Wacana Kritis Perubahan Sosial Intelektual Perempuan

/
/


Neswa.id- Siapa saja yang mengetahui bagaimana seluruh bangsa sebelum Islam mengutamakan pria, dan menjadikan wanita sekadar barang bergerak dan mainan pria? Lebih jauh, akan tampak jelas baginya bahwa klaim orang-orang Eropa sebagai pihak pertama yang menghromati wanita dan memberinya kedudukan sederajat adalah salah. Sebab, Islam sudah lebih dulu sebelum mereka dalam malasah ini; dan bahkan sekalipun demikian, hukum-hukum dan tradisi-tradisi agama mereka terus menempatkan pria diatas wanita. Yang pasti, kaum Muslim telah salah dalam mendidik dan melatih wanita, pun memperkenalkan mereka dengan hak-hak mereka, dan kita akui bahwa kita telah gagal mengikuti petunjuk agama kita, sehingga kita menjadi argumen yang menentangnya.

Muhammad Abduh berargumen bahwa aturan-aturan yang mempengarui wanita, semisal mengenai poligami dan perceraian, seperti adat-istiadat “terbelakang” dan “rendahan” yang menyebabkan umat Islam terpuruk dalam keadaan kejahilan tercela, bersumber bukan dari Islam, melainkan dari kerusakan dan salah tafsir yang menimpa Islam selama berabad-abad. Regenerasi umat Islam sebagai keseluruhan terletak kembali kepada dasar-dasar Islam.

Mengkritisi hal diatas dalam buku Unveiling in Egypt: Fashion, Seclusion, and Change, milik Beth Baron mengatakan, ada banyak referensi mengenai perubahan-perubahan dalam cara pandang Islam dalam memandang tentang perempuan dan pakaian wanita selama tahun-tahun pertama dalam abad baru, dan sebagaian perubahan ini jelas sudah berlangsung pada 1890-an. Komentar-komentar yang dilontarkan di abad baru menunjukkan bahwa wanita-wanita kelas atas yang berpergian ke Eropa pun terbiasa tidak mengenakan hijab, sebab mereka mengenakan hijab hanya ketika ada di rumah di Mesir. Di kalangan kelas ini, hijab menjadi lebih ringan dan lebih transparan, tampaknya meniru model-model di Istanbul.

Perubahan-perubahan yang sedang terjadi pada wanita sama jelasnya bagi orang-orang sezaman dengan perubahan-perubahan dalam pakaian sekalipun mungkin tidak begitu mudah ditunjuk atau dirangkum sebagai tanda-tanda perubahan. Kaum wanita, yang kini lebih tampak ditempat-tempat umum, tidak sekadar berjalan-jalan menikmati udara segar, melainkan juga seperti diamati Qassim Amin, “Keluar untuk menyelesaikan berbagai urusan mereka”.

Pada 1890-an, seruan akan lebih banyak pendidikan bagi wanita dan seruan akan pembaruan yang mempengaruhi status mereka jelas-jelas terdengar. Kaum wanita mulai menampilkan kasus mereka sendiri dalam berbagai surat kabar dan majalah untuk wanita yang terbit 1890-an dan bahkan sebagian seruan telah terbit dalam bentuk cetakan di awal abad itu. Penyair ‘Aisyah Taymour, misalnya, menerbitkan sebuah karya, Mir’at at-Ta’amul, yang mengkritik prilaku pria kelas atas pada istri-istri mereka, pada 1874.

Tidak ada hubungan yang bersifat intristik atau mesti antara isu wanita dan isu kebudayaan, sebagaimana di tunjukkan oleh sejarah feminisme Barat. Warisan androsentrisme dan misogini Barat, sekalipun berbeda dalam berbagai kekhususannya, bagaimanapun tidak lebih baik dari apa yang ada dalam berbagai kebudayaan lainnya, termasuk yang islami. Sebagaimana yang pernah diungkapkan oleh feminis asal Maroko, Fatimah mernissi, yang dalam tuturannya ia mengingat berbagai peristiwa seperti perumusan ribuan wanita tukang sihir, formula Fatima mernissi yang menggambarkan bagaimana tatanan Musim membayangkan musuh-musuhnya, “orang kafir di luar dan wanita didalam”. Sekurang-kurangnya cenderung menggambarkan masa lalu Eropa.  (IM)


Avika Afdiana Khumaedi Avatar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *