Benarkah beliau penerima hadis pertama? Tapi mengapa bukan perawi pertama?
Dalam sirah Rasulullah saw. terdapat satu nama perempuan yang luar biasa. Yaitu Sayyidah Khadijah Al-Kubra. Nama lengkap beliau adalah Khadijah binti Khuwailid bin Asad bin Abdul Uzza bin Qushai.
Pada Nama Qushai inilah nasab beliau dengan Nabi bertemu. Karena selain Abdul Uzza, Qushai memiliki tiga anak lain yang di antaranya adalah Abdu Manaf yang yang menurunkan Hasyim, yang menurunkan Abdul Muththallib, yang menurunkan Abdullah yang tak lain adalah ayahanda Nabi saw. Beliau adalah perempuan pertama yang menjadi istri Rasulullah saw. sekaligus pendamping Nabi saw. semenjak sebelum risalah (penobatan sebagai utusan) hingga beliau wafat beberapa tahun pasca risalah.
Dalam bahtera rumah tangga yang dijalani, Sayyidah Khadijah menjadi istri yang setia mendampingi setiap fase kehidupan yang dijalani oleh Nabi saw. Terbukti ketika momentum wahyu pertama, beliau menjadi orang pertama yang menjadi tempat kembali Nabi saw. dari Gua hira. Beliau pula menjadi orang pertama yang mengimani kenabian. Kisah tersebut disebutkan dalam potongan hadis riwayat Sayyidah Aisyah berikut ini:
“…lalu Rasulullah saw. pulang dengan hati bergetar. Beliau masuk menemui Khadijah binti Khuwailid sembari berkata: “Selimuti aku! Selimuti aku!” lalu Khadijah menyelimuti hingga ketakutan Nabi saw. hilang. Lalu Nabi saw. menceritakan kejadian turunnya wahyu dan berkata kepada Khadijah: “aku mengkhawatirkan diriku sendiri” lalu Khadijah pun menenangkan Nabi saw: “demi Allah Dia tidak akan membuatmu sedih selamanya. Bukankah engkau menyambung tali asih, menanggung beban, mengusahakan sesuatu yang tidak ada, memuliakan tamu serta menolong orang-orang yang butuh…”
Potongan hadis di atas hanyalah satu cuplikan peran besar Sayyidah Khadijah dalam proses kenabian. Namun dari cuplikan hadis di atas pula, kegelisahan penulis muncul. Kegelisahan yang memunculkan dua pertanyaan yang disebutkan pada sub judul di atas.
Untuk pertanyaan pertama, kita perlu merujuk kepada definisi hadis terlebih dahulu. mayoritas ulama mendefiniskan hadis adalah setiap perkataan, perbuatan dan persetujuan yang berasal dari Nabi saw. Dengan demikian, definisi ini mengecualikan perkataan, perbuatan dan persetujuan yang berasal dari beliau sebelum menjadi utusan.
Dari definisi di atas, Sayyidah Khadijah adalah orang pertama yang ditemui Nabi saw. setelah wahyu pertama. Maka tak dapat dipungkiri bahwa beliau pulalah yang menjadi penerima hadis pertama.
Bahkan perkataan ‘selimuti aku’ dan ‘aku mengkhawatirkan diriku sendiri’ tak lain adalah hadis karena muncul dari Nabi saw. pasca kenabian dan notabene penerima satu-satunya adalah Sayyidah Khadijah. Begitu pula wahyu-wahyu berikutnya semisal wahyu mengenai wudu dan salat sebagai syariat pertama juga diajarkan pertama kali oleh Nabi kepada Sayyidah Khadijah sebelum kepada orang lain.
Pertanyaan kedua muncul dari kegelisahan penulis setelah melakukan penelusuran singkat. Khususnya dalam kitab hadis yang sembilan, diperoleh kesimpulan bahwa tidak ada satu hadispun yang diriwayatkan oleh Sayyidah Khadijah. Bukankah beliau masih sempat hidup selama sekitar sembilan tahun membersamai Nabi saw. di masa kenabian? Bukankah pada masa sembilan tahun ini banyak wahyu terkait syariat amaliah maupun tauhid yang turun kepada Nabi saw.?
Penulis memiliki sejumlah asumsi sementara dalam menjawab pertanyaan ini.
Pertama, fakta bahwa dakwah pada saat itu masih dilakukan diam-diam dengan objek dakwah yang relatif sedikit. Sehingga kecil kemungkinan membutuhkan Sayyidah Khadijah untuk menyampaikan kembali apa yang beliau terima dari Nabi saw. Dengan demikian, pada saat itu cukuplah Nabi saw. sebagai sumber informasi keagamaan satu-satunya.
Kedua, tradisi periwayatan belum berkembang luas sebagaimana pada zaman berikut-berikutnya. Ajaran agama islam yang dibawa Nabi saw. cukup diterima dari beliau langsung dan belum membutuhkan perantara. Pun tradisi meriwayatkan kembali apa yang diterima dari Nabi saw. belum berkembang luas. Sementara pada zaman Ummahatul Mukminin lainnya, beliau semua masih sempat hidup pasca wafatnya Nabi saw. sehingga para sahabat atau tabiin yang minim kesempatan untuk belajar langsung kepada Nabi saw. dapat belajar melalui perantara mereka. Sementara sayyidah Khadijah justru wafat mendahului Nabi saw.
Ketiga, struktur patriarkis pada awal kenabian yang sangat membatasi ruang gerak perempuan. Sering kita dapati riwayat bahwa pada saat itu sejumah diskriminasi terhadap perempuan lainnya adalah hal biasa. Pembatasan terhadap peran aktif perempuan masih sangat erat sehingga dapat dimaklumi para jahiliyah yang tertarik untuk belajar Islam akan belajar langsung kepada Nabi saw. atau sahabat Nabi saw. yang laki-laki. Dengan demikian, Sayyidah Khadijah tentu belum memiliki ruang publik yang memungkinkan beliau meriwayatkan hadis. Sementara pada zaman Ummahatul Mukminin Lainnya, para sahabat sudah mendapat banyak edukasi dari Nabi saw. terkait memuliakan perempuan dan semacamnya sehingga mereka tidak masalah belajar bersama atau belajar kepada seorang perempuan. Terlebih jika itu adalah Ummahatul Mukminin.
Terlepas dari pertanyaan dan sejumlah asumsi di atas, tak dapat dipungkiri bahwa Sayyidah Khadijah memiliki peran besar dalam fase awal kenabian. Walaupun dalam proses transfer keilmuan beliau tidak terlibat secara langsung, namun peran beliau tehadap dakwah Islam tidak bisa diabaikan. Karena beliau adalah orang pertama yang menjadi pendukung Nabi saw. baik secara mental maupun finansial. Jadi walaupun beliau tidak tercatat sebagai salah satu periwayat hadis, namun hemat penulis beliau layak dicatat sebagai penerima hadis pertama dalam sejarah Islam. Wallahu A’lam.
Leave a Reply