Judul Buku : Pesantren & Gerakan Feminisme di Indonesia, Penulis : Saipul Hamdi, Penerbit: IAIN SAMARINDA PRESS, Tahun terbit: Cetakan 1, Januari 2017, Jumlah halaman: 156, ISBN: 978-602-73602-3-5
Neswa.id- Sudah menjadi bagian dari tradisi keilmuan, bahwa hadirnya sejarah transmisi Al-Qur’an membawa pengaruh yang sangat besar dalam proses kehidupan sosial masyarakat khsusnya dikalangan umat Islam. Seperti yang kita ketahui, hadirnya Al-Qur’an bukan saja sebagai landasan teologi, tetapi juga banyak menyimpan ragam pemahaman yang disebabkan oleh beberapa penafsiran yang dilakukan para pemikir muslim.
Hadirnya buku Pesantren dan Gerakan Feminisme di Indonesia, menjadi salah satu sumber yang memberikan pemaparan tentang adanya wacana feminisme dalam fase perkembangan Al-Qur’an dengan beragam bentuk metode dan coraknya. Metode yang dimaksud di sini adalah sebuah penafsiran yang merupakan hasil dari pemikiran manusia dalam memahami sebuah teks. Meskipun demikian, adanya penafsiran ini tentu tak lepas dari beberapa hal yang secara tidak langsung dapat memberikan pengaruh terhadap penafsirannya.
Sejarah membuktikan bahwa peran laki-laki telah mendominasi sejak awal hadirnya Islam hingga pada masa perkembangan masa kini. Peran laki-laki setidaknya sudah terlihat dalam penerimaan teks-teks Al-Qur’an dan periwayatan hadis Nabi yang menjadi sumber utama hukum-hukum Islam. Adanya keterlibatan ini, tentu mejadikan posisi laki-laki terbilang mapan (menguasai peran) dan tidak tersaingi oleh kaum perempuan. Tetapi dalam hal ini, adanya kemapanan tersebut menjadikan dampak negatif karena disalahgunakan dan di klaim bahwa merekalah yang punya otoritas tinggi dalam menafsirkan teks tanpa mempertimbangkan apakah adanya bias gender atau tidak.
Hadirnya posisi ini tentu menjadi problem, karena dalam proses penafsiran tentu tak lepas dari adanya kepentingan politik dan disalahgunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Dari sinilah kemudian muncul penafsiran yang mendomestikasi perempuan yang menempatkan mereka pada ruang yang terbatas sehingga terjadi kesenjangan jauh antara laki-laki dan perempuan. Hasil tafsiran mereka sebagian mengandung bias gender, sementara tafsiran mereka inilah yang diwarisi dan dikonsumsi oleh kalangan masyarakat muslim seluruh Dunia termasuk di Indonesia.
Hamdi menjelaskan, adanya dominasi laki-laki sebagai pemegang arah pemikiran tentu akan melahirkan sikap diskriminatif dan eksploitatif terhadap perempuan. Asumsi inilah yang kemudian melahirkan berbagai stigma terhadap perempuan seperti dalam beberapa sekte-sekte agama yang beraliran fundamentalis-radikalis yang memandang perempuan sebagai mahluk yang inferior dari segi intelektual, terlalu berperasaan, dan emosional, serta lemah karena pengaruh fisik yang berbeda.
Secara garis besar memang budaya patriarki ini lahir dalam berbagai aspek, namun dalam konteks ini adanya penafsiran-penafsiran ini sangat berpengaruh termasuk dalam proses kehidupan sosial dan budaya masyarakat. Karena dalam proses pembentukan karakter dan pola pikir tentu hadirnya berbagai macam penafsiran al-Qur’an menjadi salah satu pijakan kuat dalam memahami isi Al-Qur’an. Maka dari itu, adanya penafsiran yang bias gender menjadi salah satu unsur utama adanya buadaya patriarki dalam struktur peran sosial antara laki-laki dan perempuan.
Tetapi, adanya ungkapan yang mendiskreditkan perempuan dalam beberapa penafsiran tidak mejadikan itu sebagai satu-satunya penyebab, karena setiap orang melihat adanya penafsiran ini tak lepas dari konteks sosio-kultural yang sesuai apada masa itu. Lebih dari itu, masyarakat patriarkilah yang mempunyai tanggung jawab besar terhadap status inferior perempuan selama ini. Mereka juga harus bertanggung jawab atas tafsiran teks-teks skriptual agama yang meyimpang dari spirit dan esensi teks yang sebenarnya.
Keyataan ini mejadi bukti adanya politisasi teks oleh kaum patriarki yang notabennya sebagai kaum intelektual Muslim. Politisasi teks ini tentu berdampak pada arah pemikiran dan hilangnya esensi dan spirit teks kitab suci sebagai alat pembebasan perempuan. sebaliknya lahir sebuah pemahaman yang menilai bahwa kitab suci memiliki sifat yang membatasi hak-hak perempuan. Meskipun demikian, wacana feminisme Islam ingin menggali lebih dalam tentang adanya pembebasan dengan melakukan deskontrusi dan reinterpretasi teks, karena Al-Qur’an sendiri aslinya sangat revolusioner terhadap perbaikan nasib perempuan.
Dengan demikian, kita semua mengetahui bahwa dalam transmisi penafsiran Al-Qur’an mempunyai berbagai problem termasuk didalamnya penafsiran-penafsiran yang bias gender. Padahal, Al-Qur’an sendiri merupakan kitab suci pertama dalam sejarah manusia yang mengakui perempuan sebagai entitas yang sah dan diberi hak-hak dalam berbagai bentuk seperti perkawinan, harta dan warisan. Dari sinilah integritas al-Qur’an dalam membangun peradaban perempuan, sebagai bagian dari insan yang mulia dan berkedudukan tinggi. (IM)
Leave a Reply