-2-
Sabachat-Tha’iru
Kami adalah keluarga Islami yang istimewa. Ayahku sudah menjadi anggota organisasi Jama’ah Ikhwanul Muslimin (IM) sejak remaja. Sedang Ibuku adalah putri seorang pembesar Jama’ah IM di kampung beliau tinggal, yang membawahi cabang Ikhwanul Muslimin desa beliau dan desa-desa sekitarnya. Bisa dibilang, kakek adalah pemimpin Jama’ah IM untuk seluruh penjuru Hehya, Zaqaziq. Pernikahan kedua orang tuaku dihadiri puluhan pemuka Jama’ah IM yang hadir dari seluruh penjuru wilayah Timur Mesir. Mereka menghadiri walimahan keduanya, untuk mengucapkan selamat dan mendoakan keberkahan bagi pernikahan suci tersebut.
Di rumah sederhana kami, kuhirup pendidikan Islam dari tape kaset yang akan berbunyi sepanjang hari. Hari di mana televisi bukanlah hiasan jantung rumah kami. Sengaja, untuk menjaga suasana Islami dari dalam rumah.
Ada tiga jenis kaset nasyid yang biasa aku dengarkan, yaitu nasyid yang hanya diputar pada perayaan seperti Afrahun-Nada, atau Afrahul Yarmuk; nasyid anak-anak yang diproduksi oleh Safir, dan nasyid sosial seperti yang dibuat oleh kelompok seni Islam Universitas Manshurah. Saat itu, Universitas ini adalah Ibu kota seni Islam, Pusat seni Islam.
Sabachat-Tha’iru Wakabbar
Burung-burung bertasbih dan bertakbir
Menyanyikan, “Allahu Akbar”
Andai manusia punya mata
Seperti mata burung dia melihat
Kata-kata pertama dari nasyid di kaset Sabbachat-Tha’iru selalu menemani pagiku, ketika matahari terbit dari ufuk timur. Aku dengarkan kicauan burung dari atas pohon yang rindang, pohon-pohon yang berjajar di tepi pantai Tur’ah, pohon-pohon yang menaungi jalanan yang aku lalui -dalam banyak kesempatan- sebelum sampai ke jalan besar, setiap kali berangkat ke sekolah, yang berada di ujung kota yang berbeda.
Sampul kaset nasyid ini menarik hati. Warnanya cerah, dengan gambar anak laki-laki yang terlihat tampan, baik dan enerjik. Anak itu mengenakan topi yang berwarna. Aku merasa anak itu adalah diriku. Anak kecil yang bernyanyi bersama burung-burung itu adalah diriku. Dia mengucapkan syukur dan memuji Allah, seperti makhluk hidup lain yang ada di bumi ini.
Ada banyak lagu di kaset itu, termasuk nasyid yang melantunkan rukun Islam yang lima. Iramanya mengalun merdu dan teduh, sehingga melekat di benak anak yang mendengarkannya. Setiap hurufnya akan terukir di hati sehingga tidak mudah untuk digerus zaman. Seperti lagu,
“Ya ‘arusyah niltal-mabahij kullaha
Chulwan-nasyid washuhbah tahfu laha…”
“Wahai pengantin, engkau dapatkan semua kesenangan.
Lagu yang manis dan kebersamaan yang engkau sukai”
Atau lagu,
“’Am ya ‘Am ya Walid haykis-shabah
Bidi ya ‘Am takun li zaujah syar’iyyah”
“Paman wahai Paman, Wahai Ayah gadis kecil ini
Dengannya, Wahai Paman aku memiliki istri yang sah”
Dan tentu saja lagu
“Ya Jamalu…. Ya Jamalu…. Ya Jamalu….
Wa’arisuna ma baina ahbabu…”
“Betapa indahnya
Pengantin kita ada di antara semua yang dia sayang”
Sebenarnya, bagiku lagu-lagu itu hanya tabuhan, hanya senandung musik. Gerakan dua tangan yang memukul benda padat, atau apapun yang ada di hadapannya seperti sebuah gendang. Kemudian masuk ke dalam lantunan nasyid yang syahdu dari kaset. Aku sendiri tidak terlalu mengerti makna untaian syair nasyid-nasyid itu.
Lagu-lagu itu berbeda dengan nasyid Universitas Manshurah. Seperti nasyid ini:
Bainal jannah wabainan-nar
Leh an-nas daiman tahtar
Antara Surga dan Neraka
Mengapa manusia harus selalu memilih
Fakir chabbah wasyaggil aqlak
Syuful ahsan eh wakhtar
Pikirkan sejenak gunakan akalmu
Lihat mana yang terbaik dan pilihlah
Kholi lisanak daiman thohir
Ew’al-ghibah walahma akhuk
Jaga lidahmu untuk tetap suci
Jangan sampai bergunjing atau mencicip daging saudaramu
Lamma taqulal-khoir bilisanak
Kullu ikhwanak hayuchibbuk
Ketika kau mengatakan kebaikan dengan lidahmu
Semua saudara akan mencintaimu
tachfad ghibatahu taruhul-jannal
tanhasy lachmahu taruchun-nar
menjaga diri dari bergunjing akan membuatmu masuk surga
(namun) jika kau cicip daging saudaramu, kamu akan masuk neraka
Fakir chabbah wasyaggil aqlak
Syuful ahsan eh wakhtar
Pikirkan sejenak dan gunakan akalmu
Lihat apa yang terbaik bagimu dan pilihlah
Bait-bait nasyid ini mengajak pendengarnya untuk melakukan shalat dan mengingatkan untuk tidak meninggalkan shalat atau memberikan peringatan bahaya rokok. Dia mengajak para perokok untuk tidak merokok lagi. Bisa dikatakan nasyid-nasyid ini memberikan tuntunan tentang apa yang mesti kita lakukan, seperti menjalankan perintah Allah atau meninggalkan larangan-Nya. Termasuk mengajak pembaca untuk berfikir dengan akal sehat sebelum melakukan sesuatu, “Apakah ini akan membawaku ke surga atau justru ke neraka?”
Selain itu, ada juga nasyid-nasyid yang menjelaskan kelompok-kelompok tertentu, seperti menjelaskan tentang gadis-gadis kampus, seperti;
Wadunnak lachdhah ya bintal-jami’ah
Bas ya ritak shachiyyah wasami’ah
Hai mahasiswi, kumohon kepadamu sejenak
Kuharap kamu sadar dan mau mendengarkan
Hiya nashichah waqalbi ‘alaiki
Ana ‘aizak tabqan-nur wasy-syam’ah
Nasehatku ini karena aku peduli kepadamu
Aku ingin kamu tetap menjadi cahaya dan lilin yang menyala
Kharijah as-shubcha walabisatul-maudhah
‘Amilah finafsik ajmalaz-zinah
Engkau keluar rumah pada pagi hari dengan model baju yang keren
Engkau hiasi dirimu dengan perhiasan terindah
Raichah tutammi hunak ta’limak
Wala hataqfi fil-fatrinah?!
Engkau berangkat ke kampus untuk menyelesaikan pendidikanmu
Atau, sebenarnya engkau tengah menghentikannya?!
Leh betizidin-nar al-wali’ah?!
Bas yaritik shachiyah wasami’ah
Mengapa engkau tambahkan nyala apinya?!
Kumohon kamu tetap sadar dan mendengarkan
Elle biyesyghal balik maudhah
Thali’ah jadidah bitejri waraha
Jiwamu hanya sibuk memikirkan model dan gaya bajumu
Jika ada yang baru, engkau akan segera mengejar untuk mendapatkannya
Wala riwayah tasyuddu ‘awathifik
Taqdhil-laila sahranah ma’aha
Atau sibuk dengan novel-novel yang mampu menarik minatmu
Yang akan membuatmu bergadang semalaman untuk membacanya
Baina da wabaina dih hayatuk dhayi’ah
Bas ya retik shachiyah wasami’ah
Engkau telah menyerahkan hidupmu dalam batas antara ini atau itu
Kumohon kamu sadar dan mendengarkan
Nasyid-nasyid itu masih terus berbicara tentang mahasiswi, yang kemudian ditutup dengan wasiat agar mereka menjaga diri, mengenakan hijab, dan memikirkan masa depan mereka sebagai ibu yang akan menjadi pendidik generasi selanjutnya yang sangat dibutuhkan oleh umat.
Ada nasyid yang meresap masuk ke dalam jiwaku, yaitu nasyid yang berbicara tentang ummat, meskipun sebenarnya maknanya cukup berat dan membebaniku. Bait-baitnya seperti ini:
Ayyam wara ayyam
Wasinin tamurru awwam
Hari demi hari
Tahun berlalu diikuti tahun-tahun selanjutnya
Qulu li ’amilna eh…. likhidmatil-Islam
Qulu li ‘amilna eh…. likhidmatil-Islam
Katakan padaku, apa yang harus kami lakukan untuk berkhidmah melayani Islam
Katakan padaku, apa yang harus kami lakukan untuk berkhidmah melayani Islam
Penggalan nasyid itulah yang membuatku kemudian memutuskan untuk mengenakan surban di atas kepala, dan menyimak dengan seksama pesan-pesan yang disampaikan oleh para pelantun nasyid.
