“Naskah ini merupakan manuskrip babon dan masterpice di museum Sonobudoyo. Dari serat inilah relasi antara Hamengkubuwono V dan Pakualaman menjadi kuat”. Begitu tutur Fajar, seorang pustakawan dan juga penjaga naskah Keraton yang disimpan di museum ini. Perawakannya masih muda, energik dan pandai sekali berkisah tentang beberapa manuskrip Keraton dari segala genre.
Ini merupakan pengalaman pertama saya menjejakkan kaki ke museum Sonobudoyo yang jaraknya sebenarnya tak begitu jauh, ia persis ada di pusat kota. Kepopuleran museum ini mungkin tergilas oleh keramaian Malioboro, meskipun sebenarnya tempatnya tak jauh dari pusat keramaian Jogja.
Sonobudoyo sendiri merupakan sebuah yayasan yang awalnya didirikan di Surakarta tahun 1919 dan diberi nama Java Instituut. Dalam perjalanan selanjutnya, khususnya dalam keputusan Konggres tahun 1924 Java Instituut memutuskan untuk mendirikan sebuah museum di Yogyakarta yang akan diisi oleh data-data kebudayaan dari berbagai daerah di Nusantara, khususnya Jawa, Bali, Madura dan Lombok. Ir. Th. Karsten P.H.W Sitsen, Koeperberg akhirnya dipilih menjadi salah satu anggota dewan panitia perencanaan pendirian museum tahun 1931.
Seperti halnya tempat-tempat khusus koleksi naskah, bangunan ini bisa dikatakan sangat sepi. Hanya terlihat beberapa orang lalu lalang yang tak lain adalah pegawai kantor Sonobudoyo sendiri bagian manuskrip Keraton. Kami bertemu Fajar, untuk berbincang dan melihat beberapa manuskrip al-Qur‘an dan juga koleksi masterpiece dari musem ini yaitu Serat Anbiyo atau biasa disebut dengan Serat Ambiya.
Saya jadi teringat tesis utama Prof Mark R Woodward, guru saya di CRCS UGM, dalam bukunya “Islam in Java: Normative Piety and Mysticism in the Sultanate of Yogyakarta”. Beliau menegaskan bahwa Islam di Indonesia mengalami adaptasi dan adopsi yang luar biasa dengan kultur sosial dan budaya setempat. Fakta ini terlihat khususnya pada upaya vernakularisasi (proses pembahasaan lokal) keilmuan Islam yang semakin marak di akhir abad 16 M di berbagai wilayah Nusantara, salah satunya adalah dengan penggunaan aksara Arab Pegon, terdapat banyak serapan kata dari Bahasa Arab dan berkembangnya karya sastra yang terinspirasi dari sastra Arab dan Persia.
Naskah epik dan menarik di hadapan saya ini adalah salah satunya, yaitu Serat Ambiya. Serat ini diproduksi dan ditulis dalam Arab Pegon dan aksara Jawa, namun yang ada tepat di depan saya ini ditulis dalam aksara Jawa. Bisa dikatakan Serat Ambiya merupakan adaptasi Jawa dari literatur “Qashash al-Anbiya“ yang populer dalam sejarah Islam (tārikh turāṡ Islamī) dan menjadi salah satu masterpiece dalam kesusastraan Islam Keraton Pakualaman. Menurut catatan sejarah, naskah ini ditulis oleh Jayangminarso saudara tiri Pakualaman II akhir abad 19 dan dihadiahkan kepada Sri Sultan Hamengkubuwono V.
Hamengkubuwono ke V dikenal sebagai raja yang banyak menaruh perhatian dalam mengembangkan seni dan budaya Keraton, dibandingkan melakukan intrik-intrik politik. Hal ini dikarenakan ia hidup di masa ketika relasi Keraton dengan pemerintahan Belanda buruk sehingga membuat Sultan Hamengkubuwono V mengambil posisi aman, meskipun pada akhirnya hidupnya justru berakhir di tangan selirnya sendiri, Kanjeng Mas Hemawati.
Serat Ambiya
Serat Ambiya yang ada di hadapan saya ini diproduksi di bawah kesultanan Pakualaman dan dihibahkan kepada Hamengkubuwono ke V. Iluminasinya tidak main-main, baik dari motif yang semakin beragam tidak terbatas pada flora, geometri dan kaligrafi saja melainkan juga membawa unsur metafora kebun tropis, juga replika bangunan keraton atau wedana gapuran dan bahkan terdapat satu iluminasi yang menggambarkan sebuah bangunan Eropa.
Saya sangat terpukau dengan teknik dan kualitas gambarnya yang indah ini, terlebih iluminasi Serat Ambiya juga menggunakan unsur warna yang sangat beragam, kertas yang tebal dan bagus serta ukuran yang cukup besar. Warnanya didominasi oleh warna-warna dasar, merah, hijau, biru, hitam, ungu, kuning dan juga emas. Warna emas dalam tradisi iluminasi naskah menyimpan makna yang sangat filosofis, dan kerapkali menandakan bahwa naskah ini merupakan karya besar, mengandung simbol yang transenden tentang keagungan Sang Pemilik Semesta.
Menurut beberapa catatan lain, Serat Ambiya yang ada persis di hadapan saya ini merupakan naskah yang ditulis ulang oleh Ki Ahmad Ngali tahun 1844. Sebagai sastra Islami, naskah ini berisi tentang cerita-cerita para nabi yang dituliskan menggunakan aksara Jawa. Naskah Serat Ambiya beraksara Jawa inilah yang menjadi babon manuskrip Keraton, salah satunya karena dinilai sakral dan sangat indah.
Yang membuat naskah Serat Ambiya versi Hamengkubuwono V ini menarik karena menjadi ekspresi perjumpaan antara nilai-nilai Arab-Islam dengan Jawa, dalam rupa karya sastra dan karya seni yang bercitarasa tinggi. Bisa dikatakan naskah Serat Ambiya versi HB V ini merupakan salah satu puncak dari perjumpaan tradisi Islam-Jawa.
Tradisi Iluminasi Naskah
Bisa dikatakan ini merupakan pengalaman saya untuk pertama kalinya menyentuh langsung sebuah manuskrip masterpiece Keraton. Sebelumnya saya beberapa kali menikmati manuskrip-manuskrip Arab, Ottoman dan Persia yang tercecer di beberapa museum seperti di Pergamon Museum Berlin, Topkapi Museum Istanbul dan di Museum Islamic Art di Kairo. Saya memang selalu tertarik dengan iluminasi pada manuskrip yang tak jarang membawa pesan dan metafora dan nilai seni yang tinggi.
Abad 16 sampai abad 18 M menjadi titik poin penting bagaimana tradisi literatur di Nusantara mengalami perkembangan yang sangat pesat (Kumar&McGlynne: 1996). Tak hanya didominasi oleh kesusastraan Hindu-Budha, namun pada masa inilah sastra Arab dan Persia mulai masuk dan diolah menjadi karya baru dari dan untuk masyarakat Nusantara, termasuk salah satunya Menak Amir Hamzah, Menak Yusup, Menak Ahmad Hanapi dll.
Yang membuat saya terkesima pada Serat Ambiya adalah ornamen iluminasi yang sangat indah dan menawan. Iluminasi atau wadana renggan dalam naskah Jawa merujuk pada pola dekorasi naskah yang biasanya terdapat di pinggir, atau bahkan menjadi satu halaman penuh sebagai penanda pergantian sub judul dan topik, atau yang biasa disebut Pupuh.
Jika merujuk pada catatan filolog Jawa, Abad 15-16 M menjadi era di mana tradisi iluminasi naskah Jawa mengalami perkembangan yang pesat. Hal ini disebabkan salah satunya karena maraknya budaya translasi buku pengetahuan Islam yang dilakukan oleh para ulama, intelektual Muslim, pelajar dan beberapa lembaga pendidikan agama seperti madrasah, pesantren dan juga oleh kesultanan.
Tradisi iluminasi, tehzib/tahdzib atau zakhrafah/munamnamat (pembuatan hiasan iluminasi) ini sendiri dalam tradisi sejarah Islam dimulai pada abad kedua Hijriah, ketika penyebaran madrasah keislaman meluas hingga keluar Kawasan Arabia. Transmisi keilmuan ini juga diikuti dengan berkembangnya seni iluminasi, bahkan dalam periode selanjutnya setiap kesultanan yang terbentang dari Andalusia, Seljuk, Mamluk, Ottoman, Timurid dan Savawi hingga wilayah Afrika dan Asia mampu memproduksi detail-detail ornament dalam manuskrip yang bercorak khas. Menariknya, dalam manuskrip Jawa, tradisi tehzib atau zakhrafah ini didapati dalam Serat Ambiya versi Hamengkubuwono V.
