Neswa.id-Beberapa waktu lalu media sosial dihebohkan oleh video para Bhante atau biksu yang melakukan ritual keagamaan Buddha berupa “Thudong” atau jalan kaki dari Nakhon Sri Thammarat, sebuah provinsi di Thailand dimulai sejak 25 Maret 2023. Para biksu tersebut melakukan perjalanan ribuan kilo meter dengan melewati beberapa negara di Asia seperti Malaysia, Singapura dan berakhir di Candi Borobudur, Indonesia. Praktik keagamaan tersebut, mereka lakukan selain merupakan perjalanan spiritual dalam agama mereka, juga dalam rangka memperingati Hari Waisak pada 04 Juni 2023 mendatang. Dalam agama Buddha sendiri, Thudong merupakan praktik keagamaan yang ditempuh melalui perjalanan spritual untuk melatih kesabaran, mencapai pemahaman dan pencerahan.
Menariknya para biksu tersebut disambut hangat dan penuh keramahan oleh warga Indonesia. Layaknya menonton karnaval, para biksu tersebut disambut di sepanjang jalan mulai dari anak kecil, remaja, dewasa hingga orang tua. Bahkan, di dalam video yang tersebar mereka dengan suka rela membagikan minuman kepada para biksu yang kehausan. Selain minuman para warga juga ada yang memberikan makanan ringan bahkan jasa pijat. Pengawalan juga dilakukan oleh beberapa petugas di sepanjang perjalanan agar ritual tersebut berjalan dengan lancar.
Antusiasme masyarakat Indonesia ketika menyambut para biksu tersebut, tentu harus diapresiasi, karena mereka telah menunjukkan rasa toleransi antar agama bahkan antar bangsa. Tidak peduli mereka berasal dari negara mana atau agama apa, tapi masyarakat Indonesia dengan suka rela membagikan senyuman dan keramahan kepada para biksu tersebut. Bahkan bisa saja beberapa dari para warga baik anak kecil maupun orang tua tidak mengetahui sebelumnya bahwa mereka adalah pemeluk agama Buddha. Sikap yang murni dari dalam diri tersebut—tanpa embel-embel identitas—yang patut dipertahankan dalam kehidupan manusia.
Peristiwa tersebut juga memberikan pesan moral bahwa agama tidak melulu tentang halal dan haram atau mengkafirkan satu sama lain. Yang mana hal tersebut dapat menimbulkan sikap yang berlebihan, sehingga muncul konflik keagamaan. Kadang-kadang agama hanya perlu dipahami secara sederhana. Dengan kata lain, keberagaman agama merupakan keniscayaan Tuhan dan manusia memiliki kebebasan untuk memeluk dan mengekspresikan ajaran keagamaannya. Dengan catatan tetap mematuhi nilai-nilai kemanusiaan yang bermakna universal.
Fenomena tersebut bisa kita kaitkan dan kemudian dijadikan pelajaran bersama dengan tindakan intoleransi yang masih menjangkiti sebagian masyarakat Indonesia. Misalnya, terorisme, radikalisme, penutupan tempat ibadah umat kristiani, ujaran kebencian antar kelompok, dan seterusnya. Alih-alih menyelesaikan permasalahan lintas agama, permasalahan internal agama (Islam) yang berbeda paham pun sampai saat ini masih terjadi. Taruhlah misalnya, seorang ustadz yang ditolak untuk menyampaikan ceramahnya di sebuah daerah yang beda paham. Di sini menandakan bahwa ketakutan masyarakat masih jauh lebih besar dibandingkan dengan kekuatan “keimanan” seseorang ketika berhadapan dengan orang yang beda paham dengan kita.
Jika boleh diklasifikasikan, dalam hal praktik keagamaan masyarakat itu terbagi menjadi dua. Pertama, “pemahaman keagamaan” dan kedua “semangat keberagamaan”. Pemahaman keagamaan didasari oleh ilmu pengetahuan keagamaan yang kuat dan mendalam, sehingga tidak serta-merta menjustifikasi tindakan seseorang. Orang yang demikian, yang menguasai dan mendalami banyak ilmu serta terus belajar, tentu akan lebih dekat dengan kearifan. Memandang permasalahan tidak dari luarnya saja, tapi substansi ajaran agama juga mereka coba pahami.
Berbeda dengan yang kedua, semangat keberagamaan dengan embel-embel menegakkan syariat Islam, yang justru seringkali menimbulkan pertikaian. Semangat keberagamaan biasanya didasari oleh semangat dalam menjalankan dan menegakkan syariat Islam, akan tetapi minim pengetahuan. Kaum ini tidak banyak memiliki perspektif di dalam menjalankan syariat Islam, kalau enggan mengatakan tunggal yaitu teks nash saja. Itupun, tanpa melakukan penafsiran atau menyesuaikan dengan situasi dan kondisi sekitar. Makanya kecenderungannya berupa pemaksaan dalam menegakkan ajaran Islam, tapi lupa pada inti dari ajaran Islam.
