Neswa.id-Memperbincangkan sosok perempuan kian menarik dari waktu ke waktu. Apalagi perempuan pinggiran kota (pelosok pedesaan). Sebab, akan mengantarkan kita pada ruang-ruang dilematik dan penuh kekecewaan. Perubahan zaman dengan segala kemajuan dan perkembangannya, seakan tak memberi dampak apapun terhadap cara pandang sebagian masyarakat kepada perempuan, terutama di pelosok pedesaan.
Pola pikir lama yang memandang perempuan lemah, status sosialnya di bawah laki-laki, tak layak memegang kekuasaan, dan menjadi pelengkap hidup laki-laki tetap mereka pertahankan sampai hari ini. Pembicaraan seputar karier dan pendidikan bagi perempuan desa dianggap tabu. Cita-cita untuk memiliki karier dan pendidikan yang mapan tak lebih dari sekadar imajinasi dan mimpi belaka.
Sekira anak perempuan desa ada yang melanjutkan studi pendidikannya hingga ke perguruan tinggi, obrolan negatif di tengah masyarakat tak terhindarkan. Pasalnya, menurut mereka, hal ihwal tak lazim bagi seorang perempuan dan bahkan dinilai dapat memperburuk perekonomian (menambah beban keluarga).
Kenyataan ini didasarkan terhadap sebuah doktrin yang dianggap sakral berasal dari nenek moyang; “Setinggi dan sesukses apapun karier serta pendidikan seorang perempuan, pada akhirnya tugas utamanya adalah menjadi ibu rumah tangga yang tugasnya sekadar memasak (dapur), menyuci (sumur), merawat anak, dan menunaikan kewajiban suami-istri (kasur). Demikianlah, kodrat seorang perempuan”.
Ironinya, doktrin patriarki ini mereka wariskan secara turun temurun kepada anak-anak perempuannya. Demikian seterusnya. Seakan hal ihwal menjadi pendidikan pertama yang wajib dikuasai dan dipahami. Tak heran jika pola pikir yang dimiliki perempuan-perempuan desa – meminjam istilah pesantren sami’na wa atho’na (mendengarkan serta mematuhi perintah). Akibatnya, kehidupan yang dijalani meski terasa pahit mesti diterima sebagai sebuah kenyataan.
Adalah berbanding terbalik dengan persoalan rumah tangga (pernikahan). Jika pendidikan dan karier tak memiliki ruang cukup memadai di kalangan masyarakat pelosok pedesaan, justru pernikahan mendapat tempat istimewa. Bahkan perayaannya sangat megah. Itu artinya, pendidikan dan karier seakan statusnya lebih rendah ketimbang urusan rumah tangga. Dengan penuh percaya diri mereka mengatakan: “Sebentar lagi anak gadisku akan dipersunting laki-laki”.
Lebih dari itu, tak jarang anak-anak perempuan desa dinikahkan (secara paksa) oleh orang tuanya dalam kondisi status pendidikan belum lulus Sekolah Dasar (SD) atau Sekolah Menengah Pertama (SMP). Alih-alih menyekolahkan, justru rumah tangga-lah prioritas utama. Menurut mereka, itulah jalan terbaik. Selain mengurangi beban dan tanggung jawab keluarga dalam hal perekonomian, juga agar supaya anak belajar untuk hidup mandiri dan bertanggungjawab.
Namun, realitas di lapangan tak seperti yang diharapkan orang tua. Minimnya ilmu pengetahuan (pendidikan) menjadikan perempuan dalam rumah tangganya selalu tersubordinasi. Bahkan, ia seringkali mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang berujung pada terjadinya perceraian (baca: dampak pernikahan dini). Akibatnya, kecemasan dan depresi selalu menghantui. Musababnya karena ia dipaksa menjadi dewasa, sementara psikologisnya belum matang dan stabil sehingga kehilangan jati diri. Fenomena ini juga berpotensi merenggut hak anak atau yang sering disebut kepentingan terbaik anak.
Padahal, dalam buku Tahrir al-Mar’ah (emansipasi perempuan) (1991), salah satu tokoh pejuang emansipasi perempuan asal Mesir, Qasim Amin, menyatakan dengan nada sedikit menantang bagaimana mungkin seorang perempuan dapat mengurusi hidupnya dengan baik, sementara ia tidak dibekali dengan ilmu pengetahuan (pendidikan) yang cukup memadai. Pun jika ia dibiarkan terus-menerus tanpa pendidikan, maka tidak akan mendatangkan manfaat bagi kehidupan. Dan sama saja menjadikan “perhiasan pajangan” yang fungsinya sekadar untuk dilihat.
Pendidikan, demikian menurut Qasim Amin merupakan hal yang wajib diberikan kepada perempuan. Sebab, berkaitan dengan perannya sebagai ibu dari anak-anaknya. Bahkan, menjadi penentu bagi masa depan generasi penerus bangsa kelak. Oleh karena itu, dengan pendidikan seorang perempuan dapat mempertinggi perannya di bidang domestik, di samping perannya sebagai pendidik pertama terhadap anak, mitra dialog dengan suami, atau juga di bidang kemasyarakatan.
Dari sini bisa kita pahami bahwa masa depan perempuan-perempuan pelosok pedesaan masih terbilang gelap. Budaya patriarki yang berasal dari nenek moyang selalu mengikat hidupnya. Ia juga dipaksa untuk menerima kenyataan pahit tersebut sebagai jalan hidup yang tak boleh digugat. Apalagi diperbincangkan. Wallahu A’lam. (IM)
Leave a Reply