Kretek mengepul di tangan kirinya, seraya berkata, “aku tak salat, bahkan ketika sesekali ingin salat, siapa yang bisa menyakinkanku bahwa salatku lebih khusyuk dari tiup nama-Nya di tiap kepul asap rokokku”. Di hadapan saya adalah seorang perempuan yang -bagian sebagian orang- cukup berantakan tetapi memiliki aura pemikatnya sendiri. Empat mata di tempat di mana gemerlap kota hanya terlihat.
Perempuan yang berbahagia dengan welas asihnya adalah arti nama perempuan itu, Mas’udhatul Rifah. Pertama kali bertemu dengannya di sebuah vihara di pinggir perkampungan sederhana. Sesederhana senyum simpulnya kala itu. Sama sekali tak terlintas kata ‘muslim’ untuk disematkan padanya di kesan pertama saya menyapanya. Namun siapa yang bisa menyangkal kun fayakun-Nya.
Menurut dia terkadang seberat itu beban dilimpahkan pada seseorang hanya oleh pemberian nama. Tanggungjawab welas asih di pundaknya. Bagi orang lain bahkan bagi dirinya pun terlalu memalukan nama itu diperuntukkan baginya. Diri yang ketus, kasar bicara, keras tabiat. Namun saya menyaksikan dirinya adalah perempuan dengan kelembutan hati dan kedalaman pikir. Perempuan yang barangkali di satu dua sisi kurang beruntung, namun di banyak sisi dipeluk kebaikan Dzat.
Bisa jadi kita sama, melihatnya bagai membaca “Samaran” karya Dadang Ari Murtono terbitan Mojok tahun 2018 lalu, penuh teka-teki perihal kutukan dan nasib. Ketika mendengarkannya bagai “Jemput Terbawa” karya Pinto Anugerah, menghanyutkan tanpa menghapus kesadaran. Keheningan buyar kala terlampau dalam ketika mencoba memahaminya. Duduk di sampingnya saja jauh lebih menyenangkan.
‘Chil’ panggilan kenyamanan Mas’udhatul Rifah. Oleh dirinya sendiri, nama bekennya adalah samaran sempurna atas aturan yang mengekang diri agar terlihat alim menurut nama aslinya. Kebebasan adalah milik kita sendiri. Ia pun menjadi dirinya yang bebas dengan nama ‘Chil’-nya, tanpa bermaksud tidak mensyukuri do’a pemberian orang tua. Orang tua yang sedikit banyak memengaruhi kerancuan sekaligus welas asihnya.
Perempuan dari pesisir pantai utara ini mengingatkan saya pada Samin Surosentiko. Tokoh ahimsa dari Blora zaman kolonial dulu, yang pengikutnya menamai diri sebagai Sedulur Sikep. Saat ini mereka masih eksis meskipun sudah jauh menyusut jumlahnya. Persebaran utamanya ada di Kudus, Pati, Grobogan, Blora, dan Rembang.
Samin surosentiko adalah salah satu wajah perlawanan bangsa Indonesia. Ia melawan kolonial dengan sikap nyeleneh-nya. Samarannya ada pada perilakunya yang bagai orang linglung, membuat para kolonial balik kanan dengan tangan hampa saat menarik upeti kepada pribumi, sanak kadang Samin Surosentiko. Kesan tidak waras yang mengakibatkan mereka terbebas dari beban upeti dan/ pajak lainnya. Tentu sikap demikian bukan tindakan egois, melainkan keunikan.
Oleh karena cara perlawanannya yang tidak wajar dengan prinsip-prinsip atas dasar kepercayaan para leluhur -mengingatkan saya pada pesan tak langsung dalam percakapan bersama Kak Chil “boleh kamu berpikir seliar apapun, asal dengan kaidah”-, membuat penjajah kewalahan. Hingga kemudian, dengan kecerdikannya, bangsa penjajah membaliknya menjadi Samin Surosentiko dan para pengikutnya banyak distigma sebagai aliran sesat. Barangkali sebab ini pula Sedulur Sikep atau Samin digolongkan sebagai aliran kepercayaan, bukan kebudayaan besar yang mendobrak kedzaliman penjajah.
