Neswa.id-Selama ini, konstruksi identitas perempuan adalah soal kelembutan, kasih sayang, dan menghindari kekerasan. Konstruksi yang terus diproduksi ini pada akhirnya menciptakan image tersendiri bagi perempuan di dunia olahraga. Misalnya, citra itu berdampak pada marginalisasi dan eksklusi perempuan dalam dunia tinju.
Keterlibatan perempuan dalam sepak bola barangkali sudah dianggap wajar. Tapi bagaimana dengan keterlibatan perempuan dalam olahraga tinju? Tinju berbeda dengan sepak bola. Tinju tidak hanya menyaratkan fisik dan mental yang kuat. Akan tetapi perlu kesiapan untuk menerima pukulan dan bantingan. Aspek “kekerasan” yang ditawarkan tinju berbenturan dengan konstruksi perempuan seperti yang telah disinggung di atas.
Benar saja, dalam dunia elit tinju, marginalisasi dan pengucilan perempuan menjadi isu yang tidak terhindarkan dalam satu dekade terakhir ini. Citra tinju sebagai olahraga maskulin, penuh kekerasan, dan agresif membuat gagasan keterlibatan perempuan dalam tinju sebagai petarung menghadapi tantangan yang berat baik secara kelembagaan maupun budaya. Tantangan ini berbentuk diskriminasi yang mengancam hak demokrasi wanita untuk berpartisipasi secara setara dalam berbagai jenis olahraga.
Sebenarnya, undang-undang, anggaran rumah tangga, kode etik, dan kode disiplin Asosiasi Tinju Internasional (AIBA) dengan jelas menyatakan bahwa diskriminasi karena jenis kelamin dilarang keras dan dapat dihukum dengan skorsing dan/atau pengusiran. AIBA sudah menegaskan dalam kebijakannya bahwa salah satu tujuan utama organisasi AIBA adalah untuk mempromosikan keterlibatan wanita dalam olahraga tinju dan meningkatkan program tinju wanita.
Namun, tinju sudah kadung tumbuh dan berkembang dengan tradisi bias gender. Ketika perempuan terlibat dalam tinju kompetitif, mereka dipersepsikan sedang menyelisihi norma tradisional feminis dengan menampilkan kekerasan dan kekuatan, dua hal yang secara kultur selalu dikaitkan dengan pria dan maskulinitas.
Salah satu event olahraga besar yang menampilkan dinamika perempuan dalam tinju adalah The London 2012 Summer Olympics. Tidak sedikit yang berpandangan bahwa tinju adalah “benteng terakhir maskulinitas” di event olahraga Olimpiade. Ketika jenis olahraga lain yang dipertandingkan di Olimpiade sudah melibatkan perempuan, beberapa kelompok masih bangga jika tinju masih didominasi oleh laki-laki dan maskulinitas. Namun, Olimpiade London nampak menjadi momentum bagi perempuan dan tinju. AIBA menyatakan bahwa memasukkan tinju wanita ke olimpiade telah menjadi salah satu prioritas utama organisasi tersebut sejak 2006. Memasukkan tinju wanita di Olimpiade akan membantu memperbaiki citra tinju yang kerap meremehkan hak-hak demokratis petinju wanita untuk berpartisipasi secara setara dalam olahraga.
Sebelum Olimpiade London 2012, isu yang kerap dibahas dalam AIBA adalah soal pakaian kompetisi resmi petinju perempuan. Perdebatan berpusat pada apakah wanita boleh memakai celana pendek seperti halnya petinju pria, atau tidak, atau petinju perempuan wajib menggunakan rok. AIBA kemudian memutuskan untuk mewajibkan rok bagi petinju perempuan. Argumen AIBA adalah bahwa jika petinju wanita tidak memakai rok, penonton tidak akan dapat membedakan antara petinju pria dan wanita, dan itu akan membingungkan bagi mereka. Seperti wawancara yang dikutip oleh businessinsider.com, presiden AIBA berkomentar, “Saya telah mendengar berkali-kali, orang berkata, “Kami tidak bisa membedakan antara pria dan wanita, terutama di TV, karena mereka mengenakan seragam yang sama dan mengenakan penutup kepala.”
Namun, kebijakan AIBA itu mendapat banyak pertentangan dari para pelatih tinju dan, terutama, dari atlet tinju perempuan. Dikutip dari BBC, seorang pelatih kepala Inggris berpendapat bahwa para wanita yang berkompetisi di Olimpiade harusnya mendapatkan hak mereka untuk diperlakukan sama dengan petinju pria. Ia menegaskan bahwa mereka adalah petinju dan mereka ingin mengenakan perlengkapan tinju yang normal. Mereka telah mendapatkan hak untuk menjadi petinju dan mereka ingin menjadi petinju, bukan petinju wanita.
Kebijakan AIBA tersebut juga dilihat sebagai upaya “sexualization” terhadap wanita di dunia tinju. Juara tinju perempuan kelas ringan asal Inggris, Natasha Jonas, menuturkan bahwa kewajiban rok itu tidak lebih dari urusan estetika, karena satu-satunya orang yang ingin melihat wanita dengan rok adalah pria. Ia menegaskan bahwa itu harusnya menjadi pilihan petinju apakah mereka mau mengenakannya atau tidak tanpa ada paksaan dari pihak eksternal.
Kebijakan AIBA tentang rok wanita dalam tinju bisa dilihat sebagai contoh bagaimana otoritas dalam olahraga selalu mengupayakan untuk “memfemininkan” atlet wanita mereka agar mereka mematuhi norma tradisional feminin lewat relasi kuasa berbasis gender. Kebijakan otoritas ini tanpa disadari justru akan semakin menegaskan identitas maskulin suatu cabang olahraga.
Olimpiade London 2012 memang menjadi momentum penerimaan perempuan dalam dunia tinju elit dunia. Namun, hal itu tidak menjamin bahwa perempuan akan diperlakukan setara dengan para petarung laki-laki. Empat tahun kemudian, bias gender dalam dunia profesional tinju itu masih terlihat di Olimpiade Rio de Janiero 2016. Cabang tinju wanita memang terus diprioritaskan untuk menjadi bagian dari program Olimpiade di Rio 2016. Namun, mereka masih menghadapi absennya kesetaraan dan inklusi dalam sponsorship, endorsements, dan perhatian media yang cenderung tertarik untuk mendekat pada cabang tinju pria.
Meskipun wanita telah mendapatkan akses ke ranah yang sebelumnya tertutup dan memperoleh hak formal untuk berpartisipasi dalam Olimpiade, masih ada jalur terjal yang harus dilalui sebelum para petarung wanita dapat menerima pengakuan dan penerimaan penuh dalam dunia tinju elit internasional. Beberapa wanita mungkin berada di atas ring untuk bertarung, tetapi mereka tidak dalam kondisi memiliki kendali atas diri mereka.
Akhirnya, penerimaan perempuan belum sepenuhnya terwujud. Pengenalan cabang tinju wanita ke Olimpiade di London 2012 dan Rio de Janiero 2016 mungkin memiliki beberapa efek pada status dan pengakuan tinju wanita, tetapi faktanya tidak cukup untuk melahirkan perubahan sosial yang sudah bertahan lama dalam hierarki budaya, bias gender, ketimpangan struktur, dan relasi kuasa. Tinju profesional masih merupakan olahraga yang dikelola oleh dan untuk pria. (IM)
Leave a Reply