,

Refleksi Hari Ibu : Berani “Solo” – kesadaran untuk bercahaya bersama-sama

/
/


“Some walks you have to take alone”

Kutipan motivasi itu mewarnai benak ketika saya mendapat kesadaran baru sebagai ibu seorang remaja autistik bernama Arsa.

Menjadi Ibu seorang individu autistik saya sadari memberi privilege tersendiri yang berlapis-lapis. Lapisan pertama seketika menempatkan saya sebagai Strong Mom. Meski hati kecil menolak, walau berkali-kali memberi penjelasan saya tak sekuat yang dikira orang, predikat ini spontan melekat.

Lapisan kedua, bila anak autismu bisa difasilitasi dengan baik dan berkembang talentanya, predikat Super Mom juga disematkan. Meski berkali-kali saya menyatakan Arsa yang sudah hebat melampaui keterbatasannya, tak serta-merta menutup komentar orang, “tak mungkin bila tak ada Ibu hebat yang mendampingi.”

Lapisan-lapisan selanjutnya adalah bagaimana apresiasi orang-orang dstnya. Contohnya saja, postingan tentang kemajuan Arsa akan mengundang banyak like baik di page karyanya, feed Facebook saya maupun postingan Instagram. Apalagi ketika apresiasi orang akan film documenter tentangnya, terbitnya buku kisah Arsa dan adiknya, live demi live, wawancara demi wawancara, yang tak disangka-sangka membuat saya banyak kenalan baru, dari pengagum secara terang-terangan maupun rahasia.

Awalnya sungguh tak saya maksudkan semua itu untuk menyombongkan diri. Hingga sebuah event di Solo awal Desember 2021 kemarin membuka mata saya lebar-lebar tentang perasaan sesungguhnya sebagai Ibu sekaligus sebagai perempuan.

Keikutsertaan Arsa pada Festival Payung Indonesia tak lepas dari keberuntungannya menjadi partisipan di Special Kids Expo tahun 2019 lalu. Oleh karena dianggap menjadi representasi remaja yang memiliki talenta dalam hal jahit menjahit dan crafting, pertengahan tahun ini saya dihubungi untuk mengikutsertakan Arsa juga berkreasi dengan shibori dan tentu jahit tusuk jelujur. Meski ketika melakukan event mencelup shibori bersama, saya yang mengikuti lewat zoom; tetapi ketika praktek Arsa dengan senang hati melakukan proses mengikat dan mencelup kain polos yang proses akhirnya akan menjadi paying hias untuk pameran.

Demikian juga tusuk jelujurnya, Ibu Marina Gosali pemilik Studio Koepoekoe-Yogyakarta sebagai penggagas shibori mengajak Arsa berkolaborasi. Sehingga untuk pameran saja, Arsa mendapat keistimewaan memiliki dua payung yang akan dipamerkan.

Keberuntungan terus berlanjut, Arsa diajak sebagai pendamping Ibu Marina di salah satu kelas kreasi, melakukan demonstrasi menjahit di atas payung. Nama sulung saya itu tercantum di salah satu leaflet dan tentu membanggakan kami sekeluarga.  Sebenarnya ia juga diajak untuk melakukan demonstrasi melukis di kain dengan pewarna alam di salah satu sesi, akan tetapi masalah teknis kehadiran kami di kota Solo tidak memungkinkan melakukan hal itu. Akhirnya kami memutuskan untuk tidak mengikutkan Arsa sebagai partisipan di sesi melukis di kain.

Ternyata hal itu belum berakhir. Saya sebagai ibunya Arsa, yang kebetulan juga baru meluncurkan buku tentang sibling relationship Arsa dan adiknya Adyatma; ditawarkan untuk boleh melakukan promosi dan mendisplay buku saya. Tanpa disadari  tawaran tersebut malah mengusik keinginan saya ‘setara’ dengan Arsa.

Mosok anak lelaki saya disorot, Ibunya sekaligus. Sungguh bodoh sebenarnya saya memiliki perasaan seperti itu, meski mungkin ada yang mengganggap hal tersebut bagus adanya seperti pepatah sekali kayuh, dua tiga pulau terlampaui.

Meski kemudian kami disibukkan dengan persiapan keberangkatan dengan uang yang pas-pasan, usaha untuk menyiasati waktu keberangkatan, alat transportasi yang digunakan, demikian pula dengan pengaturan logistik yang dibawa; tanpa disadari saya malah lebih memikirkan pakaian apa yang saya pakai di hari pertama, kedua dan terakhir.  

Tiba-tiba saya serius memikirkan bagaimana penampilan sebagai Ibunya Arsa. Tiba-tiba sisi perempuan saya ingin juga dilihat, sampai sempat-sempatnya di sela kesibukan mempersiapkan pameran saya menelusuri halaman Instagram yang menjual pakaian hanya untuk saya tampil pantas ketika mendampingi Arsa. Saya lupa ia tak akan peduli meski saya memakai daster rumah sekalipun, asal tetap berada di dekatnya dan memberikan support kepadanya.