Motif utama dalam iluminasi naskah-naskah Nusantara mayoritas berbentuk floral, geometri dan kaligrafi. Tujuannya adalah untuk memperindah naskah, menciptakan nilai yang suci dan sakral, maka dari itu tak jarang ragam dekorasinya dibuat sangat indah dan berkualitas. Namun tak hanya itu, kerapkali iluminasi dalam naskah-naskah tertentu menyimpan makna-makna filosofis dan spiritual untuk memperkaya dan memperdalam isi.
Ann Kumar dan McGlynn: 1966 dalam studinya menegaskan paling tidak ada tiga setting proses dan kategori dalam tradisi penulisan naskah; Pertama, naskah yang ditulis di wilayah pedesaan biasanya sangat sederhana tidak banyak dibubuhi dekorasi iluminasi baik dalam naskah al-Qur’an maupun naskah keislaman yang lain. Kedua, naskah yang ditulis di kawasan perkotaan kerapkali juga menambahi beberapa dekorasi dengan teknik yang lebih bagus dan sudah menggunakan kertas dari Eropa. Ketiga, adalah naskah yang dibuat di kesultanan atau di istana yang dalam proses pembuatannya melibatkan seniman-seniman kerajaan professional dengan teknik dan kualitas yang sangat tinggi. Sedangkan naskah yang ditulis di pesantren, biasanya berada di antara kategori pertama dan kedua.
Mengakomodasi Unsur Lokal
Beberapa iluminasi yang diproduksi di masa Jawa-Islam mayoritas menggunakan motif-motif flora dan geometri yang didapatkan dari dekorasi rumah-rumah Jawa, batik dan seni pahat. Motif-motif inilah yang juga saya temui dalam manuskrip Serat Ambiya. Hal ini, paling tidak dapat menandakan meskipun tradisi tehzib didapatkan dari seni Arab-Islam, namun ilustrasi yang dipakai terinspirasi dari ragam motif dalam ornamen budaya Jawa. Di sinilah letak keunikan naskah Jawa-Islam yang salah satunya terlihat dari iluminasi naskah Serat Ambiya yang natural dan realistik.
Nilai lokalitas dengan menggunakan simbol dan ornamen Jawa menjadi ciri khas dan yang membedakan seni iluminasi Jawa-Islam dengan Arab-Islam. Hal ini setidaknya menandakan adanya keterbukaan dalam akulturasi budaya dan terciptanya toleransi tradisi Islam terhadap nilai-nilai lokal yang dipahami oleh masyarakat Muslim Jawa saat itu.
Unsur lokal yang dikreasikan dan dikembangkan oleh para penerjemah dan ilustrator naskah mencerminkan adanya ruang-ruang dialog yang terbuka antara Keraton dan Islam. Sayangnya, beberapa tahun kemudian, tradisi ini tak lagi mendapat tempat di kesultanan Yogyakarta. Menurut Claire Holt 1966, Keraton tak lagi menjadi pusat berkembangnya seni, budaya dan tradisi literatur yang kuat di masa-masa selanjutnya. Para seniman tak lagi mendapat tempat untuk berekspresi, dan nasib naskah-naskah bernilai tinggi itu akhirnya lenyap tak berbekas.
Warisan budaya berbentuk naskah, ataupun seni budaya lainnya selain sebagai sumber pengetahuan masyarakat Indonesia modern, ia juga selayaknya menjadi kebanggaan bahwa setidaknya masyarakat Muslim Jawa pernah menghasilkan sebuah karya agung yang tak kalah indah dan bernilai seni tinggi dari manuskrip yang ada di beberapa kawasan Muslim lainnya. Kita pernah punya masa gemilang, di mana seni, pengetahuan, agama dan budaya menjadi penggerak peradaban yang bisa kita sebut sebagai era Ranaissance Jawa-Islam.
**
Artikel ini pertama kali dipublikasikan di Opini Media Indonesia, Sabtu 17 September 2022
Leave a Reply