Neswa.id-Pernahkah kamu mendengar istilah vaginismus? mungkin kata tersebut masih terdengar asing di telinga. Bahkan saya sendiri baru mendengar istilah tersebut setelah secara tidak sengaja melihat video di sebuah platform media sosial yang kreatornya menceritakan pengalamannya sebagai vaginismus survivor. Sebut saja namanya Lani.
Lani bercerita dalam video tersebut bahwa selama tujuh tahun menikah, dia bersama suaminya tidak berhasil melakukan penetrasi dalam hubungan seksual sebagaimana layaknya suami istri yang lain. Pasalnya, Lani selalu merasa kesakitan ketika penetrasi tersebut akan dilakukan. Mereka sudah mencoba berbagai cara namun tetap tidak berhasil.
Lani sudah mencoba berkonsultasi dengan keluarga, kerabat orang-orang terdekat dan bahkan beberapa dokter, namun nihil. Mereka tidak memberikan solusi, sebaliknya Lani semakin tertekan karena kebanyakan dari mereka menyalahkan Lani karena dinilai terlalu tegang atau kurang rileks. Setelah sekian banyak dokter yang mereka temui, akhirnya ada satu dokter yang mengenali kondisi Lani sebagai Vaginismus.
Vaginismus: Apa dan Bagaimana?
Jika anda mengetikkan kata “Vaginismus” di mesin pencari, maka akan keluar definisi bahwa vaginismus adalah kondisi medis yang ditandai dengan pengencangan otot-otot di sekitar vagina secara tidak sadar. Kekakuan otot ini terjadi saat sesuatu seperti tampon, jari, penis atau alat medis mencoba menembus vagina. Kekakuan atau kejang otot ini kemudian menimbulkan kondisi yang tidak nyaman dan sangat menyakitkan. Pada kasus yang lebih ekstrim bahkan dapat menyebabkan mual, muntah, kesulitan bernafas bahkan pingsan.
WHO mengelompokkan vaginismus ke dalam penyakit organ reproduksi dan saluran kemih dalam hal ini vagina. Mengapa disebut penyakit? Karena dalam kondisi normal otot dinding vagina berada dalam kondisi relaksasi sehingga memungkinkan untuk terjadi penetrasi kapan saja. Bahkan dalam situasi yang tidak diinginkan seperti pemerkosaan.
Sebaliknya, Vaginismus memberikan kondisi yang berbeda pada vagina, sehingga penderita tidak mampu mengendalikan otot-otot vagina tersebut meski mereka sudah berusaha. Menurut cerita dari beberapa vaginismus survivor, kekakuan tersebut bahkan terjadi saat mereka dibius total. Artinya, rileks atau tidaknya pikiran tidak memberikan pengaruh.
Jarang terdengar bukan berarti tidak ada. Salah satu dokter penggiat vaginismus yaitu Dr. Robbi Asri Wicaksono, SpOG mengatakan bahwa penderita vaginismus berkisar antara 7-17% populasi perempuan. Sebuah angka yang tidak kecil. Apalagi masih banyak perempuan yang tidak tahu akan kondisi tubuhnya sendiri ketika mengalami vaginismus. Mereka merasakan keluhan, namun memilih diam karena masih menganggap tabu masalah ini.
Menurut Dr. Robbi juga, hingga saat ini belum ada penelitian ilmah yang mengetahui secara pasti penyebab vaginismus. Awal mula penderita mengalami keluhan vaginismus juga bermacam-macam. Vaginismus primer adalah mereka yang merasakannya saat awal melakukan penetrasi, baik seksual maupun non seksual/medis. Ada juga kelompok vaginismus sekunder yang merasakan kesulitan penetrasi setelah mereka melahirkan baik pervaginam maupun caesar padahal sebelumnya penertasi lancar saja, bahkan bisa terjadi saat sudah melewati menopause. Artinya, vaginismus bisa menyerang siapa pun dan kapanpun.
Karena penyebabnya belum diketahui, maka pencegahannya pun belum diketahui. Satu-satunya cara adalah konsultasi kepada dokter yang ahli di bidang tersebut dan melakukan terapi yang dinamakan terapi dilatasi. Tentu ini dengan pengawasan dokter. Satu yang pasti, vaginismus bisa disembuhkan.
Vaginismus pada Perempuan: Stigma hingga Merasa Diri Tidak Berharga
Sebenarnya, konsekuensi medis dari penyakit ini tidak terlalu membahayakan selama pasien aware terhadap gejalanya dan melakukan terapi untuk kesembuhan. Justru yang lebih berbahaya adalah konsekuensi psikis. Psikiater Elvine Gunawan mengungkapkan bahwa pasien dengan penyakit vaginismus yang datang berkonsultasi dengannya sudah berada pada kondisi kejiwaan yang hancur.
Perspektif dan stigma bahwa hubungan seks itu adalah untuk melayani dan memuaskan suami sudah mengakar kuat di masyarakat. Karena itu, perempuan yang tidak bisa mewujudkan hal tersebut dianggap durhaka pada suami, termasuk penderita vaginismus. Setiap mereka bercerita tentang keluhannya, ujung-ujungnya mereka yang disalahkan.
“Masa sih gak bisa, itu kan enak. Kalah sama anak SMP”.
“Masa sih bu gak bisa, kasihan lo bapaknya. nanti kalo nikah lagi gimana, ibu ditinggalin”.
“Kurang rileks aza itu, ayo dong berusaha. Kasian suaminya lo”
Komentar-komentar seperti itu lah yang kemudian membuat penderita merasa frustasi bahkan depresi. Mereka kemudian merasa menjadi wanita yang tidak utuh, tidak berharga, bahkan merasa tidak pantas hidup. Jika support system tidak baik dan suami menvalidasi saja komentar-komentar negatif tersebut, tidak jarang akhirnya perempuan menjadi korban ketidakadilan seperti KDRT, poligami dan perceraian.
Tabu Masalah Seksualitas
Membicarakan seksualitas masih dianggap tabu oleh kebanyakan masyarakat kita. Terbukti dengan sedikitnya informasi yang bisa kita akses terkait vaginismus.Bahkan tenaga medis pun banyak yang belum mengetahui perihal vaginismus. para penderita pun kebanyakan tidak langung bisa mengetahui sebenarnya apa yang terjadi dengan tubuhnya, perlu waktu, biaya dan tenaga sekian lama sampai mereka menemukan jawaban atas keluhannya.
Ketidaktahuan itulah yang menyebabkan beredarnya mitos dan stigma yang merugikan perempuan. Tidak ada yang salah ketika perempuan mengalami vaginismus. Yang salah adalah ketika masyarakat memberikan stigma dan penilaian buruk terhadap para penderita vaginismus. Inilah yang harus kita koreksi bersama.
Seksualitas harusnya bukan lagi menjadi sesuatu yang tabu untuk dibicarakan. Karena seksualitas tidak hanya berbicara soal repruduksi, anatomi ataupun hasrat seksual, tetapi juga tentang adat istiadat, agama dan moral. Artinya, seksualitas adalah fitrah yang tidak bisa lepas dari diri kita sebagai seorang manusia, baik laki-laki maupun perempuan.
Ajaran Islam juga mengakui bahwa seksualitas adalah sesuatu yang natural dan sentral dalam diri manusia. Secara normatif, banyak ayat-ayat Al-Quran yang menyinggung bahwa seksualitas sebagai sebuah fitrah harus dikelola dengan sebaik-baiknya dan dengan cara yang sehat.
Selain itu, ayat “Hunna libaasun lakum, wa antum libaasun lahunn” secara implisit menyatakan bahwa laki-laki maupun perempuan berada dalam relasi seksual yang setara. Sehingga paradigma patriarkis yang menempatkan seksualitas perempuan dalam posisi yang direndahkan atau dieksploitasi hanya untuk kesenangan laki-laki tentu tidak dibenarkan.
Karena itu, pengetahuan dan edukasi tentang seks dan seksualitas menjadi penting untuk dilakukan agar tidak ada mispersepsi dan dampak negatif atas kesalahpahaman seksualitas. Anak-anak dan para remaja yang mendapatkan Pendidikan seks tentu akan lebih aware terhadap pengalaman tubuhnya, apa saja konsekuensi medis maupun nonmedis ketika mereka melakukan seksual dini, cara pandang mereka terhadap lawan jenis, dan sebagainya.
Dengan begitu, akan tercipta konsep seksualitas yang sehat, menyenangkan dan penuh tanggung jawab. Seksualitas yang tetap mengakomodir fitrah manusia, namun juga tetap dalam koridor norma, moral kemanusiaan dan agama. (IM)
Leave a Reply