya, mereka berdua mengobrol di sebuah kafe, saling melontar cerita, bercanda, seringkali tawa pecah. Waktu itu, sepupu perempuan Zineb meminjamkan apartemennya untuk mereka.
“Suatu hari nanti,” kata Zineb, “kita akan keluar dari lubang gelap ini. Aku janji padamu. Aku tahu itu. Aku bisa merasakannnya. Kau akan punya pekerjaan yang mapan, aku tidak lagi bekerja untuk dokter hina itu, dan kita bisa memulai kehidupan bersama. Lihat saja.”
“Ya, suatu hari nanti, tapi kau tahu aku tidak akan pernah sudi naik perahu kumuh itu dan menjadi orang illegal. Aku tahu rencanamu: Kanada! Ya, kita semua akan pergi ke Kanada, kita pergi ke tanah surga. Itu sudah ditakdirkan. Tapi sebelum itu aku harus menafkahi keluargaku dulu, merawat ibuku, dan berjuang untuk mendapat lokasi yang bagus untuk gerobak buahku.” Zineb meraih kedua tangannya dan menciumnya. Mohammed pun membalasnya dengan melakukan hal sama (hlm. 17-18).
Kemudian, Zineb selalu mendukung penuh apa yang dilakukan Mohammed, yaitu manakala gerobaknya disita, Zineb berada dibelakang Mohammed. Bahkan di detik-detik Mohammed mengguyur tubuhnya dengan bensin, segala bayangan bergulat diingatannya. Termasuk Zineb. … Zineb yang tersenyum, Zineb yang marah, Zineb yang memohon untuk tidak berbuat apapun; … dirinya sendiri (Mohammed) bersandar di lengan Zineb di bawah pohon… (hlm. 43).
Pada akhirnya, Mohammed meninggal pada 4 Januari 2011. Selanjutnya Zineb memimpin revolusi dengan rambut diikat dibelakang dipadu pekikan lantang juga tangannya terkepal maju kemuka (hlm. 45). Begitulah kisah Zineb yang selalu ada buat Mohammed. Sudah sepatutnya kita memahami bagaimana perjuangan perempuan yang selalu menyokong laki-laki. Kedua insan itu harus saling mendukung, saling melengkapi, dan tidak lupa saling mendoakan, agar tidak ada subordinasi dan klaim dominatif. Demikian. (IM)
Leave a Reply