Tepatnya sehari sebelum merayakan Iduladha tahun 2021 saya dan kedua teman saya berencana untuk menghabiskan waktu liburan serta menikmati suasana Iduladha di luar hostel (tempat kami tinggal di Pakistan). Tahun sebelumnya kami hanya bisa merayakan lebaran dengan teman-teman yang tinggal di lingkungan asrama saja karena faktor pandemi Covid19. Namun, hari itu muncul keinginan untuk melihat suasana baru, lantas kami pun memutuskan untuk pergi ke bagian utara Pakistan, yakni wilayah Khayber Pakhtunkhwa. Adapun yang lebih dulu memiliki informasi tentang wilayah tersebut adalah teman saya yang berkebangsaan Cina dan salah seorang muslimah traveller yang sudah banyak menjelajahi setiap wilayah di Pakistan. Kami bertiga check out dari hostel ketika pagi menjelang, memesan uber sebagai alat transportasi. Destinasi pertama yang harus ditempuh oleh kami adalah Blue Area karena ada beberapa berkas dan administrasi yang harus diselesaikan oleh teman Cina saya di bank. Ia merupakan seorang mahasiswi tingkat akhir juga seorang pekerja di perusahaan swasta Cina yang bergerak di bidang Ekspor-Impor, berlokasi di Lahore.
Setelah urusan selesai, kami bertiga kembali memesan uber, menuju destinasi selanjutnya ke terminal Faizabad. Kami membeli tiket bus yang tujuannya ke Swaat. Kira-kira sekitar 30 menit, bus Faisal Mover pun tiba dan membawa perjalanan kami. Dalam perjalanan kami berbincang dengan salah seorang ibu penduduk asli Swaat namun sudah lama menetap di Dubai mengikuti suaminya yang bekerja di sana. Saya membuka pembicaraan dengan bahasa Fushah namun dia hanya dapat menjawab dan bercakap dengan menggunakan bahasa Ammiyah. Kami bertiga menikmati perjalanan sambil melihat alam sekitar, banyak ladang ditanami jagung.
Salah satu karakter masyarakat Pakistan yang kami temui adalah keramahan mereka terhadap orang asing. Ketika bus berhenti di rest area untuk memberi kesempatan bagi penumpang yang hendak istirahat salat, saya yang tidak punya sandal untuk berwudhu, saat itu tiba-tiba didatangi oleh seorang ibu dan meminjamkan sandal.
Kami melanjutkan perjalanan dengan durasi sekitar 6 sampai 7 jam, baru tiba di wilayah Khayber Pakhtunkhwa. Sampai di terminal kami beristirahat dan melaksanakan salat Dzuhur di sebuah ruang tunggu terminal yang berlokasi di Manggora. Lalu mencari rikhshaw―moda transportasi khas Pakistan yang mirip bajaj, menuju penginapan.
Kami melakukan penawaran untuk menginap semalam di sebuah hotel di sana. Keesokan harinya, kami berencana pergi makan ke sebuah tempat yang sebelumnya pernah ditelusuri oleh teman Cina saya. Lokasi itu rupanya cukup jauh, berada di atas puncak bukit. Dari atas puncak pemandangan mata sangat indah. Ini hari pertama tiba di bagian utara Pakistan, awalnya si pengemudi rikhshaw kerap mengeluh karena kebingungan menyusuri jalan untuk menemukan lokasi, ditambah dia belum pernah mencapai lokasi tempat makan tersebut. Dia selalu mengatakan, jangan lalai dengan gadgetmu tapi perhatikan jalan, seperti mengingatkan kami agar fokus dengan petunjuk arah.
Setibanya kami di restoran yang dituju, kami memesan nasi untuk makanan berbuka puasa karena hari itu saya dan teman Indonesia sedang berpuasa sunnah. Sembari menanti waktu berbuka puasa, kami puas-puaskan menikmati pemandangan sore menjelang petang dari ketinggian puncak yang sangat indah. Sekembalinya kami ke penginapan, pikiran saya masih tertuju kepada budaya masyarakat Pakistan. Ketika kita menggunakan jasa transportasi, seperti rikhshaw, mereka akan melayani warga asing atau pendatang di negaranya sebaik mungkin. Meskipun perjalanan yang ditempuh menuju tempat tujuan tidak bisa diprediksi tingkat jauhnya, namun mereka tetap melakukan tugasnya dengan baik, memuliakan tamu dengan tetap mengantar kami dengan selamat sampai tujuan. Budaya masyarakat Pakistan lain dalam memuliakan tamu yang kami rasakan adalah ketika kami tiba di hotel, penjaga hotel memberi kami sekotak berisikan kurma untuk makanan cemilan selama menginap.
Keesokan harinya kami melanjutkan perjalanan menuju Bahrain, masih termasuk dalam wilayah utara Pakistan. Di tengah perjalanan, tanpa sengaja kami bertemu dengan orang baik yang bersedia mengantar kami ke wilayah bernama Kalam valley. Berhubung hari telah gelap, kami ditawari untuk menginap sementara di rumah seorang tentara yang kebetulan akan merayakan Iduladha dengan keluarga besarnya di Bahrain, sekaligus kami ditawari untuk turut merayakan Iduladha bersama mereka. Setibanya di rumah itu, kedua teman saya kemudian pergi ditemani oleh si tentara tersebut untuk observasi destinasi yang akan kami tuju esok harinya. Lantaran saya lelah dan tengah berpuasa, saya memutuskan untuk tinggal saja di rumah dan beristirahat. Di rumah itu saya melihat ibu yang asik mengadon adonan yang diolah menjadi roti. Di sana, roti itu dikenal dengan nama roti Paratha. Biasa disajikan pula untuk berbuka puasa. Tanpa rasa sungkan, saya menghampirinya. Saya berusaha mengajak berbincang―meski bermodalkan bahasa urdu yang sangat minim, namun si ibu itu ternyata hanya menguasai bahasa Pashtu. Saya hanya mampu memahami sedikit dari perkataannya, sehingga saya tak bisa menimpali layaknya dua orang yang tengah ngobrol. Namun, saya salut karena dia tampak terus berusaha menanggapi omongan saya meskipun sulit sembari mempraktekkan proses pembuatan roti. Mulai dari mengadon tepung, kemudian dibentuk bulat, lalu adonan dipanggang dalam sebuah tempat khusus seperti lempengan semen yang menyatu dengan dapur. Beberapa menit kemudian dia membolik-balikkan adonan bulat pipih, hingga matang dan siap disantap saat berbuka puasa. Roti gandum Paratha adalah makanan pokok masyarakat Pakistan.
Leave a Reply