Pemikiran saya terpecah dengan pernyataan teman saya yang bilang, jadilah dirimu sendiri, yang nyaman aja. Benak saya malah berpikir harus ‘dress up’, mungkin … agar terlihat cantik dalam tangkapan kamera video.

Singkat kata, selama seminggu itu pikiran saya menjadi dipenuhi banyak stressor. Waktu tidur saya berkurang jauh karena saya overthinking. Sungguh aneh sebenarnya karena sebenarnya saya sudah terbiasa dengan berbagai event mendampingi Arsa. Kemungkinannya karena saya pun akan membawa karya buku saya yang pertama. Ada keinginan untuk diliput juga, ditanyai, diajak ngobrol atau diskusi; bukan sekadar hadir di dekat Arsa.

Pemikiran itu ternyata memberi frekuensi yang kurang baik. Meski perjalanan cukup lancar, observasi lokasi pameran juga saya persiapkan dengan baik, kondisi Arsa juga tidak senewen; tak disangka-sangka hari pertama sepatu saya jebol.

Kondisi kota Solo ternyata tak seperti Yogyakarta di mana banyak mini market untuk membeli lem alteco denga mudah. Ketika sesaat lagi harus mendampingi Arsa, meski saya sudah berkeliling mencari lem yang cukup kuat dari para crafter pengisi acara Festival Payung Indonesia, saya tak kunjung mendapatkannya. Upaya terakhir dengan menggunakan aplikasi belanja online, saya mendapatkannya plus sandal jepit. Namun, tak secepat itu bisa merekatkan sepatu yang jebol dalam keadaan hectic acara yang berlangsung.

Tampillah saya dengan batik warna alam, selendang warna alam, tetapi dengan kaki beralas sandal jepit ala kadarnya. Hilang sudah imej yang saya persiapkan untuk ‘tampil’ ketika itu. Sejujurnya meski tak ada yang memperhatikan, ada rasa malu yang menyergap. Kok saya tidak tampil sepantasnya dalam sorotan kamera.

Perasaan ‘malu’ itu lalu bercampur aduk dengan perubahan rundown acara yang menyebabkannya dibatalkan sesi tanya jawab saya dengan pengunjung atau media mengenai buku Atma untuk Akcaya oleh pembaca acara. Saya berusaha menelan kekecewaan cepat-cepat, ketika kemudian saya harus duduk bersama Arsa memperlihatkan demonstrasi menjahit di atas payung.

Ketika itu seharusnya saya merasa bahagia, hanya Arsa seorang diri di antara perempuan lain, muda maupun tua yang ikut kelas kreasi. Semua mata memandang kagum kepada anak sulung saya itu, apalagi ketika suatu kali benangnya kusut, dengan penuh semangat ia berusaha mengurai kekusutan sampai terlepas. Sejujurnya saya merasa bangga dan senang juga, di balik kekecewaan tadi.

Ketika kemudian acara selesai, ada satu Ibu yang membeli buku lalu meminta Arsa menuliskan namanya serta meminta berfoto bersama, kekecewaan saya mulai luruh pelan-pelan. Ketika Arsa, adik dan ayahnya saya pulangkan dulu untuk istirahat, momen kesendirian itu mulai menguraikan keruwetan perasaan saya.

Bagaimana kemudian saya surprise dengan seorang Ibu yang sengaja mampir bersama anaknya, berfoto dengan karya Arsa dan membawakan oleh-oleh untuk kami bawa pulang nanti. Lalu seorang pengunjung yang lain malah membeli buku saya agar dia semangat juga menyelesaikan bukunya. Atau ada teman literasi yang berusaha menyempatkan diri datang menemui saya di sela waktunya bersama keluarga.

Tiba-tiba saya menyadari suatu hal. Seharusnya saya malu sudah cemburu melihat Arsa mendapat sorotan. Mengapa saya merasa perlu mendapatkan sorotan yang sama? Mengapa saya mau ‘mencuri’ cahaya yang ketika itu diberikan kepadanya?

Festival, pameran dan kelas kemarin adalah panggung tentang Arsa. Tentang talenta dan semangatnya melampaui kemampuan dia sebagai individu autistik. Meski saya diperbolehkan juga untuk memperkenalkan dan memamerkan karya buku pertama, hal itu terjadi karena Arsa mendapat kesempatan. Buku pertama itu pun tentang Arsa dan adiknya, sehingga posisi saya mempromosikan buku itu adalah sebagai Ibu mereka berdua, bukan tentang Ivy secara pribadi.

Kesadaran itu sungguh melegakan saya. Saya bukan Ibu yang mendompleng pencapaian prestasi yang sudah diraih anaknya.

Suatu saat nanti, saya pun bisa dikenal sebagai Ivy yang berkarya, menghasilkan tulisan atau berkarya dari buah pikiran saya, bukan melulu tentang anak-anak. 

Sungguh saya lupa bahwa selama proses Arsa bercahaya, saya pun ikut bersinar. Saya bukan siapa-siapa bila tak dianugerahi seorang remaja autistik bernama Arsa.

Oleh sebab itu, bila saya ingin bercahaya bersama-sama, saya pun perlu berjuang.  Memacu diri sendiri untuk menghasilkan karya lagi yang bernilai bagi banyak orang.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *