Neswa.id-Awal musim gugur, Oktober 2021. Sebuah patung perempuan mencuri pandang di antara patung-patung penyair lainnya di kompleks taman penyair di kawasan Ali Shariati, Tehran. Itulah pertama kalinya saya berkenalan dengan sosok Tahereh Saffarzadeh, sastrawan perempuan yang mendedikasikan seluruh hidupnya untuk ilmu dan umat. Saffarzadeh yang lahir di Sirjan 1936 mendapat banyak penghargaan mulai dari Festival Puisi Internasional Fajr sampai terpilih sebagai tokoh perempuan muslim yang menginspirasi oleh Organization of Afro-Asia Writer yang berpusat di Mesir pada tahun 2005.
Saffarzadeh memulai karirnya sejak masih belia. Bahkan ia sudah menulis puisi saat berusia 13 tahun. Setelah menamatkan sarjananya di tahun 1960, ia menimba pengalaman ke negara Inggris dan Amerika. Saffarzadeh mendapat gelar MFA di bidang kepenulisan dari University of Lowa Amerika. Bahkan kumpulan puisinya yang berjudul “The Red Umbrella” juga diterbitkan di Lowa tahun 1969. Selain itu, ada banyak karya-karya yang yang ia tulis sampai tutup usia pada 2008, di antaranya 14 kumpulan puisi dan 10 buku yang bergenre sastra.
Selain mendalami bidang sastra dan meniti karir sebagai akademisi, Saffarzadeh ternyata meminati kajian agama, terutama Al-Quran dan Tafsir. Sejak balita ia sudah mencerap pendidikan Al-Quran dari lingkungan keluarganya. Setelah dewasa, ia banyak menghabiskan waktunya untuk mendalami A-Qur’an. Pada tahun 2001 ia menyelesaikan terjemahan Al-Quran dalam dua bahasa, Persia dan Inggris. Barangkali, ini merupakan terjemahan Quran bilingual pertama di Iran bahkan mungkin di dunia Islam yang dikerjakan oleh seorang perempuan. Untuk upaya dan kesungguhannya ini, Saffarzadeh dianugrahi gelar sebagai khadim atau pengkhidmat Al-Quran.
Hidup dan Perjuangan Saffarzadeh
Kisah gemilang dan deretan prestasi Tahereh Saffarzadeh tak lepas dari perjuangan dan kerja kerasnya di belakang layar yang tidak banyak terekam. Padahal, proses perjalanan inilah yang bisa jadi lebih menginsprasi dan memotivasi para perempuan lainnya untuk bertumbuh. Untungnya, buku biografi yang ditulis Habibinejad memberi gambaran cukup detail kisah hidup dan perjuangan Saffarzadeh.
Sebelum menjadi dosen, Saffarzadeh memulai karirnya sebagai penerjemah di sebuah perusahaan minyak, sampai suatu hari ia mendampingi keluarga buruh minyak yang banyak mendapat perlakuan tidak adil. Saffarzadeh melihat kesenjangan dan ketidakadilan yang terjadi dan menyuarakannya di depan para pemimpin perusahaan. Sikap kritisnya yang tak berbalas membuat ia memutuskan untuk berhenti bekerja dan kembali meneruskan belajar.
Sekembalinya dari luar negeri, Saffarzadeh melihat kesenjangan itu kian meluas, tidak hanya di lingkungan perusahaan, bahkan telah merambah ke lingkup nasional. Ia tidak segan mengritik kehidupan keluarga istana Pahlevi yang dianggap berlebihan di tengah kesulitan masyarakat. Beberapa puisinya sempat dicekal dan tidak diperbolehkan untuk terbit.
Sikap empati Saffarzadeh ini agaknya lahir dari perjalanan hidupnya yang tidak mudah. Sejak usia lima tahun, ia telah ditinggal kedua orang tuanya dan hidup bersama kakek dan neneknya. Setelah dewasa perjalanan Saffarzadeh pun penuh ujian, setelah berpisah dengan suami pertama, anak semata wayangnya dipanggil Sang Maha Kuasa. Masa-masa bahagia yang pernah ia rasakan saat menikah dengan suami kedua Abdul Wahab Noorani vasal, yang juga seorang penulis dan sastrawan. Sayangnya sang suami pun begitu cepat menghadap Tuhan. Di tengah segala kesulitannya Saffarzadeh tetap melantunkan syair ketegaran. Ia tidak hanya bertahan untuk dirinya, bahkan ia tetap mampu berkarya dan menginspirasi banyak perempuan.
Maha suci Tuhan
Aku tidak putus asa
Aku masih bertahan
Bertahan dalam sujudMu
Meskipun Saffarzadeh secara langsung tidak pernah tergabung dalam sebuah gerakan perempuan tertentu, namun kehadirannya sendiri sudah menjadi jawaban atas perubahan sosial yang terjadi. Dalam situasi yang represif sekalipun, akan selalu muncul sosok perempuan yang menginspirasi masyarakatnya. Bahkan, memberikan kontribusi ilmu dan kemanusiaan yang signifikan. Saffarzadeh yang melalui berbagai masa transisi kekuasaan seolah memahami bagaimana tinta terkadang lebih tajam dari pedang yang menusuk ke jantung kelaliman.
**
Suara lantunan ayat-ayat suci mengalir dari masjid dan kompleks pemakaman Imamzadeh Shaleh, seorang wali keturunan Nabi Muhammad yang tersambung melalui jalur Imam Ali Al-Ridha. Dari bangku yang terletak di sudut kompleks, saya menyaksikan puluhan orang yang datang dan pergi berziarah ke komplek yang berlokasi di kawasan Tajrish Tehran. Di salah satu sudut kompleks ini, terbaring juga raga Saffarzadeh. Ada getar hebat yang saya rasakan saat berada di samping makamnya. Sambil merapalkan doa dan surat Alfathihah, saya berusaha mengenang kiprah dan semangat Saffarzadeh semasa hidupnya.
Sebuah pertanyaan berputar di kepala saya, seandainya Saffarzadeh masih hidup, bagaimana ia merespon gerakan perempuan Iran hari ini? Apakah ia akan tetap menjadi kritis seperti pernah ia lakukan saat mengkritik hedonisme dan kapitalisasi perempuan di kalangan kerajaan Pahlevi? Atau mungkin ia akan menganjurkan para perempuan untuk tetap bergerak dan menyuarakan pendapatnya, meski lewat sepotong puisi seperti yang juga ia lakukan? Raga Saffarzadeh memang sudah 14 tahun lalu meninggalkan dunia, tapi pemikiran dan kiprahnya masih belum usia. Ia akan tetap bisa dikaji dan akan terus berdialektika dengan konteks hari ini.
Satu hal yang menurut saya cukup menarik, meskipun ia telah melanglang buana dan bersentuhan dengan berbagai pemikiran, namun tidak meninggalkan tradisi leluhurnya. Ia kembali dan berkiprah untuk memajukan kaumnya melalui karya yang ia contohkan sendiri, bukan hanya dengan slogan. Ini mengingatkan saya pada banyak tokoh perempuan Indonesia yang meskipun sudah berinteraksi dengan unsur-unsur modernisme tapi tetap berpijak pada akar budaya dan kearifan lokal. Seperti para perempuan cendekia yang hari-hari ini sedang melaksanakan Kongres Perempuan Indonesia kedua. Selamat untuk para perempuan hebat! (IM)
Leave a Reply