Orang kerap menganggap sains itu kering. Kurang punya “sisi manusiawi.” Membaca tema sains sering dikira hanya melibatkan aspek berpikir rasional tanpa menimbulkan rasa hangat atau ragam emosi lain seperti saat kita membaca sastra. Sebenarnya tidak juga. Buku “Gen” karya Siddharta Mukherjee ini termasuk yang berhasil menautkan aspek-aspek ilmiah dengan aspek human interest. Baru kali ini saya tidak hanya memberi garis bawah dan catatan pinggir pada buku sains populer yang tengah saya baca. Saya juga menggambar emoticon di bagian-bagian emosional buku ini.
Emoticon sedih saya gambar di pinggir halaman buku ketika sampai di bagian akhir hayat Gregor Mendel. Tak tega rasanya membaca soal bagaimana dia meninggal akibat gagal ginjal tanpa pernah tahu arti penting karyanya. Sepanjang hidup Mendel, dunia akademis hanya memandang sebelah mata pada eksperimennya dengan ercis. Tokoh yang memberi sumbangsih teramat besar dalam mengidentifikasi keberadaan unit pewarisan sifat yang nantinya disebut gen itu tidak pernah tahu bahwa kerja kerasnya kelak mengubah ilmu biologi.
Jenis emoticon berbeda saya goreskan di bagian lain buku ini. Sungguh ngeri membaca tentang seperempat juta manusia yang tewas dalam program resmi eutanasia zaman Hitler. Belum jutaan lain yang tewas dalam genosida yang dilakukan atas dasar pelintiran dan pemahaman keliru mengenai konsep evolusi dan genetika. Ini sejarah kelam dalam perjalanan ilmu genetika.
Siddharta Mukherjee, sang penulis yang juga dokter spesialis dan peneliti kanker, memilih menjelaskan konsep gen dengan gaya mendongeng secara kronologis. Kisah perjalanan hidup Charles Darwin misalnya, dikisahkan layaknya novel. Gaya bahasanya luwes. Sesekali ada selingan kisah kehidupan pribadi Mukherjee sendiri sebagai anak dari keluarga yang memiliki riwayat penyakit mental.
Dengan gaya seperti ini dia menceritakan latar belakang kemunculan berbagai istilah dan konsep penting genetika, lengkap dengan konteks masanya secara berurutan sejak sebelum kata gen ditetapkan. Ini ternyata pilihan yang tepat untuk pembaca awam seperti saya. Pendekatan ini memungkinkan pembaca secara bertahap mencerna konsep-konsep dasar gen berikut konteksnya sebelum berpindah ke konsep yang lebih rumit. Pembaca jadi bisa mengakumulasi pemahaman secara bermakna dan dapat membangun konsepsi yang utuh mengenai gen. Prinsipnya sama dengan belajar apa pun. Bila hendak mempelajari operasi perkalian misalnya, maka kita terlebih dulu perlu menguasai operasi penjumlahan. Memahami tentu berbeda dengan sekadar tahu jawaban dari soal-soal perkalian.
Banyak hal dalam sains seperti itu. Konsep rumit dibangun dari konsep-konsep dasar yang lebih sederhana. Itu sebabnya buku ini membahas panjang lebar tentang teori evolusi. Orang baru bisa mengapresiasi pentingnya satuan pewarisan yang tak bisa lebur, yakni gen, kalau sudah mengerti mekanisme evolusi Darwin. Demikian pula sebaliknya, genetika bisa berkembang sejauh ini salah satunya karena digunakan dan diuji menggunakan kerangka teori evolusi.
Setelah dijelaskan soal teori evolusi dan peran penting konsep gen di dalamnya, barulah pembaca disuguhi perjalanan para saintis mencari wujud fisik gen, menemukan DNA, mengetahui bentuk DNA, menemukan cara membaca DNA, mengetahui hubungan DNA tertentu dengan penyakit tertentu, dan seterusnya. Kita tak akan punya ilmu genetika seperti sekarang ini kalau tidak ada teori evolusi. (Jadi bila Anda menerima dan menikmati segala temuan soal gen akhir-akhir ini, seharusnya Anda bukan termasuk orang yang menolak teori evolusi. Seharusnya.)
Gaya bercerita seperti ini juga memberi gambaran tentang situasi dan lika-liku dunia ilmiah, terutama sains. Tebalnya buku ini menunjukkan betapa panjang dan kompleks kerja-kerja dalam sains. Banyaknya nama saintis yang disebutkan di sini (hingga membuat memori saya kewalahan) merefleksikan betapa banyak orang yang memberi sumbangsih tenaga dan pikiran “sekadar” untuk membangun suatu konsep yang tampak sederhana. Betapa detail eksperimen-eksperimen yang dilakukan untuk menguji kesahihan konsep-konsepnya. Betapa ketat pengambilan kesimpulannya.
Bukan sekadar didongengi tentang kerja sama para saintis, kita mendapati pula kisah tentang intrik-intrik, perdebatan, dan persaingan mereka. Kisah kehidupan personal para saintis dan keluarga Mukherjee dijabarkan tidak semata-mata untuk menjadi bumbu cerita. Konteks personal ini memberi gambaran mengenai implikasi nyata temuan-temuan abstrak sains pada pembaca awam.
Ambil contoh Nancy Wexler. Seorang ahli neuropsikologi yang memilih mendedikasikan diri di bidang genetika. Dia punya alasan personal untuk itu. Ibunya pengidap penyakit Huntington. Ini penyakit syaraf mematikan yang membuat penderitanya kehilangan kendali gerak. Mereka seperti terus menari meski sebenarnya tak ingin melakukannya. Kenangan sedih tentang kondisi ibunya dan bayangan kelam akan mengalami nasib yang sama dengan sang ibu, membuat Nancy punya segala motivasi yang diperlukan untuk terus meneliti penyakit itu. Untuk tidak menyerah. Mengetahui gen mana yang menyebabkan penyakit itu akan membuat diagnosis lebih mudah dilakukan sejak awal (Penyakit ini biasanya baru muncul di atas usia 30 tahun). Juga akan sangat memudahkan pengembangan pengobatan dan terapi untuk penyakit tersebut. Mukherjee bisa membangun suspens sedermikian rupa hingga saya ikut lega dan terharu ketika Nancy dan timnya akhirnya berhasil.
Dengan jalinan kisah-kisah personal ini, lebih mudah pula memahami betapa para saintis adalah manusia biasa. Mereka tiada beda dengan kita yang didorong oleh beragam motivasi. Tak semuanya suci dan menyentuh seperti perjuangan Nancy Wexler, memang. Pemikiran mereka kadang juga bias, dipengaruhi oleh situasi, ambisi personal, atau pandangan politik tertentu. Semua ini dari waktu ke waktu membuahkan kesalahan-kesalahan kecil yang bisa dipahami. Atau, ketika berkelindan dengan faktor lain semisal ambisi politik dan rezim kekuasaan absolut, bisa pula memunculkan genosida seperti pada rezim Hitler.
Menarik mengetahui bahwa banyak aspek psikologis manusia juga erat terkait dengan gen. Banyak orang membuat pemisahan yang terlalu tegas antara fisik dan psikis. Padahal banyak aspek psike yang punya fondasi sangat fisik. Misalnya saja identitas gender. Buku ini cukup panjang menguraikan betapa kecenderungan seseorang untuk mengidentifikasi diri sebagai lelaki atau perempuan tidak semata-mata ditentukan oleh jenis kelamin yang dimiliki. Ada gen spesifik yang mengaturnya. Banyak hal yang menyusun “diri” kita bersifat genetis. Kepribadian, preferensi, inteligensi. Meski makna dari kata-kata “bersifat genetis” atau “dipengaruhi faktor genetis” tidak selalu sama dan seragam. Daya pengaruh faktor genetis dalam sindroma down misalnya ternyata jauh berbeda dengan pada autisme.
Demikianlah, buku ini membawa kita mengikuti perjalanan panjang satu konsep kecil bernama gen hingga mencapai bentuknya sekarang dalam wujud ilmu genetika. Tak lupa pula dipaparkan masa depannya yang masih panjang membentang. Juga bahaya-bahayanya, tantangannya pada nilai-nilai moral yang selama ini kita anut. Jadi ketika di akhir buku ini kapasitas memori saya sudah terasa kepenuhan dan mulai menghapus hal-hal yang dianggap tidak penting (dalam kasus saya, itu biasanya adalahi nama-nama, istilah, dan tanggal) hingga saya tidak yakin apakah saya bisa menjelaskan konsep gen lagi bila ditanya orang, kesan yang tertinggal tetap sangat kuat. Ini buku penting yang perlu dibaca semua orang. Kenapa? Sesederhana karena kita manusia. Mengerti tentang apa itu gen, bagaimana cara kerjanya, bagaimana pengaruhnya dalam kehidupan manusia akan sangat membantu kita memahami diri dan orang lain. “Gen” pada dasarnya adalah buku tentang manusia dan menjadi manusia.[]
Leave a Reply