Refleksi Halaqah KUPI II; Sulitnya Perjuangan Menjadi Istri Salihah

/
/

Refleksi Halaqah KUPI II; Sulitnya Perjuangan Menjadi Istri Salihah

Neswa.id-Ajang KUPI menjadi tempat berkumpulnya para reflektor peran ulama masyarakat di tengah masyarakat. Acara yang digelar di tengah Kawasan Pondok Pesantren Hasyim Asy’ari Bangsri ini dibuka dengan halaqah kebangsaan yang dilakukan pagi hari sebelum opening ceremony. Halaqah ini dibagi menjadi tiga tempat, halaqah pertama membahas tentang Sosialisasi Nilai-Nilai Kebangsaan Melalui Halaqah Kebangsaan: Meneguhkan Peran Ulama Perempuan Dalam Merawat Dan Mengokohkan Persatuan Bangsa, Temu Tokoh Agama Dalam Meneguhkan Peran Ulama Perempuan Untuk Memperkuat Kebangsaan, Dan Merumuskan Strategi Bersama Untuk Percepatan Pengesahan RUU PPRT.

Dibuka dengan sebuah kisah reflektif, seorang perempuan paruh baya naik ke atas panggung utama tempat halaqah pertama dengan membawakan sebuah stand up tanpa disebutkan temanya. Ia memulai pembicaraannya melalui kehidupan pribadi sebagai orang Indonesia yang di sisi lain meneriakkan NKRI harga mati, namun di lain jalan meneriakkan ketidaksempurnaan negara yang sudah lansia ini. Perempuan asal Cirebon ini pun menyebutkan Indonesia sebagai negara tua tapi menggemaskan, yang mana jelas ada tersangka kekerasan seksual, tapi malah dipilih dan menang dalam penunjukkan anggota DPD.

Selain itu, sejarah tokoh perempuan dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia seringkali tidak dilirik. Di tiap-tiap buku sejarah, tokoh yang paling banyak dimunculkan dan disebutkan adalah laki-laki. Bahkan dalam kemerdekaan Indonesia sendiri dituliskan bahwa, “bendera merah putih pertama yang adalah hasil jahitan ibu negara Fatmawati”, lantas tokoh perempuan lain tidak banyak dikisah-jelaskan.

Kegemasan sebagai perempuan Indonesia pun semakin tinggi ketika masih berlaku kriteria istri salehah di berbagai lini masyarakat, khususnya muslim. Noor Laely menyebutkan ada tiga kriteria istri salehah yang begitu ribet dan perlu dipertimbangkan untuk dihapuskan . Pertama, dari pagi membersihkan rumah, ngurus anak, gali sumur, tapi pahala istri akan gugur tidak tersenyum ketika suami pulang kerja. Kedua, lebih mementingkan semua kebutuhan suami dan anak, walaupun punya kerjaan di luar. Seakan perempuan tidak punya kebutuhan dan kesibukan lain. Dan yang terakhir adalah kewajiban untuk mengatur keuangan, walaupun pemasukan sangat pas-pasan.

Perempuan sebagai istri yang dituntut menjadi salihah-pun diberikan motivasi untuk terus sabar dan ikhlas sehinga pintu surga dapat terbuka lebar untuknya. Mereka diberikan iming-iming surga melalui sebuah pekerjaan yang harusnya tidak hanya menjadi kewajiban sebagai istri semata. Sehingga sebelum menutup materinya, Noor Laely meminta kepada seluruh pihak KUPI untuk mempertimbangkan isu-isu perihal kriteria istri salihah untuk dibahas, dipertimbangkan, dan dihapuskan. (IM)



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *