,

Tafsir Surah Maryam [19]: Ayat 1-2

/
/


 

كٓهيعٓصٓ ١  ذِكۡرُ رَحۡمَتِ رَبِّكَ عَبۡدَهُۥ زَكَرِيَّآ ٢

Kāf-Hā-Yā-‘Ain-Shād (1). Mengingat tentang rahmat Tuhan-mu kepada hamba-Nya, Zakaria (2).

Surah Maryam ini dibuka dengan huruf muqaththa’ah (huruf yang terpenggal-penggal) Kāf-Hā-Yā-‘Ain-Shād (1). Huruf-huruf ini dikenal oleh orang Arab, tetapi mereka tidak mengerti maknanya, yang demikian juga menjadi tantangan bagi orang yang hendak menandingi al-Qur’an walau membuat sekedar satu ayat, tetap mereka tidak akan mampu (Tafsir al-Wasith, 1422: 2/1460 dan Tafsir al-Munir, 1418: 16/50). Meskipun tidak dimengerti secara harfiyah, sebagian ulama tafsir tetap ada yang menafsirkannya lebih rinci.

Al-Qur’an memang mempunyai banyak surah yang diawali dengan huruf muqaththa’ah ini, ada yang dengan satu huruf (Nūn, Shād, Qāf), dua huruf (Thā-hā, Thā-sin), tiga huruf (Alīf-Lām-Mīm, Thā-Sīn-Mīm), empat huruf (Alīf-Lām-Mīm-Rā), dan yang terbanyak terdapat dalam surah Maryam ini (Kāf-Hā-Yā-‘Ain-Shād). Menurut al-Sya’rawi, keberadaan huruf-huruf muqaththa’ah ini sebagai penekanan pentingnya belajar al-Qur’an menggunakan metode al-sima’ (mendengar serta menyimak). Bagian ini juga menunjukkan bahwa Rasulullah memang seorang yang buta huruf, ia hanya menjadi penyampai pesan yang diwahyukan, kepada orang yang mengerti huruf-huruf itu (Tafsir al-Sya’rawi, 1997: 15/9018). Maksudnya, bila Rasulullah orang yang melek huruf, maka ia tidak akan mungkin menyampaikan wahyu itu, atau pasti terlebih dahulu ia memprotesnya. Sebab, gabungan huruf-huruf itu tidak dipahami maknanya oleh masyarakat Arab.

Ibn Asyur menjelaskan dua pemaknaan, Kāf-Hā-Yā-‘Ain-Shād merupakan akronim dari nama-nama Allah, Kāf (al-Kāfī/ maha mencukupi, al-Karīm/maha mulia, al-Kabīr/ maha besar), (Hādī/ maha pemberi petunjuk), (al-Hakīm/ yang maha memutuskan, al-Rahīm/ yang maha pengasih), ‘Ain (al-‘Alīm/ yang maha mengetahui, al-‘Azhīm/ yang maha agung), dan Shād (Shādiq/ yang maha benar). Nama-nama ini disebut sebagai Ism al-A’zham, yang apabila berdoa dengan menyebutnya maka akan dikabulkan. Ia juga disebut-sebut sebagai nama al-Qur’an. Namun Ibn Asyur menimpali penafsiran terkhir ini, ia menganggap hal ini merupakan penamaan baru yang tidak mendapat sokongan dari hadits Nabi (Tafsir al-Tahrir wa Tanwir, 1984: 16/61).

Cara teraman untuk mememaknai ayat tersebut adalah menyerahkan maknanya kepada Allah. Sebagaimana dipraktekkan oleh Nawawi al-Bantani, katanya, ayat pertama ini tergolong sebagai ayat mutasyabihat, yang hanya Allah yang paling mengetahui maksudnya. Ulama berkata, ayat ini sebagai pujian bagi Allah sendiri, sebagai sifat kecukupan dalam soal penciptaan, dzat yang memberi petunjuk, dzat yang menguasai, Dia mengetahui atas setiap urusan, dan Dia menepati atas segala janji-Nya (Marah Labid, 1417: 2/3). Pemaknaan ini lumrah terjadi pada tafsir-tafsir yang mengacu kepada metode kaum salaf, sebagai contoh Tafsir al-Jalalain dan Aisar al-Tafasir al-Jazairi. Bahkan ada yang tidak menafsirkannya sama sekali seperti Tafsir al-Sa’dy dan Tafsir Safwat al-Tafasir.

Awal surah Maryam ini mengisahkan tentang nabi Zakaria. Keinginan untuk berketurunan dan bereproduksi merupakan kodrat manusia, kecintaan kepada anak laki-laki juga bagian dari emosional jiwa manusia, karena anak laki-laki diharapkan mampu mewarisi ayahnya, membantu urusan kehidupan dan kepentingan kerja, masalah pertanian, juga diharapkan mampu meringatkan bila orang tuanya cacat, sakit dan lanjut usia. Yang diinginkan nabi Zakaria bukanlah untuk kepentingan duniawi itu, tetapi ia menginginkan adanya penerus kenabian, pemegang ilmu ketuhanan, yang taat atas perintah, syariat, dan adab kepada-Nya. Latar belakang inilah yang membuatnya ia berdoa kepada Allah seperti yang disebutkan di awal surah Maryam ini (Tafsir al-Wasith, 1422: 2/1495).

Terkait dengan ini, Wahbah Zuhaili menyebutkan ada tiga macam kegalauan yang dialami nabi Zakaria ketika itu: Pertama, takut tubuh tua rentanya tidak dapat menghasilkan anak sementara istrinya mengalami infertilitas. Kedua, takut doanya tidak kunjung dikabulkan. Ketiga takut tidak ada yang mewarisi kenabian pasca kematiannya (Tafsir al-Wasith, 1422: 2/ 1461).

Ayat kedua berisi pesan ajakan untuk Mengingat tentang rahmat Tuhan-mu kepada hamba-Nya, Zakaria. Al-Sya’rawi menjelaskan bahwa rahmat yang dimaksud ayat tersebut adalah rahmat universal, sementara rahmat yang paling agung adalah diutusnya Rasulullah sebagai rasul terakhir, tidak ada wahyu lagi setelah yang diturunkan kepada beliau, misi kepadanyalah yang paling penting. Rahmat yang diberikan kepada nabi Zakaria adalah rahmat mendapat anak keturunan.

Kisah Zakaria membuat manusia sadar tentang kekuasaan Allah soal penciptaan, Allah menjadi sabab dari segala sesuatu yang terjadi pada alam semesta, namun ingat segala sesuatu pasti ada sebabnya, hanya saja sebab itu menjadi kewenangan Allah. Bisa saja Ia menghendaki sesuatu tanpa perlu sebab. Memang, manusia normal lahir dari hubungan laki-laki dan perempuan, tetapi ingatlah Adam yang ada tanpa keduanya, Hawa yang ada lantaran laki-laki tanpa perempuan, dan Isa yang lahir mealalui perempuan tanpa laki-laki (Tafsir al-Sya’rawi, 1997, 15: 9020-9021).

Penafsiran di atas memberi pengertian bahwa kehendak dan rahmat Allah tidak terikat karena alasan tertentu. Apapun yang menurut perkiraan manusia normal tidak mungkin terjadi, bisa saja terjadi atas kemauan prerogatif sang Pencipta, tanpa ada yang meminta, dan tidak mampu ditolak bila ditetapkan-Nya. Rahmat Allah yang dikaruniakan kepada Zakaria adalah pengabulan doa dengan diberikan anak keturunan kepadanya sebagai penerus kenabian.

Zakaria yang dimaksud al-Qur’an ini adalah Zakaria II, ia merupakan nabi dari bani Israil, suami dari bibi Maryam, ia tidak mewarisi kitab Taurat. Sedangkan Zakaria yang mewarisi kitab Taurat adalah Zakaria bin Barkhia, yang hidup abad ke-6 sebelum nabi Isa. Pada ayat-ayat berikut nanti di surah Maryam ini akan menceritakan tentang doa-doa yang dipanjatkan oleh Zakaria, sebagaimana telah terdapat juga di dalam surah Ali Imran (Tafsir al-Tahrir wa al-Tanwir, 1984: 16/62). Al-Qasimi menjelaskan bahwa Zakaria yang di maksud adalah Zakaria ayahnya Yahya (Tafsir Mahasin al-Tawil, 1418: 7/84).

Jadi, Zakaria yang mendapat rahmat Allah yang dimaksud ayat kedua dari surah Maryam ini adalah ayahnya Yahya, yang akan diceritakan di awal surah Maryam ini. Ia merupakan salah seorang nabi dari kalangan bani Israil. Di usia senjanya ia masih memohon kepada Allah agar dikarunia anak yang menjadi penerus risalah kenabiannya. Kisah demikian sebenarnya telah diuraikan dalam surah Ali Imran, tetapi diulang kembali pada surah Maryam dengan pola uraian yang berbeda, tetapi dengan tujuan yang sama. Sebagai “dzikir”, untuk mengingat dan menjadikannya sebagai palajaran.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *