Saya ingat kapan terakhir naik truk bersama, ketika malam keakraban (makrab) pas masih jadi Maba pada 2013 lalu. Tujuan lokasi berada di kawasan wisata bumi perkemahan daerah Yogyakarta. Saya tidak paham mengapa kakak tingkat dulu lebih memilih truk daripada bus—meski melanggar PP No. 55/2012 Pasal 5 Ayat 4. Namun, pengalaman ini memiliki sensasi berbeda. Saya dan kawan-kawan baru yang belum begitu kenal jadi serasa travelmate dadakan, candaan di truk yang terjadi di sepanjang perjalanan terasa begitu renyah, dan hal yang sulit didapatkan adalah sensasi semilir angin yang langsung mengenai wajah dan kerudung. Sungguh nikmat Tuhan yang Maha Segar.
Saat menonton film “Tilik” produksi Ravacana Films, sebagian besar adegan yang berada di atas truk mengingatkan saya kembali dengan pengalaman pas makrab itu. Bedanya yang naik truk adalah ibu-ibu. Mereka bersama-sama pergi ke rumah sakit di daerah Sleman. Tujuan utama menjenguk (bahasa Jawanya tilik) Bu Lurah yang tengah sakit. Ibu-ibu ini seperti rombongan pengajian dengan pakaian muslimahnya yang terlihat pantes.
Sepanjang perjalanan dari desa menuju rumah sakit itulah, alur, konflik, dan wacana dibangun. Bu Tejo (Siti Fauziah) dalam balok truk tersebut bersama ibu-ibu yang lain mempergunjingkan Dian (Lully Syahkisrani). Dian disebut sebagai perempuan dengan pekerjaan yang tak benar, suka keluar masuk hotel bersama pria. Dian dikatakan pula hamil dan memakai susuk. Bu Tejo dengan bersenjatakan data yang ada di gawainya memperlihatkan kepada ibu-ibu tentang kelakukan Dian. Yu Ning (Brilliana Desy) yang punya kedekatan dengan Dian pun sendirian menepis segala serangan “fitnah” yang ditujukan Bu Tejo pada Dian.
Dari banyaknya aspek yang bisa dibahas, dalam tulisan ini saya ingin membedahnya melalui tiga subbab:
Dominasi Orang Berharta
Saya mengingat betul moment-moment waktu gibah ibu-ibu ketika masih remaja dan hidup di kampung. Waktu terbaik adalah saat sore sekitar jam 4-an, di depan rumah salah satu warga, duduk berhadap-hadapan atau sejajar, dan gibah dimulai dengan hal yang sederhana. Tak masalah gibah dimulai dari harga cabai yang naik atau sinetron Tukang Bubur Naik Haji episode ke-2.000. Selayaknya makanan, gibah model ini hanya gibah appeptizer (hidangan pembukanya) saja. Gibah utama (main course) selalu pada tetangga sendiri. Peraturan tak tertulis yang harus dipastikan pula, yang digibah tidak ada pada arena lingkaran gibah.
Tema-tema yang digibahkan tak jauh dari apa yang diucapkan Bu Tejo: pernikahan, perceraian, selingkuhan, aspek-aspek moral (kebaikan dan keburukan tetangga), arisan, anak-anak, dan harta-benda. Untuk poin terakhir, bagi orang kampung, ukuran kesuksesan diukur dari materi yang telah didapatkan. Entah berbentuk rumah yang layak, punya kendaraan sendiri, mengenakan perhiasan yang gemerlapan, atau punya sawah dan tanah yang luas. Setiap kali tetangga memiliki barang mewah baru seperti motor, biasanya akan menjadi sasaran gibah. Materi berwujud juga memiliki suami yang memiliki jabatan (PNS semisal) atau memiliki anak-anak cerdas yang bersekolah di sekolah unggulan satu kota.
Sistem kelas pun berlaku untuk urusan gibah ini, biasanya ibu-ibu golongan kaya akan mendominasi pembicaraan sebagaimana Bu Tejo. Sebab golongan ini memiliki kuasa lebih untuk berbicara apa saja terhadap tetangganya. Mereka punya kuasa juga menentukan arah pembicaraan. Sedangkan mereka yang kelasnya lebih miskin, cenderung akan menjadi gong, kompor, atau “tim hore”-nya saja. Atau yang lebih miris mereka banyak diam mendengarkan karena merasa inferior dan tersubordinatkan lebih dahulu. Meski penyimpulan ini terlalu asketis karena cangkem tonggo tak bisa dirumuskan pastinya.
Saya tertarik dengan ucapan Bu Tejo bagian ini: “Ya cobha dha mikir, aku ki ora nyilikke bandhane keluargane Dian lho. Cetha ket cilik ki Dian ditinggal minggat karo Bapake, ibune wae nduwe sawah ya ra sepira. Mulane bar SMA deweke ora kuliah. Nembe nyambut gawe, handpone anyar, motor anyar. Iku duwit saka ngendi coba? Lha gek larang-larang kabeh lo kuwi, kayak aku ra ngerti merk wae.”
Dalam satu dialog panjang ini bisa merangkum bagaimana kondisi ekonomi, rumah tangga suatu keluarga, pendidikan, hingga masa lalu korban gibah. Kalau saya jadi Dian mendengarkan omongan itu, bisa jadi saya nangis. Dilihat dari kelas ekonomi, orang akan segera mafhum jika Bu Tejo ini adalah orang kaya. Segenap perhiasan duniawi dari cincin, gelang, bros dengan ketebalan yang cukup tentu menyilaukan ibu-ibu di mana pun berada. Bahkan dengan harta pula Bu Tejo bisa menyogok Gotrek agar masyarakat yang tak punya kuasa memilih Pak Tejo yang berniat akan njago lurah. Masyarakat kelas menengah ke bawah digiring menjadi tim sukses dalam percaturan politik di tingkat desa.
Ditambah lagi, orang-orang seperti Bu Tejo saya sepakat jadi sosok yang bikin malas pulang kampung (andai kamu seorang perantauan). Orang-orang seperti Bu Tejo ini akan ada di berbagai kampung. The power of lambene tonggo sing nyebahi didukung tembok dan pagar yang ikut bicara membuat nama korban gibah tercoreng lebih cepat daripada penularan virus corona. Rasan-rasan mau bagaimanapun, selalu memiliki bensin dan koreknya. Sebab, yang dibicarakan adalah manusia, gosip menjadi upaya pula bagaimana seseorang membicarakan kemanusiaan yang lain. Pergunjingan menjadi fenomena riil yang tak bisa diremehkan.
Saya yakin Anda pasti pernah merasakan ada di kondisi menjadi korban gibah, dan coba rasakan lagi betapa kelamnya diri Anda ketika dipergunjingkan. Pedasnya melebihi rasa cabai, kerasnya melebihi batu candi, panasnya melebihi suhu Semarang. Masihkah Anda sepakat dengan lambe-lambe seperti Bu Tejo? Sehingga ingin saya katakan orang berharta itu kebanyakan menyebalkan dan seenaknya sendiri. Tidak semua sih, tapi Anda harus hati-hati, akal dan gerak mereka banyak. Modal ekonomi dan modal sosial mereka cukup.
Saat Seksualitas Dileluconkan
Dalam film ini, salah satu dialog Yu Sam (Dyah Mulani) menjadi dialog vokal yang tak terlupakan. Begini potongannya:
Yu Sam: ”Yo aku ra wedhi yen bojoku ameh seneng karo Dian.”
Ibu-ibu: “Lha kenapa?”
Yu Sam: “Lha bojoku wis ra isa attahiyat.”
Ibu-ibu: “Ehhh, hahaha.”
Yu Ning: “Ya Allah, mbok ditambakke kana.”
Ucapan lugu “lha suamiku sudah tak bisa attahiyat” (sambil telunjuk Yu Sam berdiri dan ibu-ibu tertawa mendengarnya), menurut saya ini guyonan unik. Bagaimana seksualitas dibahasakan dengan diksi-diksi agama “attahiyat” dan dileluconkan oleh yang mendengar. Tasyahud akhir (tahiyat) sendiri merupakan suatu bacaan dalam salat, di mana seseorang duduk setelah sujud terakhir sambil jari-jari telunjuknya berdiri dan syahadat dibaca. Gerakan ini menjadi rukun salat yang bilamana tidak dilakukan salat menjadi tidak sah.
Secara ilmu tanda, apa yang dikatakan Yu Sam menjadi alegori terkait kondisi seksualitas suatu rumah tangga. Jari-jari yang berdiri merujuk pada penis yang tak sanggup lagi berdiri, ingatan saya langsung merujuk pada tokoh Ajo Kawir dalam novel Eka Kurniawan berjudul Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas (2014). Dalam novel Eka ini, si tokoh utama mengalami disfungsi ereksi (impotensi). Namun yang menarik dari film Tilik ini, fungsi attahiyat yang vital dalam solat sama vitalnya dengan fungsi ngaceng dalam hubungan intim suami istri. Dalam dialog Yu Sam yang singkat itu seolah ingin bicara: jika belum berdiri, maka senggama menjadi tak sah.
Rahasia dapur milik Yu Sam ini diucapkan dengan polos dan terbuka pada pihak yang telah dikenalnya. Saya tertarik bagaimana isu seks ini dibicarakan oleh perempuan, alih-alih ditabukan. Profannya pula, maskulinitas dari seorang pria ditelanjangi di sini ketika Yu Sam mengikhlaskan saja jika suaminya akan menikah lagi hanya karena disfungsi burung itu. Sebagaimana saran Yu Ning, burung tersebut harus diobati supaya sembuh. Mungkin tak susah menemukannya, karena iklan terkait yang vital-vital itu tersebar di jalan-jalan, di pohon, di tiang listrik, dan sebagainya.
Dialog lain yang membicarakan seksualitas dengan gaya banyolan adalah “ulone (ularnya) Pak Tejo”. Ulo representasinya sama dengan jari attahiyat tadi. Adegan ini terjadi pada menit ke 08.46, saat Bu Tejo sedang kepuyuh atau ingin kencing tak tertahankan:
Bu Tejo: “Piye toh Gotrek ki, aku dikon nguyuh ning tengah sawah ngene ki. Wegah aku. Wedi ula.”
Seorang ibu: “Ning ra wedi karo ulane Pak Tejo toh, Bu?”
Ibu-ibu: “Uwuwuwu.”
Mari menyeret dialog ini pada wacana yang lebih jauh. Seksualitas bukan sekadar hubungan badan, tapi berhubungan pula dengan adat, sosial, dan budaya. Seks yang benar dengan nilai spiritual yang dalam dipercaya akan melahirkan daya kreasi. Kreasi ini menjadi produk-produk kreatif yang mengubah pandangan, sikap hidup, masyarakat, bahkan negara. Pernahkah Anda menjumpai pasangan yang setelah menikah wajah mereka, nada suara mereka, hingga sikap mereka jadi mirip? Penyatuan badan yang terjadi pada keduanya telah menyatu jadi ke hal-hal yang lebih tinggi. Bahkan nama pun dalam masyarakat disatukan menjadi Pak Tejo dan Bu Tejo.
Perempuan dan Ucapannya
Sepanjang tahun 2020, film Tilik menjadi film paling provokatif terkait perempuan melawan perempuan yang saya tonton. Film ini seolah meneguhkan bahwa penindasan tidak hanya dilakukan oleh laki-laki pada perempuan, tapi juga perempuan pada perempuan. Sangat nyata bagaimana ucapan-ucapan Bu Tejo ke Dian. Pun dengan sikap Bu Tejo pada Yu Ning merupakan representasi dari perempuan yang menyudutkan perempuan.
Perempuan melawan perempuan dalam film yang diproduseri oleh Elena Rosmeisara ini mewujud dalam “ucapan”. Saya ingin membaca dari sudut pandang lain terhadap stereotip kritik terhadap perempuan dari sisi perempuan bawel, cerewet, dan lain-lain. Ucapan (cocot, nyocot) memang menjadi kekuatan perempuan. Dalam dunia ilmiah, perempuan memiliki daya ucap yang jauh lebih tinggi daripada laki-laki. Penelitian yang dimuat dalam Journal of Neuroscience menunjukkan perempuan dalam satu hari bisa berkata hingga 20 ribu kata (setara membaca satu novel), sedangkan laki-laki hanya 7 ribu kata per hari.
Daya alamiah perempuan ini tentu bisa menjadi senjata untuk melindungi dirinya sendiri dan kolektifnya. Semisal ketika truk Mitsubishi warna kuning itu terkena tilang pak polisi. Respon pertama yang dilakukan perempuan adalah dengan persuasi perkataan, negosiasi pada polisi pria yang irit berkata-kata.Dialog-dialog semacam “tak cokot” menjadi senjata andalan. Akhirnya polisi itupun menyerah juga.
Jika daya bicara perempuan ini digerakkan dengan semestinya, tak akan dipungkiri bisa menyulut gerakan. Saya justru ingin berontak dengan stereotip yang mengatakan bahwa perempuan tak bisa bicara, perempuan sungguh bisa bicara karena itu senjata alaminya. Saya juga menolak stereotip jika perempuan bisanya diam, padahal dengan ucapan perempuan bisa memberikan solusi terhadap masalah yang terjadi di sekitarnya. Andai keterampilan berbicara perempuan ini diterapkan ketika ada musyawarah desa, rapat-rapat RT/RW, hingga pertemuan-pertemuan yang menyangkut kepentingan bersama di ruang publik. Hanya saja akses terbatas bahkan tak ada, sehingga skill berbicara ini lebih berkembang di ranah domestik dengan membicarakan tetangga.
Film ini mengangkat budaya masyarakat dari aktor-aktornya yang nyata dalam kehidupan sehari-hari. Konsekuensi dari film yang begitu dekat dengan kenyataan adalah pembenaran terhadap apapun yang dilakukan aktornya. Saya tak sepakat jika membicarakan keburukan orang di depan orang banyak sebagaimana yang dilakukan Bu Tejo itu sebagai tindakan benar.
Terlepas dari itu, film ini mempunyai keterikatan budaya dengan saya secara pribadi yang lekat dengan tradisi tilik. Pengalaman tilik pernah saya saya rasakan berkali-kali dengan saudara atau kawan yang rumahnya jauh. Terlebih ketika menjenguk mereka dalam keadaan sakit menjadi, pengalaman yang tak bisa dilupakan. Menjenguk tak berarti seputar apa yang dijenguk, tapi juga pengalaman personal saat menjenguk. Bisa jadi kita akan melihat diri kita yang lain pada sosok yang dijenguk. Entah pada rasa sakitnya, perjalanannya, atau obrolannya.
Judul Tilik | Produksi Ravacana Films | Sutradara Wahyu Agung Prasetyo | Penulis Naskah Bagus Sumartono | Produser Elena Rosmeisara | Tahun Rilis 2018| Aktor Siti Fauziah, Brilliana Desy, Dyah Mulani, Angeline Rizky, Lully Syahkisrani, Hardiansyah Yoga Pratama, Ratna Indriastuti, Gotrek, dan lain-lain.
Leave a Reply