Adyatma, bungsu saya yang berusia jelang 8 tahun bertolak pinggang menghadang saya. Di belakangnya, Arsa sulung saya yang autistik mengangkat tangan menghindari sabetan sapu lidi. “Mami…stoppp! Kalau kamu sabet kakak lagi, kulaporin ke polisi,” ujarnya dengan mata berkaca-kaca.
Padahal sesaat sebelumnya ia ketakutan sembunyi di balik badan saya usai ‘diserang’ Arsa tanpa sebab. Sabetan saya pun berhenti, tapi luka hati karena perkataan Adyatma dan atau perilaku Arsa yang impulsif dan emosional tak serta merta berhenti. Belum lagi kondisi kami yang rata-rata mengantuk karena semalam Arsa berjaga, efek overthinking yang tak kunjung selesai.
Siang tadi, kami baru kembali dari mengunjungi Rona Ekspo-Pekan Budaya Difabel Yogyakarta 2020. Arsa, kini 17 tahun, beruntung mendapat kesempatan memamerkan karya patchwork-nya dalam bentuk hobo bag dan bedcover di acara tersebut.
Arsa memang tidak seterbatas teman-teman difable yang lain. Dia mampu makan, mck, dan tidur sendiri sebagai bagian dari kemandiriannya. Dia bisa bantu memasak atau berinisiatif membantu mengangkat bakul cucian serta menutup pagar yang berat.
Namun istimewanya dia juga mampu menghasilkan banyak karya kerajinan tangan yang memerlukan ketrampilan motorik halus, seperti jahit menjahit dan sulam menyulam. Sudah banyak karya-karyanya dipamerkan di berbagai kota termasuk dikoleksi hingga ke mancanegara. Fanpage Arsa di Facebook pun mendapat 503 like, malah lebih dari fanpage jualan saya.
Sejak Arsa mendapat diagnosis Autism Spectrum Disorder di usia 2 tahun 8 bulan, seiring terapi, diet dan berbagai treatment yang dijalani, seiring banyaknya tantrum, bekas luka gigitan di bahu, lengan dan tangan, kesedihan kami menghadapi penolakan kehadiran Arsa untuk menempuh pendidikan layaknya anak-anak lain, pencapaian Arsa sungguh sangat menghibur.
Saat ini Arsa pun semakin mahir bersosialisasi dan mengembangkan minatnya tersebut di kelas 11 PKBM Sanggar Anak Alam Yogyakarta.
Apakah kami senang dan cukup bangga dengan berdayanya Arsa? Tentu. Namun apakah masalah Arsa sudah selesai? Apakah autismenya bisa sembuh, seperti banyak harapan orang tua kepada penyandang autisme? Dan, apakah saya ibunya sudah merasa lega dengan kondisi Arsa saat ini?
Ternyata jawabannya belum.
Seiring Arsa bertumbuh, ternyata tantangan dan masalah yang muncul semakin perlu dipikirkan solusinya.
Trikotilomania
Saya juga baru tahu tentang hal ini, sejak follow akun instagram suami dari teman blogger saya di Bali. Di akun @gstraiwiguna tersebut, Dr I Gusti Rai Wiguna, Sp.KJ atau panggilannya Dr. Rai menjelaskan bahwa trikotilomania adalah gangguan yang melibatkan dorongan kompulsif untuk berulang kali mencabuti rambutnya sendiri. Trikotilomania ini diklasifikasikan dalam DSM-5 sebagai spektrum gangguan OCD bersama dengan gangguan dismorfik tubuh dan dermatillomania.
Pantas saja ada bagian tengah kepala Arsa yang pitak. Semula kecil, lalu kian membesar. Bukan satu dua kali kami menegur, marah, menghardik bahkan membotakinya lagi. Padahal rambut Arsa indah, hitam lebat. Dulu saya dan suami mengira, ini hanya karena saat keramas Arsa membubuhkan sampo ke area tersebut dalam jumlah banyak, tidak digosok atau dibilas secara sempurna. Sehingga ia merasa gatal dan terus menggaruk sampai luka, sampai terakhir terobsesi mencabuti rambut-rambut yang tumbuh di area tersebut.
Dr. Rai mengemukakan bahwa umumnya usia permulaan perilaku trikotilomania di rentang 9 – 13 tahun; dan Arsa juga mulai terobsesi melakukan hal ini beberapa tahun terakhir ini. Bahkan tak hanya rambut di kepala, rambut di area kemaluan juga tak luput dari cabutan tangannya.
Obsessive Compulsive Disorder
Kebiasaan Arsa mencuci tangan dalam waktu lama, menyiram tembok kamar mandi terus menerus sampai membasahi lantai di luarnya, menakar volume minyak untuk menggoreng seperti ukuran deep fried, memiliki area teritorial di meja makan yang tak boleh ditempati, serta senang mengumpulkan brosur, flyer dan poster untuk dilihat berulang-ulang.
Dermatillomania
Arsa lebih dulu mengalami sejak anak-anak. Menurut Psychology Today, dermatillomania adalah kondisi psikologis dalam wujud keinginan menguliti sendiri yang kompulsif dan dilakukan secara berulang-ulang. Rasa sakit saat mengelupas bekas luka yang bagi kita menyakitkan, sungguh tak pernah dipedulikannya.
Menguliti diri sendiri ini bisa di tangan, kaki maupun tubuh. Pernah suatu waktu Arsa tertular scabies sepulang dari live in bersama teman-teman SMPnya. Selain sekeluarga menjaga imunitas tapi juga harus menjaga Arsa agar tidak mengelupas bekas bisul yang sudah mengering karena bekas tangannya itu akan menjadi media penularan scabies di bagian tubuh yang lain.
Hingga saat ini, permukaaan kulit Arsa untungnya lebih seperti orang yang berpenyakit kulit, bukan seperti anak yang mengalami kekerasan fisik. Bila tidak, tentu kami sudah dipanggil Komisi Perlindungan Anak atas tuduhan penganiayaan.
Lalu, apa upaya kami terhadap perilaku Arsa seperti itu? Saya dan suami masih memilih terapi perilaku yaitu dengan memberi banyak kesibukan, hingga ia terlupa dari keinginannya, mencabut rambut atau mengelupas kulit. Namun, ternyata upaya kami belum berhasil karena tindakan-tindakan yang saya sebut di atas makin intens akhir-akhir ini. Terbersit di benak, apakah memang sudah saatnya mengajak Arsa ke poli jiwa?
Lho kok saya jadi berpikir mental Arsa terganggu?
Belum usai pikiran saya itu, terbersit perilaku Arsa yang lain. Dan itu bersifat lebih destruktif lagi.
Intermitten Explosive Disorder
Saat tak terima dirinya ditegur atau diberitahu, Arsa spontan merusak barang. Pintu rusak, keran patah, layar hp retak, steker listrik patah di tengah maupun bajunya yang compang camping karena dibredel.
Wah apalagi ini? Tetiba saya kok merasa Arsa jadi banyak memiliki beberapa perilaku yang menunjukkan gangguan jiwa serius.
Intermittent Explosive Disorder dikenal sebagai gangguan saat seseorang mengalami kegagalan mengontrol rasa marahnya dan memiliki dorongan-dorongan untuk merespon dengan bertindak secara kasar. Saat ada masalah, bahkan masalah kecil sekalipun, amarah Arsa “meledak-ledak” lalu melampiaskannya pada benda-benda di sekitarnya; termasuk kini melampiaskan dengan menyerang adiknya.
Jujur perilaku itu meresahkan kami. Membuat emosional, bahkan pernah menyulut histeria dan panick attack pada diri saya; dan tentunya menambah pengeluaran tak terduga.
Ketika seorang teman berujar, “Enak ya kamu Arsa baru 17 tahun tapi udah bisa cari uang sendiri.” Saya langsung menimpali, “Ya…tapi uangnya habis buat perbaiki ini itu yang dirusaknya.” Dia pun terdiam.
Bila ditanya apa yang akan kami upayakan selanjutnya, saya tak langsung bisa menjawab.
Saya mencoba berdiskusi dengan sahabat saya yang juga seorang psikolog, Sandi Kartasasmita, M.Psi. Usai mendengar keluh kesah saya, katanya ada beberapa alternatif untuk solusi perilaku Arsa tersebut.
Untuk Trikotilomania, OCD dan Dermatillomania tergantung ke mana kita akan berkonsultasi. Bila ke psikiater tentu akan terapi obat. Bila ke psikolog atau terapis ABK akan disarankan CBT atau Cognitive Behavioural Therapy. Namun sepertinya terapi perilaku dengan terapis ABK adalah jalan terbaik.
Sementara untuk Intermittent Explosive Disorder, Beliau menyarankan obat untuk menekan impulsivitas bereaksi secara emosional.
Saya jadi berpikir keras, apakah sudah saatnya Arsa diajak berkonsultasi dengan psikiater lalu mengkonsumsi obat untuk menekan perilaku-perilaku destruktif itu? Padahal asupan antibiotik saja bisa membuatnya lemah tak berdaya.
Apakah dengan mengubah pola makan dan diet serta melakukan aktivitas brain gym, akan ada perubahan signifikan, seperti yang disarankan salah seorang terapis autistik?
Apakah perilaku-perilaku yang disebutkan di atas juga terimbas dari situasi tak bersekolah, yang mengubah rutinitas harian Arsa akibat pandemi covid-19?
Pertanyaan-pertanyaan itu masih dalam proses mencari jawaban. Seperti juga pertanyaan kepada diri saya, apakah jangan-jangan juga sudah membutuhkan bantuan psikiater demi kestabilan emosi dalam menghadapi perilaku Arsa. Masa saya juga akan melukai hati adiknya yang kini menjustifikasi saya jadi ringan tangan sama kak Arsa?
Duh…memang perlu beli ekstra kuota sabar di toko sebelah. Karena jalan kami masih panjang. Terutama jalan saya sebagai ibu. Di balik sosok saya yang tampak tegar dan strong di mata awam, tak ada yang tahu bagaimana pergolakan hati saat tak mampu menahan emosi. Saya tetap manusia biasa, yang juga bisa menangis di pojokan saat sedih tak tertahankan.
Arsa yang autistik adalah ladang belajar yang menantang sebagai ibu. Yang hanya akan berakhir saat saya atau dia duluan tiada.
=====
“Kesembuhan” Individu Penyandang Autistik tak Pernah Bisa Diukur Seperti Standar Orang Awam.
Leave a Reply