Pada awal sejarah peradaban Islam, banyak perempuan Muslim yang terlibat aktif dalam diskusi intelektual bersama laki-laki baik di masjid-masjid, madrasah dan pusat-pusat kebudayaan yang menyebar di berbagai tempat. Bahkan banyak sumber menyebutkan banyak ulama laki-laki yang mendapatkan pengetahuan dari ulama perempuan, salah satunya dari cicit Rasulullah SAW, Sayyidah Nafisah binti Amir al-Muʾminin Al-Ḥasan al-Anwar ibn Zayd al-Ablaj ibn Al-Hasan ibn Ali ibn Abi Ṭalib al-ʿAlawiyyah al-Ḥasaniyyah.
Beliau lahir di Makkah pada tahun 145/762-3. Sayyidah Nafisah dikenal sebagai ulama perempuan yang berani dan dari kehebatan ilmunya sehingga diberi gelar ‘ummul ‘ulum. Beliau adalah ulama perempuan yang paling disegani di bidang hadist di Mesir. Sayyidah Nafisah menjalani hidup sederhana. Seorang keponakannya, Zaenab yang menemaninya selama 40 tahun menyaksikan bibinya tidak pernah tidur di malam hari dan hanya makan sekali setiap tiga hari. Beliau juga dikenal sebagai sosok alim dan sangat taat beribadah. Tercatat Sayyidah Nafisah pernah mengkhatamkan membaca alquran sebanyak 1.900 kali. Gerak langkahnya dalam mencari ilmu tidak diragukan dan dirinya tak segan untuk belajar ilmu agama kepada sumber yang terpercaya.
Seperti yang disampaikan oleh Ibn Kathir dalam kitab al-Bidayah wa al-Nihayah
Dia adalah seorang perempuan kaya, banyak bantuan yang diberikan kepada orang-orang, terutama mereka yang lumpuh, mereka yang sakit parah, dan orang sakit lainnya. Dia adalah seorang yang saleh, pertapa, dan memiliki kebajikan yang berlimpah. Ketika Imam al-Syafi’i tiba di Mesir, dia berbuat baik padanya, dan terkadang Syafi’i menuntunnya dalam salat di bulan Ramadhan .
Imam Syafi’i merupakan salah satu murid dari Sayyidah Nafisah. Kebesaran peran Imam Syafi’i di berbagai belahan dunia ternyata tak lepas dari sosok perempuan yang telah mendidik dan mengajarinya. Diketahui ketika Imam Syafi’i berangkat mengajar di Fustat, ia akan mampir ke rumah Sayyidah Nafisah. Dikabarkan juga bahwa Imam Syafi’i adalah ulama yang sering bersama Sayyidah Nafisah. Pada bulan Ramadhan Imam Syafi’i seringkali melakukan salat tarawih bersama gurunya di masjid yang kelak disebut sebagai masjid Sayyidah Nafisah di Kairo. Kedekatan mereka terlihat dari kebersamaan mereka, bahkan dalam sebuah catatn dikatakan ketika Imam Syafi’i sakit beliau akan mengutus sahabatnya untuk meminta Sayyidah Nafisah mendoakan kesembuhannya. Manakala sahabatnya kembali Imam Syafi’i tampak sudah sembuh.
Pernah suatu hari Imam Syafi’i sakit parah, kembalilah sahabatnya menemui Sayyidah Nafisah untuk mendoakannya, namun Sayyidah Nafisah hanya mengatakan, “Matta’ahu Allah bi al-Nazhr Ila Wajhih al-Karim” (semoga Allah memberinya kegembiraan ketika berjumpa dengan-Nya).
Imam Syafi’i sangat menghormati gurunya, hingga di penghujung hayatnya beliau berwasiat agar Sayyidah Nafisah menyalati jenazahnya. Sungguh indah kebersamaan mereka yang dilandasi dengan keilmuan. Para sejarawan menyebutkan bahwa Sayyidah Nafisah wafat pada bulan Ramadhan, keadaannya semakin lemah menjelang wafatnya sementara beliau tetap berpuasa. Orang-orang di sekitarnya menyarankan untuk berbuka (membatalkan puasanya) disebabkan keadaannya yang memburuk itu. Namun beliau berkata, ”Selama 30 tahun saya berdoa agar dapat berjumpa Allah dalam keadaan berpuasa, dan saya harus berbuka sekarang? Hal itu tidak akan terjadi”. Menjelang wafatnya dan masih dalam keadaan berpuasa, beliau membaca surat al-An’am. Dan ayat terakhir yang dibacanya adalah “Bagi mereka (disediakan) Darussalam (surga) pada sisi Tuhannya …” (QS 6: 127). Kabar kematian beliau menyebabkan orang-orang berdatangan dari penjuru negeri dan tangisan terdengar di rumah-rumah penduduk Mesir.
Selama hidupnya dan selepas wafatnya, Sayyidah Nafisa memiliki banyak karomah, di antara kisah karamahnya adalah sungai Nil yang pernah gagal pasang di musim yang seharusnya ia pasang, sehingga penduduk Mesir menjadi sangat khawatir, karena ini akan berdampak serius terhadap pertanian di negeri itu. Mereka kemudian mendatangi Sayyidah Nafisah dan mengadukan hal itu. Sayyidah Nafisah memberikan kain penutup wajahnya dan meminta mereka agar melemparkannya ke Sungai Nil. Mereka melakukannya, dan segera setelah itu Sungai Nil naik pasang. Sayyidah Nafisah merupakan fakta sejarah yang membuktikan bahwa seorang perempuan bisa menjadi ulama’ yang masyhur dan tak diragukan keilmuannya.
Leave a Reply