Oleh karena itu, kita dapat mengambil pelajaran bahwa agama selalu mengajarkan kebaikan pada sesama dan mendatangkan maslahah kepada kehidupan. Maka jika ada yang mengajarkan atau mempraktikkan ajaran keagamaannya dengan membawa mafsadah (kerusakan) kepada manusia itu artinya bukan ajaran agama. Islam sebagai agama yang sempurna akan selalu membawa kemaslahatan kepada seluruh umat manusia dan seluruh alam, bukan hanya kepada kaum muslim. Kalimat rahmatan lil ‘alamin yang melekat dalam ajaran Islam menjadi inti bahwa Islam akan selalu menjadi solusi bagi setiap permasalahan manusia (li kulli zaman wa makan).
Islam Agama Ramah Bukan Marah
Pada hakikatnya agama itu untuk kebutuhan manusia bukan untuk Tuhan. Tuhan sesungguhnya tidak membutuhkan apapun dari manusia, sebanyak apapun pahala manusia. Sebaliknya, sebanyak apapun manusia melakukan dosa itu tidak akan memengaruhi ke-Agung-an Tuhan. Persis seperti apa yang dikatakan Gus Dur di dalam bukunya “Tuhan Tidak Perlu Dibela”. Misalnya, manusia membutuhkan ketenangan caranya dengan beribadah kepada Tuhan, itulah sebuah keistimewaan di tengah mencekamnya ketidakpastian. Betapa beruntungnya seseorang yang memiliki Tuhan untuk mengungkapkan segala keresahan batinnya.
KH. Musthafa Bisri (Gus Mus) menyampaikan dalam sebuah wawancara, bahwa agama itu sebenarnya mudah. Maka kalau ada orang yang memberat-beratkannya ia akan kewalahan. Itu keistemewaannya. Bagaimana seharusnya agama memosisikan ajarannya di dalam kehidupan yang sangat beragam ini dan terus dinamis. Tentu tidak bisa memahami agama dengan dangkal. Pemahaman agama yang memudahkan manusia itu yang menjadi tujuan agama.
Sederhananya, agama Islam merupakan agama rahmah bagi alam semesta, alih-alih menciptakan kerusakan. Dan seseorang yang dianggap telah beragama dengan baik, ia yang telah mengabdikan dirinya untuk kemaslahatan manusia, alam dan Tuhannya. Jika hal tersebut mampu ditanamkan di setiap diri manusia, maka tidak ada lagi kebaikan yang hanya berlaku pada satu identitas. Dengan kata lain, semuanya setara dalam hal kemanusiaan.
Menciptakan Islam di Indonesia yang Toleran
Interaksi antara para biksu dengan warga Indonesia itu sebetulnya hanya satu contoh dari sikap toleransi, di tengah sikap intoleransi yang masih ada. Memberikan sedekah senyuman, keramahan, serta bantuan minuman yang mungkin tidak terlalu berharga dari segi harga tapi sangat berharga dari segi nilai dan moral. Fenomena tersebut ibarat sebuah “keran kebudayaan” yang harus menjadi kebiasaan masyarakat dalam hubungan keberagaman (keagamaan) yang harmonis. Artinya harus ada keberlanjutan dari peristiwa tersebut, baik dari segi pemahaman maupun tindakan. Sehingga pemahaman tentang pentingnya toleransi antar agama dan segala perbedaan tertanam sampai ke dasar.
Melihat Indonesia sebagai negara yang sangat beragam tentu sudah biasa hidup berdampingan dengan perbedaan. Meskipun, masih banyak yang perlu dibenahi dari sikap intoleransi sebagian masyarakat. Tapi saya begitu optimis ketika melihat anak kecil, anak muda, hingga orang tua yang berhamburan di pinggir jalan menyambut para biksu tersebut. Artinya, mereka memiliki kesadaran murni dari dalam diri mereka sendiri untuk berlaku baik kepada orang lain. Dan saya meyakini bahwa semua orang memiliki sifat seperti itu. Itulah yang disebut sebagai sifat dasar manusia.
Apalagi kehidupan masyarakat Indonesia yang sangat beragam baik dari agama, budaya, suku, bahasa dan sebagainya, yang mana hal itu menjadi semacam penanaman karakter dalam diri masyarakat. Hanya saja kadang-kadang terjadi kecelakaan ideologi atau paham yang menyimpang dari nilai-nilai kemanusiaan, yang hal itu dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab. Oleh karena itu, di sinilah pentingnya pendidikan untuk menfilter mana yang seharusnya menjadi pedoman dan yang tidak.
Saya membayangkan dan semoga menjadi kenyataan seiring berjalannya waktu Indonesia menjadi negara yang toleran terhadap segala perbedaan yang ada baik dari segi keagamaan maupun kebudayaan. Sehingga betapapun banyaknya perbedaan tapi tetap sama dalam hal kemanusiaan. Ibarat sebuah bunga dalam sebuah kebun, maka tak akan terlihat indah bahkan akan memerihkan mata jika hanya bunga mawar. Tapi akan terasa sangat indah jika disampingnya terdapat bunga yang bermacam-macam, seperti bunga melati, bunga lily, bunga matahari dan bunga-bunga lainnya. Semoga. (IM)
Leave a Reply