,

Santri Belajar Data? Siapa Takut!

/
/

Santri Belajar Data? Siapa Takut!

Neswa.id-Kemajuan sains dan teknologi di masa kini harus jadi perhatian pesantren, jangan sampai ada kalimat, “zaman udah masa kini, pesantren ‘masa gitu’ (gitu aja).”

Salah satu bidang yang lagi hits banget belakangan ini adalah data science atau ilmu data. Tapi anehnya, kenapa sedikit sekali santri yang mau belajar data? Waktu saya lagi ngabdi pada salah satu pesantren di Yogyakarta, saya sempat bertanya kepada beberapa santri. Kenapa mereka nggak mau belajar matematika, fisika, dan pelajaran eksak lainnya. Jawabannya sungguh mengejutkan.

“Buat apa belajar ilmu tersebut Bu, toh nanti di akhirat juga nggak ditanya-tanya,” jawab salah satu santri.

Mungkin itulah alasan kenapa waktu ngaji kitab, guru saya, Kh. Jazilus Sakho’ sering mengingatkan para santrinya, bahwa tidak ada dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama. Salah satu ulama besar yang bisa menjadi representasi dari argumen di atas adalah Ibnu Sina. Ia tidak hanya menjadi pakar dalam bidang kedokteran, akan tetapi juga seorang ulama terkemuka.

Sebagai santri dari pondok yang bisa dibilang salaf banget ya tidak, jauh juga dari kata modern, sejujurnya memang butuh effort lebih untuk bisa belajar data tetapi bukan berarti tidak mungkin. Kebetulan saya salah satu santri yang memiliki privilege karena bisa belajar data di perguruan tinggi. Mengapa demikian? berdasarkan data Kemendikbud, kursi statistika di UGM cuma ada 18, tapi pendaftarannya tahun lalu ada 649 orang. Satu kursi rebutan sama 36 orang. Bukankah ini sebuah persaingan yang cukup ketat?

Tapi, perjuangan saya baru dimulai ketika menjadi mahasiswa. Semester awal ketika mendapatkan mata kuliah pemrograman, saya tidak berani membuka komputer, takut programnya error. Sedihnya lagi, ketika programnya error, komputernya bunyi. Malu banget, kan? Komputerku bunyi terus, gimana ngga malu sih?

Tetapi setelah dipikir-pikir, saya memiliki empat alasan kenapa saya sebagai santri tidak kapok belajar data bahkan sampai saya lanjutkan ke jenjang magister.

Pertama, saya jadi terbiasa nyari keputusan berdasarkan data. Bahkan saat memilih pesantren buat si ponakan, saya sibuk cari tahu segala kelebihan dan kekurangan dari setiap pesantren. Padahal, akhirnya si ponakan memilih yang dia suka juga. Setidaknya, kan saya bisa jadi konsultan bagi dia haha… masa iya saya nggak bisa ngasih pertimbangan?

Kedua, saya sering lihat di aplikasi LinkedIn, lowongan kerja di bidang data kayak jamur di musim hujan, banyak banget! Berarti peluangnya besar dong? Tapi masalahnya, kenapa kualifikasinya tinggi banget. Meski sulit, tapi bukan berarti nggak mungkin, kan? Apalagi santri punya akses ke jalur langit (doa maksudnya hehehe). Salah satu tokoh yang memiliki latar belakang pesantren adalah Ainun Najib. Ia adalah seorang santri yang bekerja sebagai data scientist di Grab, co-founder kawal covid 2019, kawal Pemilu 2019, dan kawal masa depan (menarik dicoba kayaknya yang ini hihi)

Ketiga, saya suka banget visualisasi data. Ada yang bilang belajar data cuma soal coding aja? Ah, jangan salah! Visualisasi juga penting lho. Saya sangat suka berkreasi buat dashboard yang nggak cuma keren dan menarik, tapi juga informatif. Seru banget! Apalagi sekarang banyak lomba-lomba bikin dashboard, sehingga bisa menyalurkan ide kreatif ke publik.

Keempat, pengalaman belajar data, saya dikenalkan dengan kesalahan tipe I atau alpha. Umumnya alpha itu 5%. Artinya, dalam 100 kali percobaan kemungkinan akan ada sekitar 5 yang tidak sukses atau tidak bisa dikendalikan. Itu seperti peran Tuhan dalam kehidupan. Tidak selalu bisa diprediksi.

Beberapa alasan yang sudah saya tulis di atas, menjadi sebuah refleksi bahwa belajar data itu sangat penting. Santri harus memilki kemampuan tersebut untuk beradaptasi dengan zaman dan meningkatkan literasi digital. (IM)



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *