Mungkin tak banyak yang tahu tentang proyek musik dari Bantul bernama Sisir Tanah. Kalaupun sekarang mulai banyak yang tahu, sepertinya itu karena salah satu lagunya menjadi soundtrack film “Nanti Kita Cerita Tentang Hari ini (NKCTHI)”.
Saya sendiri mengenalnya dari playlist spotify suami. Awalnya terdengar aneh di telinga. Saya terima saja sebagai salah satu kompromi pada selera pasangan. Namun pada suatu senja yang gerimis, saya mendengar salah satu lagu Sisir Tanah mengalun dari speaker kesayangan kami dan mendadak tersihir oleh suasana yang dibangun lagu itu.
Dibuka dengan lirik “yang wajib dari hujan adalah basah, yang wajib dari basah adalah tanah,” lagu yang dijuduli “Lagu Wajib” ini hanya mengulang-ulang nada yang sama dengan lirik yang dimodifikasi. Memuncak pada lirik “yang wajib dari kita adalah cinta” lantas dipungkasi dengan “yang tak wajib dari rasa adalah luka” Danto, personel utama (dan sering kali satu-satunya) Sisir Tanah sukses menyeret saya ke tak terhingga memori mengenai aroma tanah basah, hujan yang sendu, dan luka-luka yang tak seharusnya ada.
Berkat lagu ini, saya mulai mendengarkan lagu-lagu Sisir Tanah yang lain. Semakin kepincut ketika menyadari bahwa Sisir Tanah punya kepedulian lingkungan yang sangat kuat dalam karya-karyanya.
Simak misalnya lirik “Lagu Alternatif” yang mengkritik penggunaan energi tak terbarukan:
…
Mengapa nyala lampu kita meninggalkan lubang-lubang tambang
Mengapa terang rumah kita mendatangkan duka dan derita
Nyalakan lampu dari putaran angin
Terangi rumah dari aliran air
Sinari kota dengan panas matahari
Atau lirik di lagu “Bebal” yang lebih kontemplatif dengan rasa Iwan Fals:
Jika bumi adalah ibu, kita manusia memperkosa ibunya
Setiap hari, setiap jam, setiap menit, setiap detik
…
Ada tak ada manusia mestinya, pohon-pohon itu tetap tumbuh
Ada tak ada manusia mestinya terumbu karang itu tetap utuh
Hal lain yang belakangan saya sadari juga, lagu-lagu Sisir Tanah ini seperti mantra. Musik pengiringnya sangat minimalis, nadanya sederhana, sementara liriknya kuat dan puitis. Seperti mantra, nada dan liriknya cenderung mirip satu sama lain dan diulang-ulang. Cara Danto membawakannya pun seperti tengah merapal mantra: dengan suara rendah, dalam, pelan, membius. Seperti mantra pula, tanpa sepenuhnya kita sadari lagu-lagunya yang bermuatan serius tetap berhasil membawakan keyakinan, harapan, bahkan keceriaan.
Misalnya di “Lagu Hidup” yang membahas tentang menjaga lingkungan
Kita akan slalu butuh tanah
Kita akan slalu butuh air
Kita akan slalu butuh udara
Jadi teruslah merawat
Ada lirik yang terus-menerus diulang, bagai mantra:
Harus berani
Harus berani
Jika orang-orang itu menyakiti,
Harus bersatu menghadapi
Sisir tanah sepertinya sedang menyemangati diri sendiri, juga menyemangati kita semua, manusia, untuk tetap berani, untuk terus berjuang menjaga hal-hal yang penting bagi kehidupan seperti tanah, air, dan udara.
Bahkan di “Lagu Bahagia” yang selintas terdengar seperti lagu cinta manis ringan cenderung sensual, lirik seperti
Jika aku adalah cinta, aku hanya ingin mencinta
menjadi kabut bukit, menjadi kabut bukit di kulitmu
menjadi alam liar lamunanmu
ternyata diakhiri dengan:
nyanyikanlah harapan
perjuangkan tujuan
bahagia kehidupan
cocok sekali untuk menghibur jiwa aktivis di dalam diri kita kan? Meski para aktivis juga manusia biasa yang kadang menye-menye karena urusan cinta, pada akhirnya tujuan akhir perjuangan adalah kehidupan yang bahagia untuk sebanyak mungkin orang.
Dalam perjuangan-perjuangan panjang, seperti upaya merawat ibu bumi, akhir dari tujuan sering kali tak terlihat, saking jauhnya. Tanpa pengingat, tanpa penyemangat, orang bisa jadi lupa jalan, lupa tujuan. Bagi saya pribadi, Sisir Tanah berhasil memenuhi peran pengingat dan penyemangat itu dengan sangat keren. Terima kasih, Sisir Tanah.
Leave a Reply