Balada Cito Citi
Penulis : Edi AH Iyubenu
Penerbit : Diva Press
Cetakan : pertama, April 2020
Tebal : 132 halaman
ISBN : 978-602-391-971-0
Kisah cinta memang sulit untuk diterka jika hanya berpedoman pada pengalaman tanpa mempertimbangkan kedalaman rasa. Dapat dipastikan cinta akan berhenti pada ketentuan kaku. Kalau gelagat cintanya tidak terbuka, akhirnya mesti selingkuh. Kalau cintanya terus-menerus dirundung galau, orang itu pasti sering mengalami penolakan. Kendati ribuan filosof dan sufi mendefinisikan cinta berikut dengan indikasi, cara meraih, dan mempertahankannya, tetap saja cinta masih menjadi misteri dan tidak kaku begitu.
Novel cinta ini mencoba menarasikan kisah Cito yang sedang dirundung gundah. Ia didesak oleh ibunya untuk segera menikah karena usianya yang sudah tidak lagi muda. Di sisi lain, jodohnya tidak kunjung datang kepadanya.
Hatinya pun gampang kesayat. Ia sering menangis karena hal-hal sepele. Seperti ketika ia usai mengkhatamkan kumpulan cerpen Saksi Mata yang ditulis Seno Gumira Ajidarma, Cito menangis sejadi-jadinya. Pasalnya ia menemukan orang yang tega berbuat kejam kepada sesama yang seharusnya bisa selesai dengan kata maaf.
Latar belakangnya sebagai alumni pondok pesantren tidak membuat Cito terus berkelindan dengan laku kesalehan. Ia bekerja di Kafe Main-Main dengan Arko, Daruz, dan Edoy. Di novel ini, kita akan banyak menemukan kelakar yang saru dan seru dari keempat nama di atas. Hal ini menjadi indikasi simbol solidaritas yang tinggi dari keempatnya. Dalam ilmu psikologi, orang yang sudah nyaman dengan orang lain cirinya adalah berani terbuka sampai hal-hal yang sifatnya privasi.
Edi AH Iyubenu, penulis novel ini menceritakan dengan alur maju. Dimulai dari kehidupan sehari-hari Cito di Kafe Main-Main sebagai pelayan serta perjumpaannya dengan orang-orang yang sedikit banyak turut berkontribusi mengubah alur pemikiran Cito tentang cinta.
Perjumpaannya dengan Citi, mahasiswi dan aktivis feminis di kampus, membuat hidup Cito lebih bergairah. Ia merasa percaya bahwa Citi adalah jodohnya. Kendati teman-temanya kerap kali mengingatkan bahwa keduanya tidak cocok, minimal dari sisi status sosial. Problem basi dan kerap ditemukan dalam dunia percintaan yang sering membuat kandas hubungan dua insan hanya karena status yang timpang.
Namun Cito tetep kekeh pada keyakinan cintanya pada Citi. Ia membuktikannya dengan ingin merintis usaha jualan buku dan sarung online demi mencari tambahan modal nikah dan bekal hidup di masa depan.
Apa yang dilakukan oleh Cito ini menjadi prototipe pernikahan yang jamak ditemui di Jawa, mungkin malah di seluruh Indonesia. Bahwa pernikahan tidak hanya cukup dengan cinta semata. Cinta perlu materi sebagai penyokong agar ketahanan pangan dan relasi yang harmonis dalam berumah tangga bisa terus berjalan.
Data yang dipublikasikan dari Badan Pusat Statistik menunjukkan angka perceraian di Indonesia setiap tahun mengalami kenaikan. Kalau dicermati, perceraian karena kondisi ekonomi menempati urutan kedua setelah ketidakharmonisan komunikasi. Maka menjadi penting bagi siapa saja untuk merencanakan laku produktif sebelum dan setelah pernikahan. Dan keinginan Cito untuk berjualan buku dan sarung ini menjadi salah satu upaya yang patut untuk ditiru.
Meski demikian, di momen-momen tertentu, Cito juga masih dihantui rasa bimbang. Mempertanyakan apakah Citi memiliki perasaan yang sama dengannya? Ataukah hubungan yang dibangun hanya sebagai jembatan pelampiasan dari kisah asmara Citi yang kandas sebelumnya.
Kebimbangan Cito itu tidak segera menemui jawaban. Citi sendiri masih belum mengklarifikasi hubungannya yang hanya sebatas teman dekat atau ada potensi untuk menjadi pasangan sehidup-seakhirat. Hanya saja yang menjadi menarik adalah sosok Pak Edy, penulis sekaligus tokoh pendukung di novel ini yang memberi wejangan keduanya dari kaidah usul fiqh seperti menghindari keburukan lebih diutamakan daripada mengejar kemanfaatan, suatu keyakinan tidak bisa digugurkan oleh suatu keraguan, dan suatu kemudahan tidak bisa dibatalkan oleh suatu kesulitan.
Tapi jangan terlalu berbaik sangka kemudian keburu memberi klaim bahwa buku ini bagus. Seperti yang saya katakan di awal, bahwa buku ini selain seru juga saru malah kadang didapati beberapa diksi yang menjurus sarkas. Di beberapa dialog juga ada unsur kelakar yang dipaksakan agar pembaca bisa tertawa, tapi itu justru terkesan wagu. Dialog menjadi tidak mengalir.
Secara keseluruhan, novel yang tebalnya 132 halaman ini penting untuk dibaca, utamanya bagi remaja-dewasa. Karena cerita yang disuguhkan cukup relevan dan bisa menjadi prototipe bagi siapa saja yang belum, akan, dan sedang bergelut dengan cinta.
Novel ini dipungkasi dengan cerita yang mengambang. Menarik untuk menanti kisah lanjutan asmara antara Cito dan Citi. Apakah keduanya akan menikah? Atau malah kisah keduanya menjadi serpihan kecil yang hanya menjadi kenangan di kemudian hari? Cinta memang tidak pasti dan masih terus menjadi misteri.
Leave a Reply