“Gaes, waktuku tinggal sebentar. Kalau aku udah nggak kuat, nggak apa-apa ya kalau aku menyerah. Aku titip Alya dan anak-anak”.
Sebuah pesan sekilas muncul di fitur lock screen ponselku. Apa lagi ini? Nggak usah bercanda deh, Ben. Ini nggak lucu, beneran nggak lucu. Rutukku dalam hati. Mataku kembali menelusuri laman jadwal beberapa listing AirBnB yang dipercayakan oleh Surya, kakakku yang menikah dengan perempuan Hongkong.
Pesan lain muncul. Sebuah stiker pelukan yang diberikan oleh Alya. Ahhh, tak segan-segannya mereka saling menunjukkan rasa. Lalu, aku…
**
Kelas Dua SMA
Sesosok makhluk manis mengganggu pandanganku. Rambutnya yang hitam legam dan lurus hanya diikat tanpa asesoris rambut seperti siswi yang lain. Entah apa namanya benda-benda yang menghiasi kepala mereka itu.
“Ranu, kamu mau kenalan sama teman baruku?” Suara Alya duduk di sebelah makhluk itu.
Perempuan itu menoleh dan tiba-tiba tampak bola mata paling jernih yang pernah kulihat. Seperti mengandung magnet, aku tertarik daya pesonanya.
“Hai, aku Meira. Kamu…”
**
Tring…tring…tiba-tiba lamunanku tentang pertemuan pertama kali dengan Meira terganggu notifikasi di grup lagi. Hadeh, Beno nih seneng banget merecoki kesenangan orang.
“Beno sudah berpulang lima menit setelah mengirimkan pesan tadi. Aku minta maaf kalau Beno ada salah, ya.”
Tiba-tiba dadaku terasa sesak. Merasa bersalah telah menuduh Beno bercanda. Namun, aku juga tak mampu menuliskan apa-apa.
Setetes air mata jatuh membasahi layar ponselku, bersamaan dengan munculnya sebuah pesan. Dari Meira.
“Alya, kamu sudah berupaya sebaik mungkin untuk Beno. Ia berpulang bukan karena dirimu tak pandai merawatnya atau tak menjadi istri yang baik. Waktu untuk membahagiakan kalian sudah selesai. Kini dirimu yang perlu juga bahagia, untuk dan bersama anak-anak.”
Meira? Betapa dewasa ia dibanding aku … Dugaanku ia mengetik sambil menangis, atau malah tidak? Ah, perempuan yang telah mengganggu benakku sejak kami bertiga bersama di SMA, entah terbuat dari apa hatinya.
Ia juga yang selalu tegar ketika Alya menangis histeris memberitahukan Beno terdiagnosa gagal ginjal. Ia memeluk dan menenangkan, seperti layaknya sosok ibu yang sudah lama tak hadir dalam hidup Alya. Namun, aku juga yang menyaksikannya menangis di sudut Bakery-nya ketika sudah kembali dari rumah sakit. Dan, aku hanya bisa diam, duduk di sampingnya tanpa bisa memeluk untuk berbagi rasa.
Beno pernah menanyakan ini kepadaku, sebelum ia jatuh sakit. “Kok kamu jadi kaku gitu sih, Ran? Kayaknya waktu kukenal kalian dulu, waktu aku baru jadian sama Alya, kalian akrab banget. Saling peluk dan rangkul. Kenapa sekarang berbeda? Jangan-jangan, kamu mulai jatuh hati?”
Aku terdiam cukup lama, bingung harus menjawab sejujurnya atau secukupnya agar bisa memenuhi keingintahuannya.
“Hei … diam berarti iya. Bener ‘kan. Tunggu apa lagi? If you never confessed to her, you would never know what she might feel about you. Tak cukupkah kami menjadi contoh bahwa pernikahan itu sangat menyenangkan?”
Aku mengangguk. “Tapi kau dan Alya tak memulainya dari persahabatan seperti aku dan Meira. Sulit rasanya mengubah kedekatan ini menjadi hubungan sepasang kekasih. Rasanya pasti tak sama!”
Beno mengernyit dan memandangku lama. “Kau akan menyesal nanti, Ran. Bila ada orang lain yang mendapat tempat yang sebenarnya kau inginkan. Masa harus ada yang ‘pergi’ dulu baru dirimu akan menyadarinya?”
Ah, tiba-tiba hatiku sakit mengingat semua ucapan Beno. Dan, makin sakit mengenang apa yang diucapkannya saat aku menggantikan Alya yang hendak menyiapkan makanan untuk Freya dan Aurora, anak-anak mereka.
**
Kulihat Alya tertidur dengan kepala bertumpu tangan di tepi ranjang Beno karena kelelahan. Menyaksikan relasi cinta mereka berdua sungguh memberiku optimisme bahwa yang namanya soulmate, pasangan jiwa itu masih ada, meski kenyataan yang dihadapi mereka sangat pahit.
Sambil mengucek mata dan menyisir rambutnya, Alya sempat berujar, “Makasih banyak ya, Ran. Untung ada lo dan Meira yang bisa menolong di saat seperti ini. Kalau enggak, pada siapa akan kutitipkan anak-anak.”
Aku menepuk bahunya pelan. “Itu gunanya teman. Ya, gue bersyukur bisa membantu kalian semaksimal mungkin. Freya dan Aurora pun anak-anak yang menyenangkan. Kalian sudah mendidik mereka dengan sangat baik.”
Alya tersenyum sambil menyusut air matanya yang mendadak mengalir. Tak mau menganggu Beno yang masih lelap tertidur, ia beranjak keluar kamar usai mengecup pipi suami tercinta.
Entah berapa lama aku jatuh tertidur, bunyi dengung penyejuk udara mengejutkanku.
“Sorry, Ran. Lo jadinya ikutan capek sampe ketiduran gitu. Padahal bukan tanggung jawab lo juga untuk bantu jagain anak-anak.” Rupanya Beno telah terbangun sejak tadi dan segera menyapaku.
Aku menggelengkan kepala. “Ga usah ngomong kayak gitu. Gue itu sahabat kalian. Gue dan Me-ei-ra pasti bantuin.”
Suaraku mendadak terbata menyebut perempuan itu lagi.
Tadi sebelum ke rumah sakit, sempat kusaksikan adegan yang menghangatkan hati.
Meira sedang bersama Freya dan Aurora bermain boneka sambil menyanyi. Suaranya yang merdu menyejukkan hati dan kepalaku yang mumet usai melihat e-mail keluhan customer. Dengan sengaja kuambil kameraku dan beberapa kali meng-candid pemandangan itu.
“Hei … ngelamunin Meira?”
Bagai maling tertangkap basah, aku hanya bisa cengengesan menatap Beno.
“Ayo, Ran. Ngomonglah, bagaimana perasaanmu pada Meira. Itu juga kenapa gue minta lo datang ke sini.” Wajahnya yang tadi masih tersenyum menggodaku, kini berubah serius. Dahi Beno berkerut-kerut dan ia berusaha bangun untuk duduk lebih tegak daripada sekadar berbaring saja.
Aku bangkit untuk membantu tetapi ditepisnya.
“Biarin. Beberapa hal gue harus bisa sendiri.”
Meski napas Beno sedikit terengah-engah, aku melihat upayanya untuk tidak menyusahkan orang lain. Hal yang membuatku makin respek kepada lelaki yang hanya lebih tua dua tahun dariku ini.
“Ranu, yang gue mo omongin ini serius dan gue mau lo tanggapinnya juga serius.”
Aku menatapnya lekat-lekat. Sedikit takut apa yang akan dikatakannya. Apakah dokter mengatakan sesuatu tentang penyakitnya, atau?
“Gue minta apa pun yang terjadi nanti, kami berdua pengen Meira dan lo yang nanti menjaga anak-anak.”
“Lho, ‘kan ada Alya, Ben?”
“Ya…ya, tapi dokter bilang, kondisi gue bisa drop sewaktu-waktu. Jadi gue minta lo serius nanggepin ini.”
Setelah menyampaikan pernyataannya, Beno berbaring lagi. Ia tampak kelelahan dan aku terlalu terkejut untuk berkata-kata. Menjaga anak-anak bersama Meira? Bukankah itu berarti Beno berharap aku ….
***
“Om Ranu, kenapa bengong?” Suara si sulung Freya mengejutkanku. Tak seharusnya aku melamun di saat seperti ini. Untung saja Aurora tertidur kelelahan sedari tadi, sementara Meira tak beranjak dari Alya yang berkali-kali pingsan di samping peti Beno yang belum ditutup.
Kuraih anak perempuan bermata bulat itu ke pelukanku. Suasana duka ini sungguh menyesakkan dada.
“Eya, mau fotoin Papa? Sini, Om ajarin!” Sambil menuntunnya ke luar menuju peti tempat Beno bersemayam, kucangking kameraku.
Kubiarkan ia melihat Papanya dari screen. Setelah mengatur peralatan teknis, kubiarkan jemari kecilnya menekan tombol, merekam gambar.
Ia mulai berceloteh dengan polos dan lucu. “Papa bobonya enak ya, Om! Papa ganteng sekali. Aku sayang Papa!”
Suaranya bergema ke seluruh ruangan. Membuat Meira mengangkat kepalanya dan dua pasang mata kami bertukar rasa yang sulit kutafsirkan maknanya.
Freya tak menangis usai mengambil gambar Beno banyak-banyak, justru hatiku yang sakit. Terutama mengingat belum juga melaksanakan amanat lelaki itu.
***
Sudah lewat 40 hari Beno berpulang.
Kondisi Alya tak berangsur baik. Insomnianya makin parah, dan dosis antidepresan yang harus dikonsumsinya makin bertambah.
Melihatku bermain dengan Freya dan Aurora malah membuatnya berhalusinasi bahwa akulah Beno. Namun, ia hanya menatapku sambil berucap kepada Meira di sebelahnya. “Beno itu cinta pertamanya anak-anak, bukan aku lagi. Padahal aku tak bisa bernapas tanpa Beno.” Lalu, ia mulai histeris dan berlari. Bersembunyi dalam kamar.
Alya mengisolasi dirinya dan baru keluar saat makan atau kunjungan psikiater saja. Berkali-kali ia mencoba bunuh diri, sehingga perlu seorang perawat yang mendampinginya. Ia tak pernah mau berinteraksi dengan anak-anak sehingga kedua balita itu takut berdekatan dengannya.
Aku merasa, hal ini lebih menyedihkan dibandingkan saat kami semua mengetahui Beno berpulang. Meira berkali-kali tanpa sungkan memelukku bila tak tahan lagi melihat kondisi Alya semakin mencemaskan dan membuat jarak dengan anak-anak. Meski seketika jantungku berdegup lebih cepat, kubiarkan kehangatan pelukan demi pelukan itu untuk menenangkannya.
Entah situasi ini yang mendekatkan kami atau sama-sama merasa kehilangan sosok Beno sekaligus Alya saat ini. Yang jelas ekspresi Meira untuk berdekatan secara fisik denganku seperti tercurahkan dari momen ke momen. Ia sering menyandarkan kepala di ceruk leherku sampai tertidur atau bahkan tak segan di hadapan anak-anak, merangkulku dari belakang. Bila kubalas dengan mengecup pipi, dahi atau rambutnya, ia juga tak menolak.
Sekali ini aku bersungguh-sungguh, mau menikmati waktu demi waktu, menumbuhkan rasa bersama Meira. Sebaik-baiknya, seindah-indahnya, tak akan kulewatkan lagi.
— untuk semua yang tetiba kehilangan seseorang di masa pandemi —
Leave a Reply