Minggu lalu (16/02/2022 M- 15 Rajab 1443 H) majalah Shaut Al-Azhar melansir pandangan Syekh Ahmed Thayyeb tentang perempuan. Di antaranya perihal hukum perempuan bepergian tanpa mahram. Dalam tulisan itu diperbolehkan dengan syarat “rufqah ma’munah” yang kemudian diterjemahkan dengan “teman yang dipercaya” oleh Sanad Media dalam poster yang diunggah di media sosialnya waktu itu.
Alih bahasa ini kurang tepat, menurut saya, karena memberi asumsi orang yang menemani perempuan musafir itu haruslah temannya atau orang yang dikenal. Tak ayal, di salah satu grup WA saya banyak akhwat yang menyangsikan terjemahan ini, “jika demikian terjemahannya sebelum masuk bis harus tanya kondektur dulu, ‘apakah ada teman saya di dalam?” kalau tidak ada, perjalanannya dihukumi haram. Saya rasa bukan begitu maksud Syekh Al-Azhar.
Dalam tulisan lengkapnya di majalah tersebut Syekh Thayyeb mengatakan, Imam Malik dan bahkan sejak era pertama Islam telah membolehkan perempuan pergi haji tanpa mahram bersama orang-orang yang dipercaya. Dengan mengadopsi pendapat itu, maka di era sekarang perempuan juga boleh bepergian kapanpun, kemanapun dengan syarat terjaminnya keamanan dari seorang yang menemaninya, atau alat bantu (baca: transportasi) yang menjamin keamanannya (Syaut Al-Azhar/7).
Senada dengan pandangan ini, kalangan ashhab syafi’iyah, Imam Nawawi dalam Syarah Muhadzab menyimpulkan dari sekian ragam qaul ulama fikih –karena ini memang ranah khilafiyah-, ada titik lemah pada pendapat yang melarang perempuan bepergian tanpa mahram yang keamanannya sudah terjamin.
Mari kita sedikit lebih kepo lagi. Rufqah/rifqah dalam arti bahasa arab bukan hanya teman, sahabat, rekan dan kawan tapi juga asosiasi/ikatan orang yang saling mempunyai kepentingan yang sama. Para penumpang dalam bus sama-sama memiliki kepentingan sampai ke tempat tujuannya dengan selamat dan aman. Maka berdasarkan kesadaran ini akan ada timbal balik yang diaplikasikan dengan sikapnya pada penumpang lain yaitu saling memberi keamanan dan kenyamanan.
Secara literlek dalam Al-Mişbāhu al-Munīr fī Gharībi Syarhi al-Kabīr, Rufqah –menurut bahasa Bani Tamim- adalah nama bagi sekelompok orang yang bersamamu saat perjalanan, jika mereka berpencar maka hilanglah nama itu. Selanjutnya nama itu diganti oleh orang lain yang membersamaimu.
Dalam literatur fikih klasik pembahasan ini menjadi “ekor” dari pembahasan haji seorang perempuan tanpa mahram yang dibagi 2 kategori, perjalanan wajib dan perjalanan mubah. Untuk melaksanakan perjalanan wajib seperti haji seorang perempuan sunah minta izin pada suaminya (atau walinya), baik diizinkan atau tidak dia tetap berangkat sebab perjalanan ini hukumnya wajib dan lelaki tidak berhak melarang ibadah wajib. Sebagaimana diberi kemampuan salat di awal waktu maka lelaki tak boleh melarangnya. Lā ṯā’ata li makhlūqin fī maksiatil khāliq,tidak boleh tunduk pada makhluk dalam kemaksiatan.
Sementara dalam perjalanan mubah banyak sekali persyaratan yang harus dipenuhi yakni harus bersama mahram/wali. Jika tidak, perjalanan itu disebut maksiat. Sebagian kalangan syafi’iyah mewajibkan bersama banyak perempuan terpercaya. Sedangkan malikiyah mewajibkan bersama rufqah ma’munah dari kalangan perempuan, lelaki atau campuran dari keduanya. Selanjutnya pada periode ulama kontemporer kata rufqah mencakup makna yang lebih luas yaitu kendaraan atau fasilitas yang dalam hal ini dijamin oleh Dinas Perhubungan. Seperti fatwa dari grand Syekh Al-Azhar ini.
Lalu ada yang masih ngotot “penumpang lain kan belum tentu baik, bagaimana jika mereka pencopet atau berniat buruk lainnya? Siapa yang akan menjaga perempuan?” Pertama, korban copet dan kejahatan lainnya bukan hanya perempuan maka yang harus dilindungi adalah seluruh masyarakat. Kedua, di sinilah letak kecerdasan mufti yang mengeluarkan fatwa legalitas perempuan bepergian/keluar rumah, ada aspek preventif (sad dzarī’ah) sekaligus represif (fath dzarī’ah). Sebab harus diakui melakukan tindakan preventif itu baik, namun menutup jalan hingga tidak membuka sama sekali justru menutup banyak jalan kebaikan, alih-alih mendatangkannya.
Melegalkan perempuan bepergian dengan syarat jaminan keamanan adalah representasi dari keduannya, menentukan batasan dan memberi kesempatan menebar kebaikan di ruang publik yang sejatinya memang dimiliki oleh laki-laki dan perempuan, tentu ini menjadi adil dan bermartabat.
Kurang lebih ketentuan ini tergambar dalam kisah sayyidina Umar yang membolehkan istri-istri Nabi pergi haji dengan dikawal sayyidina Utsman bin Affan dan Abdurrahman bin Auf. Kemudian Utsman berkata “ingat, jangan mendekati mereka (istri-istri Nabi) dan jangan melihat mereka” ada sad dan fath dzariah di sana. Satu sisi membolehkan perempuan beribadah dengan jaminan keamanan dan kenyamanan, di sisi lain memperingatkan yang lain untuk tidak mengganggu.
Sebagaimana Syekh Thayyeb di majalah itu, jika sistem perhubungan kita di masa sekarang kekhawatiran berganti menjadi rasa aman maka seyogyanya hukumnya yang ilegal berevolusi menjadi legal sebagaimana perjalanan haji, umrah dan perjalanan lainnya.
Leave a Reply