Part I
Aku mulai mencari dalam setiap lipatan kenanganku yang panjang hingga akhirnya kutemukan langkah pertama yang harus kuambil. Apa yang orang bilang sebagai Islamis, atau dengan kata lain, perasaan yang berbeda, perasaan istimewa dibanding siapapun yang ada di sekelilingnya. Aku mulai bertanya; adakah di antara kita, yang mendapatkan label islamis -atau yang seperti itu-, saat dia masih kanak-kanak? Atau bagaimana jika makna kata islamis itu menyusup ke dalam jiwanya saat memasuki masa remaja, membuat dia lebih memiliki identitas dibanding anak-anak muda lainnya?
-1-
Bita’ Rabbina (Milik Tuhan Kita)
Sepertinya, semua berawal saat aku duduk di bangku kelas 1 Sekolah Dasar. Sekolahku terletak di salah satu sudut kampung kota Zaqaziq, Mesir. Namanya As-Syubban Al-Muslimun, atau para pemuda muslim. Sebelumnya aku pun bersekolah di TK itu selama dua tahun sebelum kemudian masuk SD. Tidak ada yang berbeda dengan SD As-Syubban Al-Muslimun dari sekolah-sekolah lainnya. Hanya satu hal yang istimewa, yaitu bahwa sekolah ini memisahkan kelas laki-laki dan perempuan. Pemisahan kelas ini sudah berlaku sejak tingkat sekolah dasar. Di samping jam tambahan belajar yaitu kelas Al-Qur’an Al-Karim untuk mata pelajaran pendidikan agama Islam.
Pada waktu itu, aku tidak berbeda dari siswa-siswa yang lain. Tidak kelebihan apapun selain suara yang terdengar lebih baik ketika membaca dan menghafal Al-Qur’an. Hal itu karena aku memang selalu berusaha meniru bacaan panjang-pendek (mad) dan bagaimana mendengung (ghunnah ) dari siaran radio yang kudengar sepanjang hari. Akan tetapi ada satu situasi yang aku ingat dengan baik. Kenangan yang membuatku kemudian merasa berbeda dibanding teman-temanku, merasa lebih dari mereka yang ada di sekelilingku.
Suatu hari aku bermain bersama empat orang teman di Nadi Zaqaziq. Kami bermain tenis meja. Bermain secara bergantian di meja yang sama. Salah satu dari keempat temanku yang tubuhnya lebih besar dariku berusaha mengalahkanku, namun aku berhasil mengalahkan dia. Temanku itu berusaha mendorongku secara perlahan, tetapi meskipun perlahan, dorongan itu nyaris membuatku jatuh tersungkur. Secara reflek teman-teman yang lain segera mendorong temanku itu dan berlari ke arahku, berusaha menolong dan menenangkanku. Wajah mereka tampak ketakutan, menatap teman yang mendorongku dengan tajam dan mengatakan sesuatu yang terdengar aneh di telingaku. Aku belum pernah sekalipun mendengar istilah itu, sebelumnya.
“Jangan pernah lakukan itu!”
“Kamu tahu? Ahmad adalah bita’ Rabbina. Dia
milik Tuhan”.
Aku tidak tahu!
Aku terkejut.
Bisa saja aku menjadi sedikit terpengaruh dan memikirkan ucapan mereka. Akan
tetapi apa yang membuatku menjadi “lebih istimewa” dibanding teman-temanku yang
lain?
Mengapa mereka melabeliku bita’ Rabbina?
Karena apa?
Apakah karena gayaku ketika membaca Al-Qur’an?
Atau karena sering berada di masjid ketika jam istirahat?
Entahlah!
Aku tidak tahu.
Akan tetapi yang paling aku tahu adalah ketika aku merasa bahwa manusia itu berbeda-beda, mereka tidak sama. Ada yang bukan bita’ Rabbina, tapi juga bukan orang jahat. Mereka hanya tidak menerima label itu. Tentu saja label itu membuatku bangga dan merasa lebih berharga dibanding siapa pun. Perasaan itu sempat hinggap di hatiku. Namun aku baru mengerti arti label itu beberapa tahun kemudian.
Label itu memiliki arti istikhlaf, atau bisa dikatakan sebagai seseorang yang diangkat menjadi khalifah Tuhan di bumi, seorang manusia pilihan. Sesuatu yang istimewa, meskipun istilah itu juga bisa sejajar dengan makna Rajulud-Din, agamawan. Tiba-tiba saja istilah Bita’ Rabbina itu muncul begitu saja dan menyebar ke semua orang yang mengenalku. Begitu saja. Tanpa rekayasa.
*Bersambung
Diterjemahkan dari novel Yauman Ma Kuntu Islamiyyan, Ahmad Abu Khalil. Terbitan Darul Ma’rifah, Kairo.
Leave a Reply