Banyak hal yang menjadi tanggung jawab kita bersama atas keselamatan baik diri kita sendiri dan lingkungan sekitar di masa sulit outbreak virus Covid-19 ini. Tulisan ini membahas bagaimana penyebaran Covid-19 di Indonesia menjadi tanggung jawab bersama sekaligus tanggung jawab pribadi kita yang merupakan salah satu bentuk dari pengamalan iman, Islam dan ihsan yang kita yakini.
Sejak bermulanya virus ini di Wuhan China Desember 2019 lalu, penyebarannya belum bisa dihentikan hingga saat ini dan bahkan dinyatakan sebagai pandemik global WHO. Di Indonesia, kita sudah mendapatkan angka-angka sebaran virus Covid-19 di berbagai daerah, dan angka tersebut terus menunjukkan peningkatan. Karena ketidaksiapan bangsa kita dalam berbagai hal, disinyalir bahwa resiko penyebaran virus Covid-19 di Indonesia dua kali lipat dibandingkan penyebarannya di Italia bahkan di China.
Meski terbilang terlambat untuk saat ini, edukasi sosial tentang virus Covid-19 termasuk bahaya sekaligus bagaimana menghadapinya penting untuk dilakukan guna meningkatkan kesadaran individu dalam menjaga keselamatan diri dan orang lain. Selain itu, saat diberlakukan peraturan social distancing, masyarakat tidak lantas menggunakan masa bekerja dan bersekolah dari rumah namun kesempatan ini justru digunakan untuk berlibur dan berwisata.
Di Amerika Serikat, seperti apa yang didapatkan dari pengalaman penulis sendiri, meskipun masih banyak kritik atas kebijakan pemerintah seperti dihilangkannya alokasi anggaran untuk pandemi global dan berbagai kritik kebijakan kepemimpinan Trump lainnya, di Buffalo New York Amerika peringatan bahaya virus Covid-19 dan cara menghadapinya terstruktur dengan baik. Sebagai contoh, masyarakat di sini mendapatkan beragam email dan peringatan dari berbagai pihak terkait dengan identitas seperti tempat tinggal, sekolah, kantor, bank, dan lain sebagainya sejak virus Covid-19 mulai menyebar sampai bagaimana kemungkinan jika terjadi outbreak di sini. Hal ini cukup untuk menjadi alerts atau peringatan bagi semua masyarakat untuk membatasi diri untuk keluar rumah dan waspada ketika berinteraksi kecuali untuk hal yang sangat mendesak.
Di Indonesia edukasi mengenai bahaya dan penanganan virus Covid-19 seperti ini seharusnya bisa sampai ke pemahaman masing-masing individu dan keluarga melalui berbagai saluran daring dan konvensional yang kita miliki. Dimulai dari kampanye sosial media sampai unit-unit saluran terkecil masyarakat seperti RT, sekolah, kelompok pengajian dan berbagai kelompok sosial lain lainnya. Hal ini bukanlah untuk memantik kepanikan di tengah masyarakat melainkan untuk menanamkan kesadaran betapa perilaku individu kita dapat berpengaruh pada kesehatan dan keselamatan kolektif masyarakat Indonesia dari virus Covid-19.
Berbagai sumber menjelaskan bahwa penderita infeksi virus Covid-19 dapat tidak menunjukkan gejala apapun selama masa inkubasi virus di dalam tubuhnya. Parahnya, meski tidak merasakan gejala apapun saat terkena virus, yang bersangkutan dapat menjadi penyebar virus. Hal ini juga menunjukkan kelemahan deteksi temperatur suhu tubuh karena masih dapat melewatkan mereka yang sudah terpapar virus dan berpotensi menjadi penyebar virus meskipun belum mengalami demam tinggi dan gejala Covid-19 lainnya. Demikianlah mengapa satu orang bisa menjadi penyebar virus tanpa ia sadari dan seterusnya berlanjut ke orang lain. Jika penyebar virus Covid-19 yang merasa “sehat” ini berinteraksi dengan orang-orang yang rentan seperti mereka yang lanjut usia maka orang lanjut usia lah yang memiliki resiko kematian lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang masih muda, sehat dan bugar.
Konsekuensinya jika virus tersebar tak terkendali dan jumlah korban terinfeksi jumlahnya kian berlipat dalam waktu singkat, rumah sakit kita akan kewalahan. Seperti yang disebutkan dalam Coronavirus: Why You Must Act Now di medium.com, jika terlalu banyak pasien yang membutuhkan penanganan serius sedangkan fasilitas kesehatan terbatas, bisa kita bayangkan pihak medis akan memilih siapa yang dapat dan siapa yang tidak dapat di selamatkan. Hal ini juga yang sudah terjadi di beberapa negara dengan major outbreak Covid-19, sehingga mengisolasi diri selama sedikitnya 14 hari menjadi pilihan terbaik saat ini.
Dengan melakukan social distancing, saya rasa kita bisa menyepakati untuk mengambil pelajaran bersama, yakni mencegah lebih baik dari pada mengobati dan kita semua berupaya untuk melindungi orang-orang yang lebih rentan dari penyebaran virus Covid-19.
Lalu apa hubungan social distancing sebagai upaya kita memerangi virus ini dengan ihsan, yang di dalam ajaran agama Islam menjadi sumber keimanan kita terhadap Tuhan?
Hal itu tentu saja berawal dari percakapan di media sosial kita yang acapkali mengangkat perdebatan mengenai keimanan kita kepada Allah SWT yang dipertentangkan dengan kehati-hatian kita pada bahaya virus Covid-19. Beberapa unggahan foto di media sosial mengkritik pembatasan shalat berjamaah di masjid sebagai bentuk dari pengekangan pelaksanaan ibadah umat Islam dan ketidakpercayaan terhadap takdir Allah SWT.
Dari banyaknya perspektif yang muncul di media sosial terkait hal ini, menurut saya bahwa ilmu dan pemahaman kita mengenai konsep ibadah dan bentuk penghambaan lain kita kepada Allah masih perlu kita perdalam dan perluas. Di dalam pelaksanaan ibadah dan sesembahan kita kepadaNya, hendaknya kita juga menerapkan konsep ihsan. Dengan ihsan sebagai pengamalan dari iman dan Islam dalam peribadatan kita, kita dapat menumbuhkan sebuah pemahaman bahwa Islam tidak pernah mempertentangkan agama dan ilmu pengetahuan. Sehingga kita akhirnya dapat memiliki pemahaman bersama bahwa bersikap hati-hati untuk menjaga keselamatan masing-masing jiwa di tanah air adalah bagian dari perilaku agamis, dan hal tersebut sama sekali tidak bertentangan dengan ilmu pengetahuan sebagai media kita mengetahui perkembangan virus Covid-19 ini.
Termaktub dalam hadist Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam riwayat Muslim, radhiyallahu anhu penjelasan mengenai ihsan,
”Hendaklah engkau beribadah kepada Allah seakan-akan engkau melihatNya. Kalaupun engkau tidak melihatNya, sesungguhnya Dia melihatmu.”
Ihsan, dalam penjelasan singkatnya, menjadi tolok ukur dari berkualitas atau tidaknya keimanan kita kepada Allah. Kualitas ihsan kita menentukan kualitas diri, akhlak dan pribadi kita baik ketika sendiri atau beramai-ramai. Karena saat sendiri atau saat ramai, seakan kita dapat melihat Allah, atau di saat kita masih berada pada tataran awam dan tidak bisa melihat Allah, kita percaya Allah pasti melihat kita.
Menggunakan perspektif ihsan dalam mencegah penyebaran virus Covid-19 merupakan salah satu kebaikan sebagai penanda keimanan yang bisa kita lakukan untuk menjaga keselamatan diri dan orang lain. Bisa jadi, saat terserang virus kita belum atau tidak merasakan gejala yang menghambat kita dari beraktivitas di ruang publik, dan di saat yang bersamaan kita bertemu dengan berbagai orang yang sangat mungkin rentan terhadap virus Covid-19. Selain itu, pemaknaan ini juga sejalan dengan kaidah ushul fiqih, la dharara wa la dhiror, tidak melakukan hal yang dapat membahayakan diri sendiri dan orang lain.
Pada akhirnya, menunda kenikmatan beribadah kita di masjid dan di berbagai ritual keagamaan lain yang biasa kita lakukan saat ini bisa jadi merupakan penanda kuatnya keimanan kita kepada Allah, yakni, bentuk pelaksanaan ihsan kita kepada sesama sebagai wujud dari keimanan kita kepadaNya.
Allahu a’lam bisshawab.
Leave a Reply