Selamat Hari Idul Adha, untuk semua sahabat yang merayakannya. Hari raya atau lebaran memiliki ciri khas silaturrahmi, berkunjung ke sanak keluarga dan teman, yang tujuannya sangat beragam, bisa untuk minta maaf, atau sekedar mengikuti adat para tetua yang tak boleh ditinggalkan, atau hanya untuk menghilangkan penat karena hari-hari lain harus fokus bekerja.
Pasalnya agama membenarkan tujuan-tujuan tersebut, bahwa menyambung tali persaudaraan (silaturrahmi) juga sebagai usaha memperpanjang usia dan melapangkan rezeki. Bukankah 2 hal ini yang seringkali menjadi tujuan manusia pontang-panting bekerja?
Hal ini tercantum dalam hadis Sahih Bukhari مَنْ سَرَّهُ أَنْ يُبْسَطَ لَهُ فِى رِزْقِهِ أَوْ يُنْسَأَ لَهُ فِى أَثَرِهِ، فَلْيَصِلْ رَحِمَه Barang siapa yang senang dilapangkan rezekinya atau dipanjangkan usianya maka sambunglah tali persaudaraan. Makna literlek hadis ini seakan memberi kesempatan untuk hidup selamanya, setiap kali “merasa” malaikat maut akan datang langsung saja silaturrahim maka automatis umur bertambah. Apakah sesederhana itu maksud sabda Nabi?
Tentu tidak, karena akan kontradiktif jika dikaitkan dengan hadis lain, misal yang mengatakan bahwa rezeki dan ajal telah ditentukan saat masih dalam kandungan di 40 hari kedua. Mungkin refleksi saya bisa jadi bahan renungan sahabat salam hal ini.
Saat silaturrahmi ke kediaman kiai Zawawi Imron, sastrawan yang lebih terkenal dengan Celurit Emas, saya kira berkunjung ke sana akan banyak mendapatkan suguhan puisi sebagaimana beliau dikenal. Ia justeru banyak bercerita sejarah.
Pertama tentang seorang pemimpin perempuan pertama di Aceh, Sulthanah Shafiyatuddin pemegang nahkoda kerajaan Aceh Darussalam (1496) hingga bumi Aceh menjadi makmur sejahtera, subur kaya dengan tambang dan sumber daya alam lainnya. Ia diangkat menjadi Sulthanah setelah Sultan Iskandar Tsani sang suami mangkat dan dari kerabat tidak ada lelaki yang bisa menggantikannya.
Sebab memimpin memerlukan integritas, tidak peduli apa jenis kelaminnya. Bincang tentang ini sampai pada mantan Wali Kota Surabaya ibu Tri Rismaharini yang kini menjabat sebagai Menteri Sosial Republik Indonesia, andai bukan karena integritasnya warga Surabaya tidak akan memilihnya selama 2 periode.
Selanjutnya Abah –sapaan akrab kiai Zawawi- mengajak kita untuk merefresh pikiran, progress pola pikir, bahwa fikih sebagai rel aturan dalam agama Islam sesungguhnya fleksibel dan dinamis, mengikuti situasi dan kondisi umat muslim. Istilah Maduranya, enga’ ros-orossa salebbar (seperti tali celana) yang bisa ketat jika dipakai pinggang kurus dan bisa melebar jika dipakai pinggang gemuk. Kaidah fikihnya إذا ضاق الأمر اتسع وإذا اتسع ضاق jika perkara sedang menyempit maka (hukum) melebar, dan jika perkara sedang lengang maka (hukum kembali) menyempit.
Maka sungguh disayangkan seorang yang hanya terpaku pada satu rel padahal tersedia banyak rel dengan satu tujuan yang sama. Di ujung bersumbernya ilmu dari lisannya, Abah berpesan bahwa saat membaca surat Alfatihah hendaknya benar-benar bertafakkur di setiap lafalnya. Barangkali tidak terkabulnya doa kita atau tidak tenangnya hati seseorang karena entengnya kita membaca Alfatihah.
Sebagai tamsil, Abah bertanya, “Bagaimana perasaanmu kalau mendapat surat dari orang tua? Bupati? Atau presiden? Pasti senang bukan?” dan saya mengangguk. “dan pasti kau baca lagi surat itu. Begitulah seharusnya kamu membaca Alfatihah, malah harus berkali lipat lebih senang dan khudu’” pesan ini sedikit menamparku karena hampir tiap baca Alfatihah saya membutuhkan waktu kurang dari setengah menit. Singkat tanpa perenungan sama sekali.
Dan masih banyak lagi pengetahuan anyar yang saya dapatkan dengan duduk bersama Abah selama kurang lebih 1 jam itu, kalau dihitung dengan SKS (Satuan Kredit Semester) bobotnya bisa sampai dua puluhan, setara dengan setengah tahun perkuliahan karena mencakup banyak fan keilmuan.
Lepas dari silaturrahmi itu saya jadi berpikir, jangan-jangan ini salah satu makna memperluas rezeki dan memperpanjang usia. Rezeki ilmu yang tidak saya dapatkan di bangku sekolah dan kuliah, memperpanjang usia dalam arti lebih berarti, dalam waktu 1 jam saya bisa sampai di kehidupan 30 tahun sebelum saya lahir dan sangat mungkin tulisan ini –yang kuharapkan mengandung ilmu- bisa dibaca oleh para pembaca setelah saya tutup usia.
Leave a Reply