Diakui atau tidak, menekuni kajian warisan ulama (turast) merupakan pekerjaan yang tidak cukup seksi untuk para peneliti apalagi kaum milenial yang berciri khas serba instan. Namun ada benarnya kita mengingat ungkapan Bung Karno “Bangsa yang besar adalah bangsa yang tidak pernah melupakan sejarah bangsanya sendiri”
Itulah salah satu alasan tim Lajnah Turast Ilmi (LTI) lisyaikhinan Khalil Bangkalan mengadakan Pameran Sejarah dan Turast Syaikhona Khalil. Di tengah kerumunan peziarah maqbarah Syaikhuna Khalil Bangkalan yang silih berganti, acara yang diadakan tim LTI itu membuat para pengunjung tidak hanya datang untuk tahlil dan berdoa di maqbarah. Mereka juga menikmati jejak keilmuan Syaikhuna, guru-gurunya di Jawa dan Mekah, murid-murid yang pernah berinteraksi, catatan tangan Syaikhuna di beberapa kitab, nasab keluarga, surban dan kitab-kitab karya Syaikhuna yang sekarang mulai ditulis ulang dan disebar luaskan.
Bukan hanya itu, tim LTI juga mengumpulkan filolog pesantren nusantara untuk membincang nasib warisan nenek moyang kita, para ulama yang sudah menjadi sosok terbaik di masanya. Mereka terlibat berdiskusi dan membincang bagaimana penerusnya kini tidak hanya menikmati karya “orang lain” saja, tapi berperan aktif melanggengkan warisan berharga itu.
Konon sejak dulu negara kita mendapat stereotype yang kurang baik mengenai warisan intelektual. Dulu, Islam di nusantara dianggap sebagai Islam pinggiran, mayoritas buta huruf serta ulama-ulamanya tidak memiliki pengaruh pada perkembangan keilmuan Islam. Bisa jadi stigma buruk itu muncul karena kita kurang perhatian merawat warisan-warisan para ulama.
Padahal jauh sebelum kiai Khalil terdapat banyak ulama yang menjadi pusat ilham intelektual yang dedikasinya pada keilmuan diakui oleh lintas negara dan agama. Ada Kiai Shalih Darat, yang berbeda kurang lebih 22 tahun dengan kiai Khalil. Di Betawi ada Sayyid Usman bin Yahya 1913, berbeda 12 tahun sebelum kiai Khalil wafat. Sedangkan pada abad sebelumnya ada kiai Abdullah Termas (1862-1894), kiai Asy’ari ayah kiai Hasyim Asy’aari (1820-1890), sayyid Nawawi Banten (1813-1897), kiai Abd Wahab akhir abad 19, di Tegal Sari kiai Hasan Besari. Di era yang lebih modern ada Gus Dur, kiai Maimun Zubair lalu Habib Luthfi, dll.
Maka sayang sekali jika karya-karya mereka dibiarkan usang dimakan rayap atau berakhir di pasar loak. Padahal warisan itu untuk menjadi inventaris intelektual bukan sebagai harta konsumtif.
Tentang tujuan pertemuan ini Lora Ahmad Kholili Kholil mewakili tim LTI Syaikhona Khalil Bangkalan menjelaskan lebih rinci bahwa banyak sekali tujuan diadakannya pameran warisan keilmuan kiai Khalil. Beliau menyebutkan, pertama untuk menambah semangat kita untuk meneladani nenek moyang yang telah menjadi sosok terbaik di masanya, kedua mencari manuskrip yang belum terungkap, ketiga mengukur keilmiahan tulisan, dan keempat mentahqiq karya-karya mereka.
Sementara kiai Mujab Mashudi menambahkan bahwa tahqiq kitab (mengkaji dan menguji kitab) merupakan ṡaqāfah dan hadārah (budaya) para pendahulu, dan pertemuan ini sangat urgen guna melanjutkan budaya dan tradisi itu. Sebagaimana budaya di suatu daerah yang bertahan adalah ia yang dilestarikan oleh penerusnya. Dan melestarikan warisan tertulis itu adalah dengan menulis ulang, mencetaknya dan menguji keilmiahan karya-karyanya.
Kiai Ginanjar tak kalah mendalam memaknai warisan ulama (turāst), ia adalah ruh peradaban. Seperti halnya jasad tanpa ruh maka ia tak akan hidup, peradaban ilmu di Nusantara tanpa warisan intelektual tertulis adalah semu. Jika tidak dirawat, akan ada silsilah keilmuan yang terputus, dan yang tak kalah penting Nusantara akan tetap mendapat stigma negatifnya yang buta huruf, Muslim pinggiran serta tidak memiliki kontribusi sama sekali pada generasi Muslim.
Melestarikan turast juga memberi informasi perihal autentikasi intelektual ulama terdahulu, dengan kata lain keilmuannya bisa terverifikasi. Contoh terdekat adalah al-Qur‘an yang diturunkan 14 abad yang lalu.
Lantas bagaimana keberlanjutan turast di Nusantara? Menjawabnya tidak bisa dengan narasi melainkan dengan tindak lanjut dari pertemuan ini. Dipilihnya maqbarah kiai Khalil Bankalan untuk pertemuan filolog ini karena posisi beliau yang menjadi pusat sanad keilmuan ulama Nusantara pada zamannya. “Jadi kita bisa memetakan ketika NU diresmikan 1926, sumber ideologinya adalah kiai Khalil, ilham ideologinya, pondasi keilmuannya dan maha guru di zamannya“, tutur kiai Ginanjar.
Jadi di setiap abad ada ulama yang menjadi pusat keilmuan, nah awal abad ke 20 ada kiai Khalil. Dan kita santri-santri sekarang, hampir semua guru-gurunya terporos keilmuannya pada kiai Khalil Bangkalan ini.
Dari pertemuan ini seluruh pesantren yang hadir menyepakati 3 hal:
- Membentuk forum Nahdatu at-Turāst al-‘Ulamā’ (Kebangkitan Warisan Ulama) dari aktivis pesantren yang memiliki perhatian terhadap turast (Forum Filolog Pesantren)
- Membuat gerakan, naskah-naskah ulama pesantren yang sudah dipegang/diselamatkan bisa dicetak ulang kemudian buat gerakan bagaimana menumbuhkan kesadaran pada para santri betapa pentingnya manuskrip yang sudah ada itu ditahqiq, diterbitkan ulang.
- Digitalisasi karya ulama terdahulu agar menyasar millennial.
(Bersambung)
Leave a Reply