Sama halnya Kak Chil, nama bekennya -oleh dirinya sendiri- adalah samaran dari aturan yang mengekang untuk terlihat bahagia nan welas asih akibat turunan namanya. Sebaliknya sungguh ia benar-benar welas asih, bukan welas asih yang lemah gemulai, berlembut ria bak Raden Ayu, melainkan sentuhan hati yang mendamaikan. Sampulnya memang kasar, isinya adalah kedalaman. Ia yang mampu sunyi dalam kebisingan.
Antara Samin dengan Kak Chil hanya terdapat perbedaan di mana Samin Surosentiko menyamarkan perilaku sementara Kak Chil menyamarkan namanya, sama-sama sebagai wujud perlawanan atas kekecewaan terhadap kehidupan. Satu lagi yang demikian, dialah Noyo Gimbal. Tokoh berambut gimbal dengan nama asli Naya Sentika (orang yang bijaksana) merupakan brandal Lasem yang teguh berdiri melawan penjajah, dialah pendahulu Samin Surosentiko yang juga memiliki samaran.
Noyo Gimbal, sebutan ini ia peroleh semenjak berjanji tidak akan memotong dan membersihkan rambutnya sebelum berhasil mengusir penjajah dari bumi pertiwi. Ia adalah sosok di balik cerita agung asal muasal Ara-Ara Sedodol (Blora) saksi bisu Perang Bangsri -perang terbuka Naya Sentika beserta para pejuang dengan kompeni Belanda beserta antek-anteknya. Demikian dalam Sejarah Lasem yang ditulis Raden Panji Kamzah tahun 1858.
Naya Sentika adalah tokoh Lasem yang berhasil menyelamatkan diri ke Blora sebagai pejuang setia pengikut Raden Panji Margono dalam goro-goro Perang Kuning -buntut dari Geger Pacinan (Tragedi Angke) di Batavia tahun 1740. Sebuah gonjang-ganjing penumpasan etnis Tionghoa di Batavia oleh kompeni Belanda menjadi luka yang disembuhkan dalam Puputan Cina Lasem sebagai serangkaian Perang Kuning.
Di balik Perang Kuning ini adalah Tan Pan Tjiang bernama asli Raden Panji Margono yang merupakan putra sekaligus pewaris keturunan Adipati Lasem 1714-1927 (Pangeran Tejakusuman V) yang enggan menempati warisan kedudukan adipati. Kemudian ada pemimpin pemberontakan yang gugur di atas armada kapalnya, Tan Kee Wie. Dan Oei Ing Kiat, ialah Adipati Lasem 1940 bergelar Raden Ngabehi Widyaningrat yang menerima imigran Tionghoa dari Batavia dalam jumlah begitu besar dan meleburkannya dengan warga Lasem.
Raden Panji Margono mengubah namanya sebagai bagian dari taktik perang melebur bersama etnis Tionghoa. Semacam taktik meleburkan diri pada jalan-jalan pintas kesenangan bagi diri yang kecewa, demikian Kak Chil, di suatu waktu. Sama halnya Oei Ing Kiat, gelar priyayi adalah momok daripada beban moral kesatria yang melekat padanya sebagai pemimpin pasukan perang melawan kolonialisme. Semacam momok kepura-puraan yang dirasa Kak Chil untuk teguh mendeklarasikan nama aslinya. Sebuah nama adakalanya menjadi representasi kemauan hati, lebih dari gambaran watak kecuali bagi insan yang menganggapnya remeh.
Kak Chil, menyimpan nama pemberian orang tuanya, bagi saya, merupakan wujud kebesarannya. ‘Chil’ ia anggap pantas bagi dirinya yang nista -setidaknya demikian pula anggapan banyak orang. Dengan samaran namanya, kualitas moral dalam nama adalah hak prerogatifnya tanpa harus risau pada komentar orang lain.
Sementara sampul berantakannya ia biarkan menjadi alat berekspresinya yang membebaskan alih alih tertekan oleh segala polemik kehidupan. Nama adalah rumah, di mana sang pemilik bebas membangunnya, di dalam sana leluasa melakukan segala yang menjadi karsa.
*Betari Imasshinta. Salatiga, 27 Oktober 2020.
Leave a Reply