11 Februari 2011
**
“ Tsaurah Ghadlab !!
“ Revolusi Kemarahan !! ..
Riuh gemuruh suara ribuan demonstran memadati sepanjang jalan menuju Tahrir Square. Alun-alun Tahrir yang menjadi simbol perlawanan terhadap rezim Mubarak tak ubahnya seperti lautan manusia selama delapan belas hari berturut-turut. Gas air mata, kobaran api, suara senjata dan pekikan pekikan demonstran menjadi tak ayalnya medan perang perjuangan rakyat Mesir dalam kisah panjang revolusi 25 Januari 2011.
Corniche Nil, yang hanya beberapa langkah dari Tahrir Square tak lagi menawan. Sungai itu membisu, muram, tak berdaya. Di atas jembatan-jembatan penghubung delta, ratusan rakyat Mesir dihalau dengan tembakan dan gas air mata militer.
Adu kekuatan yang sungguh-sungguh pincang. Barisan brikade dengan tank tank besar berdiri angkuh di hadapan para demonstran yang hanya berbekal kaleng dan batu. Sebaliknya, tentara tentara itu membawa senjata laras panjang yang siap meluncurkan tembakannya kepada mereka para yang berdemo di sepanjang Corniche Nil yang membisu.
Sarah begidik di dalam kamar sembari terus memantau berita-berita di stasiun televisi. Internet tak lagi bisa dipakai. Semua dibungkam, dan keadaan semakin mencekam.
Tapi Sarah masih melihat penjaja gas yang masih harus berkeliling saqoh atau kompleks tiap pagi. Dia juga masih mendengar suara keledai dan tuannya mengitari komplek komplek apartemen berwarna coklat sembari membawa tumpukan tomat dan buah-buahan untuk dijual. Pun dia masih mendengar suara roda sepeda penjaja roti isy yang kerapkali membawa segunung roti di atas kepalanya. Huru hara di pusat kota tak berpengaruh apapun terhadap pedagang kecil selain semakin meroketnya harga pangan, tentu saja.
10 Februari 2011
“ Mubarak turun !!
Malam itu, Presiden Mubarak mengumumkan atas pengunduran dirinya sebagai Presiden Mesir. Riuh gemuruh kegembiraan terdengar dari bilik-bilik sunyi maqha samping rumah. Maqha adalah warung kopi yang banyak berjejer di sudut-sudut perkampungan Kairo. Tempatnya tak luas, biasanya hanya berukuran tak lebih dari 10×10 m. Masing-masing maqha punya konsumennya sendiri, tapi mayoritas laki-laki.
Dari salah satu maqha terdengar pekikan suara yang nyaring sekali. Kedai kedai ini buka di siang hari karena harus mengikuti jam malam. Selepas Magrib, jalan-jalan sudah lengang. Telinga dan mata penduduk Kairo hanya terpaku pada berita-berita di televisi. Tak ada internet, tak ada kebebasan pers kala itu. Semua dibungkam. Kecuali, desas desus berita militer yang ramai diperbincangkan warga.
Suara sirine berbunyi tanpa henti.
“Kami takut, jika suatu hari nanti semuanya akan tersulut dan perpecahan yang semakin meluas hingga ke seluruh kawasan Mesir“.
Begitu terang ammu Wahab, penjaja warung di bawah apartemen Sarah di suatu petang menjelang gelap dan jam malam diberlakukan.
“Kamu tau Sarah, kericuhan besar sudah terjadi di beberapa kota, Kairo, Alexandria, bahkan ke sudut-sudut terjauh di kawasan Luxor. Kawasan padat wisatawan asing yang sekarang menjadi sepi tak berpenghuni. Kapal-kapal pesiar tak mampu bergerak, ekonomi lumpuh dan masyarakat seketika berteriak“.
“Apa yang bisa aku lakukan untuk keluargaku, Sarah“. Apakah kamu tidak terpikir untuk pulang ke negrimu, Nak?“. Tanya ammu Wahab dengan rautan wajah yang dipenuhi dengan kekhawatiran, kemuraman dan putus asa“.
Sarah menjawab sekenanya. Tentang revolusi ini, dia tak berharap apapun. Kekacauan? Biar saja terjadi. Keberaniannya terhadap ketidakpastian sudah terlatih sejak kecil. Apa yang pasti di dunia ini? Jawaban yang pasti adalah ketidakpastian itu sendiri.
“Semua WNI dihimbau untuk menjauh dari keramaian. Tetep jaga diri, dan berdiam di rumah. Cukup pantau berita dari televisi“.
Begitu bunyi salah satu broadcast yang tersebar malam itu dari organisasi mahasiswa Mesir. Pihak KBRI melakukan pantauan ketat atas aktivitas beberapa mahasiswa yang dianggap melawan militer Mesir.
Tak ada yang berani bersuara. Kabarnya, bahkan hari ini saja sudah lebih dari puluhan nyawa melayang tertembak peluru ganas militer. Suara-suara di media sosial nyaris tertutup, dibungkam oleh rezim otoriter. Desas desus itu hanya mampu menembus sekat ruangan di penjaja warung kopi dan warung-warung kelontongan kecil penyokong usaha kecil seperti warungnya Ammu Wahab. Kerapkali militer mendadak melakukan menggeledahan di warung-warung kopi, bahkan di tempat tersudut Kairo.
Seperti cerita-cerita lawas para pahlawan revolusi rezim Gamal Abdul Naser. Di masa-masa inilah, represi Naser mulai mengarah dan membungkam siapa saja yang mengkritik rezim, termasuk para penulis, sastrawan, dan beberapa seniman, warung kopi menjadi salah satu ruang tanpa tekanan, intimidasi dan kebebasan. Maqha atau warung kopi inilah yang menjadi tempat khusus untuk bertemu, memetakan pergolakan dan perlawanan.
Syari’ Thalaat Harb, yang hanya berjarak beberapa meter saja dari Tahrir Square, bercerita tentang kisah ini. Jalan yang terletak di kawasan Wast al-Balad atau Downtown Kairo ini menjadi saksi perjalanan ambisius seorang Khedive Ismail. Khediv Ismail membayangkan kawasan ini, kelak, akan menjadi ‘Paris on the Nile’.
Benar saja, dia kemudian mendatangkan arsitek kenamaan Paris dan mendesain kawasan ini mirip seperti di sudut-sudut kota Paris. Imaji tentang Kairo modern seakan ingin disimbolkan salah satunya dari kawasan ini. Abad 18 dan 19, Downtown menjadi pusat permukiman kaum elite dan menjadi simbol hedonisme nan glamour, khususnya pada periode Cairo’s Belle Epoque.
Café Riche, sebuah warung kopi yang dibangun tahun 1908 masih berdiri tegak di sela-sela apartemen tua berwarna abu-abu gelap. Entah, apa karena diselimuti debu tebal dari arah gurun ketika badai debu yang acapkali datang tanpa diduga, atau memang karena sudah usang. Penjual sayur-mayur dengan gerobak plus keledai nya sesekali melewati jalan ini, tak jauh berbeda dengan sisi lain kota Kairo. Ya, jalan ini adalah jalan yang menyimpan ragam memori sejarah sosial politik Mesir.
Warung kopi ini didirikan oleh seorang pebisnis berkebangsaan Jerman, Bernard Steinberg, dan beralih tangan ke Henry Recine seorang warga negara Prancis. Perang Dunia I mengharuskan Recine untuk kembali ke Prancis. Kafe ini kemudian dijual kepada seorang pebisnis keturunan Yunani dan dikelola hingga saat ini.
Syari’ Thala’at Harb ingin berkisah tentang masa lalunya dari sudut ini, dari kedai kopi Riche. Ruangan yang tak begitu besar namun sarat akan narasi cerita tentang perjuangan. Benih-benih pemberontakan Revolusi Mesir tahun 1919 terhadap pendudukan Inggris bermula di café ini, yang diprakarsai oleh Sa’ad Zaghloel, pemimpin Hizb al-Wafd.
Bahkan dalam bukunya, “National History of Egypt Between 1914-1921”, Abdul Rahman Rifa’i berkisah tentang peran Kafe Riche sebagai tempat mencetuskan ide-ide revolusi yang dihadiri oleh beberapa kalangan.
Ide-ide tentang nasionalisme Mesir dan kecintaan mereka terhadap negara ini banyak menghasilkan karya yang tak biasa, yang bermula dari maqha Riche. Sebut saja Naguib Mahfudz. Sebagai anak muda kala itu, ia menjadi saksi revolusi 1919 yang dituangkan dalam berbagai tulisannya. Mahfudz juga sangat kritis terhadap kependudukan Inggris.
Dalam novel pertamanya, “Palace Walk”, yang terangkum dalam trilogi tentang Mesir, Mahfudz berkisah tentang Fahmy sebagai seorang aktifis sekaligus nasionalis. Pemuda brillian ini berasal dari kawasan tradisional Gamaliyya, sebagai narasi dan setting utama dalam novel Palace Walk. Dua kekuatan politik yang menjadi isu utama Mesir saat itu, kesultanan Usmani dengan legitimasi tradisional yang kian memudar serta kemerdekaan negara-negara baru, membutuhkan pengorbanan dari seorang pemuda bernama Fahmy.
Selang beberapa tahun kemudian, kafe Riche kembali menjadi saksi atas revolusi yang diprakarsai oleh beberapa ‘perwira muda’. Konon, Gamal Abd Naser, di salah satu sudut ruangan ini, membuat rencana penting untuk menurunkan Raja Farouq pada 23 Juli 1952.
Namun, sesaat setelah Nasr berkuasa, situasi kafe berubah. Nasr membungkam siapa saja yang bicara tentang politik, terlebih mereka yang tak setuju dengan pemerintah. Beberapa penulis dan jurnalis diasingkan jika menulis dan mengkritik pemerintah. Dalam beberapa tahun tersebut, Mahfudz juga mendadak bungkam. Berbeda dengan Sa’ad Zaghloul, ia pindah ke Prancis dan bisa menulis secara bebas di era represif Naser.
Ahmad Shawky berkisah tentang kebungkaman yang terjadi di era Naser di sebuah petikan wawancara Ahmed Syawki dengan Peggy Biebers-Robert dalam sebuah jurnal “Café Riche: Memory in the Formation of Egyptian National Identity”.
“I remember in the 60’, we were whispering, you know, because of the Nasser era. The political issues are not welcomed. You cannot discuss it openly because some people were sitting around you. I think some of the journalist were reported to the police and removed. The next day we don’t find Edin and we learned that …because of all the discussion that happened yesterday. He talked about Nasser and military junta”.
Perjalanan Kafe Riche begitu panjang. Masa keemasan kedai kopi ini terjadi di era 50-an hingga 70-an. Sebelumnya, para artis, sejarawan, penulis, essais, novelist, sinemais, gemar berkumpul di sebuah kafe tak jauh dari Riche.
Namanya, Isavic Café, kedai kopi yang dimiliki oleh seorang keturunan Yugoslavia. Sesaat setelah Josiv Broz Tito berkunjung ke Mesir, kafe ini tutup. Perkumpulan masih berlanjut, hanya saja berpindah ke Kafe Riche, yang ketika itu dikenal sebagai kafe nya para elit.
Termasuk Umi Kulsum, yang fotonya berada tepat di bawah tangga dengan ukuran gigantis. Dan juga nama-nama lain, seperti Thaha Husein, Naguib Mahfudz, Abbas Akkad, Tawfik Hakim, Yusuf Idris terlihat berjejer berwarna hitam putih.
***
Bersambung
Leave a Reply