Al-muslimin malayin
walil-asif nayimin
Jumlah orang Islam sangat banyak
Sayangnya mereka tertidur
‘Ayisyin fi dunyal-ghab
bainal wuchusy sakinin
Mereka hidup dalam dunia yang tak kasat mata
Tinggal dalam damainya kejahatan
Nasyid-nasyid itu juga melakukan kritik sosial. Mengkritik koran, TV, dan anak muda yang tersesat karena mengikuti arus Barat atau Timur, mengikuti gaya Amerika atau Rusia. Pada awalnya, aku hanya memahaminya secara global saja, namun dua atau tiga tahun kemudian pemahamanku akan tema-tema nasyid itu semakin jelas, terutama ketika usiaku memasuki angka sepuluh tahun.
Banyak nasyid yang kusuka namun baru bisa memahami maksudnya beberapa tahun kemudian, ketika memahami hal yang “istimewa” di masyarakat. Misalnya, orang yang merokok atau perempuan yang berdandan adalah orang berpaling dari jalan Tuhan. Mereka melakukan itu bukan karena mereka bukanlah “bita’ Rabbina”, akan tetapi mereka lalai, menyimpang dari jalan-Nya, dan tidak mengabdikan hidup mereka untuk Islam. Dan setiap kali melihat mereka, aku akan merasa sangat marah!
Aku teringat, di sekolah dulu ada guru menggambar yang mengenakan make up tipis dan terlihat natural. Make ituberhasil membuatku tidak menyukai jam pelajaran beliau. Meski teman-temanku berkata bahwa beliau adalah guru yang lembut, akan tetapi bagiku beliau adalah guru yang buruk. Aku sungguh tidak bisa memahami pendapat teman-temanku itu.
Aku menyusun kaset-kaset perak ini berdasarkan urutannya. Nasyid-nasyid itu aku dengar dan pahami dengan baik. Ada satu bait nasyid yang membuatku harus berpikir keras untuk memahaminya. Bait itu berbunyi:
“Ya Musafir ma ta’khudzni ma’ak
Dah ana ‘umri ‘isytuhu waiyyak
Ya ma bukrah tawachchasyna katsir
Wanahnu tani liru’yak
Ya musafir ma ta’khudzni ma’ak”
Wahai musafir mengapa tak kau ajak aku bersamamu
Ini aku. Telah lama aku jauh darimu
Duh, tentu esok kita kan saling merindu
Dan kita pasti akan berjumpa
Wahai musafir, mengapa tak kau ajak aku bersamamu
Meski biasa, tetapi nasyid ini menarik perhatianku. Awalnya aku tidak menyadari perasaan yang ingin diungkapkan dengan lagu ini. terdengar biasa saja. Namun kemudian, aku menyadari adanya “perasaan tidak biasa” ketika mendengar lagu ini. Menurut Ibu, musafir dalam lagu itu adalah seseorang yang sedang dipenjara, tetapi tidak menjelaskan siapa sosok yang dimaksud, yang sedang berada di dalam penjara itu!
Tentu saja, pertanyataanku tak berhenti sampai di situ, aku pun bertanya apa itu penjara. Namun Ibu hanya menjelaskan semampunya saja. Jawaban yang membuat gambar imaginasi sederhana di kepala kanak-kanakku. Yaitu, sebuah konsekwensi dari sikap yang akan dilakukan orang dengan label Bita’ Rabbina, ketika beribadah, berdoa, orang yang selalu mendirikan shalat, tidak rokok, mengenakan hijab, dan memberikan perhatian besar kepada umat Islam. Akan tetapi sikap itu membuatnya memiliki musuh.
Siapakah musuh itu?
Aku tidak tahu.
Akan tetapi, para musuh itu akan berusaha membuat kamu yang memiliki label bita’ Rabbina berpaling dari jalan yang sedang kamu tempuh saat ini!
Nasyid anak-anak hanya akan membahas ibadah dan pendidikan dasar agama. Sementara nasyid remaja lebih membahas hubungan dengan masyarakat serta bagaimana berinteraksi dengan orang lain, termasuk makna umat dan permasalahan kontemporer yang banyak menyita perhatian.
Akhirnya, muncul juga masalah. Masalah besar, yang paling menyita perhatian, yaitu tentang orang yang dipenjara. Tetapi aku tidak mengerti apa istilahnya!
Menurutku, ini adalah Ruba’iyyat. Aku mulai bisa memahami gambaran utuh siapa diriku sesungguhnya, bagaimana posisiku sebagai bita’ Rabbina. Maka, aku pun mulai memahami kehidupan yang ada di sekitarku.
*Bersambung
Leave a Reply