Ummul Mukminin Sayyidah Saudah binti Zam’ah, dari sudut pandang tertentu adalah perempuan paling beruntung di antara para ummahatul mukminin. Asumsi ini berdasarkan beberapa fakta. Pertama, dia adalah perempuan pertama yang dinikahi oleh Baginda Nabi Saw. paska wafatnya Sayyidah Khadijah. Selepas ‘aam huzni atau tahun kesedihan ketika Nabi Saw. ditinggal wafat orang-orang terdekatnya, sempat menduda untuk sementara waktu. Tepat ketika beliau memutuskan untuk menikah lagi, perempuan pertama yang dinikahi adalah Sayyidah Saudah.
Alasan kedua, Sayyidah Saudah adalah perempuan kedua setelah Sayyidah Khadijah yang sempat merasakan hidup monogami bersama Nabi Saw. Selama beberapa bulan sebelum menikah dengan Sayyidah Aisyah, Saudah sempat menjadi istri satu-satunya bagi Nabi Muhammad Saw. Ketiga, Saudah adalah istri Nabi Saw. yang berhasil membuat Sayyidah Aisyah ingin meniru perilakunya. Dalam suatu riwayat, Sayyidah Aisyah pernah berkata: “Tak ada perempuan yang ingin kutiru perilakunya, melebihi Saudah binti Zam’ah”.
Alasan keempat, Sayyidah Saudah adalah satu-satunya istri Nabi Saw. yang ketika hidup dalam pernikahan poligami justru merelakan waktu gilirnya untuk istri yang lain. Tepatnya untuk Sayyidah Aisyah. Sikap ini menggambarkan kelapangan hati serta betapa dia mendapatkan kebebasan membuat keputusan dalam pernikahan. Jika dilihat secara positif dari sudut pandang feminisme, sikapnya ini menunjukkan bahwa pernikahan dan apa pun yang terkait di dalamnya adalah berdasar keputusan bersama. Di riwayat mengenai hal ini, keputusannya merelakan waktu gilirnya mendapatkan malam bersama Nabi Saw. Andai nilai kebebasan memilih bagi setiap pihak semacam ini diterapkan dalam kehidupan berumah tangga, bahkan dalam keluarga poligami pun, maka perselisihan dan sejumlah prahara lainnya kemungkinan minim akan terjadi.
Terkait dengan periwayatan hadis, Sayyidah Saudah termasuk Ummahatul Mukminin yang sedikit meriwayatkan hadis. Menurut hitungan Baqi bin Mukhallad total hadis yang diriwayatkan oleh Sayyidah Saudah hanya ada lima. Bahkan hanya dua hadis yang dimuat oleh kutubussittah (enam kitab hadis tervalid) dan hanya satu hadis yang dimuat oleh Sahih Bukhari. Di antara sahabat yang menerima hadis darinya adalah Ibnu Abbas, Yahya bin Abdullah al-Anshari, dan lain-lain.
Akan tetapi, meski hanya dua hadis riwayatnya yang masuk dalam kutubussittah, hadis riwayat Sayyidah Saudah memiliki peran cukup penting dalam syariat Islam. Hadis pertama, yang disebutkan dalam Sahih Bukhari adalah tentang hukum menyamak kulit bangkai hingga halal dipakai. Berikut bunyi hadis tersebut:
“Dari Sayyidah Saudah istri Nabi saw., beliau berkata: “kami (Nabi saw. dan Sayyidah Saudah) punya kambing yang mati. Lalu kami ambil kulitnya untuk kami samak dan kami senantiasa pakai untuk minum hingga kulit itu rusak”.
Dalam Syariat Islam, pada dasarnya umat muslim dilarang untuk memakai, mengonsumsi, dan memfungsikan bagian tubuh bangkai mana pun. Yang dimaksud bangkai adalah binatang mati tanpa sembelihan yang mengikuti aturan syariat. Padahal pada saat itu, kulit binatang sering dipakai sebagai wadah minum maupun wadah lain. Bahkan saat ini, kulit binatang sering difungsikan untuk sejumlah kepentingan seperti fashion. Andai tidak ada hadis riwayat Sayyidah Saudah ini, maka dapat dibayangkan kesulitan yang mungkin muncul dalam kehidupan umat muslim. Hadis ini hadir menjadi sumber hukum pengecualian sehingga bisa mendatangkan kemudahan dan keringanan hukum bagi umat muslim.
Sementara hadis kedua, disebutkan dalam Sunan Darimi. Hadis ini menjelaskan tentang kebolehan menggantikan ibadah haji kepada orang lain. Berikut bunyi hadisnya:
“dari Sayyidah Saudah istri Nabi Saw., beliau berkata: “ada seorang laki-laki yang mendatangi Nabi Saw. dan bercerita: “ayahku sudah sepuh dan tidak mampu untuk melakukan haji” lalu Nabi Saw. pun menjawab: “bagaimana pendapatmu jika ayahmu punya hutang dan engkau melunasinya atas nama ayahmu, apakah itu bisa diterima?” laki-laki itu pun menjawab iya, dan Nabi saw. bersabda: “Allah Swt. lebih penyayang. Laksanakanlah haji atas nama ayahmu”.
Pada dasarnya haji adalah gabungan antara ibadah maaliyah dan badaniyah (harta dan fisik) yang wajib dilakukan oleh setiap muslim yang mampu. Hadis ini menegaskan adanya hukum yang mudah bagi mereka yang secara finansial mampu untuk melakukan haji namun fisik yang sudah renta tidak memungkinkan lagi. Hadis riwayat Sayyidah Saudah ini memperbolehkan adanya pelaksanaan haji atas nama orang lain yang kerap disebut haji badal.
Tanpa mengesampingkan keutamaan masing-masing ummahatul mukminin dalam panggung sejarah, Sayyidah Saudah memiliki sejumlah keutamaan tersendiri, khususnya dalam ranah periwayatan hadis. Meski sedikit dari segi jumlah, hadis riwayatnya sangat padat dari segi konten serta solutif bagi umat muslim dulu, kini dan nanti.
Wallahu A’lam.
Leave a Reply