,

Ramadan dan Lebaran: Kesenangan dalam Beribadah (2)

/
/

Ramadan dan Lebaran: Kesenangan dalam Beribadah (2)

Neswa.id-Dikatakan secara jelas, bahwa Ramadan merupakan sebuah bulan istimewa dengan beberapa kelebihan-kelebihannya. Kelebihan-kelebihan tersebut erat dengan kegiatan-kegiatan ibadah dan atau ritual yang melekat pada bulan tersebut. Dalam konteks Indonesia dan mungkin beberapa negara Muslim lain, seperti Maroko, hal itu berpadu padan dengan budaya.

Ramadan menjadi istimewa karena ia menjadi simbol kegembiraan dan kemenangan Muslim dari dua aspek; aspek spiritual dan aspek sosial. Dari aspek spiritual, ibadah-ibadah pada bulan ini mampu membangkitkan semangat keberagamaan dan semangat untuk mendekatkan diri kepada sang pencipta. Dari aspek sosial, ia menjadi media atau masa dimana Muslim memberikan rasa simpati dan bertenggang rasa dengan sesama Muslim, dimana Muslim yang secara materi mempunyai kelebihan menginfakkan harta mereka kepada mereka yang berkekurangan. Sikap dan praktik ini terutama nampak pada saat di mana puasa berakhir dan perayaan Idulfitri tiba. Iya, lebaran dengan beberapa pernak-pernik dan ritual lainnya, seperti Marema (hari menjelang lebaran dimana kegiatan berbelanja dilakukan), hantaran rantang, dan pemberian rupiah, merupakan momen-momen atau kegiatan yang menghantarkan kebahagiaan.

Marema merupakan sebuah momen pada H-1 hari raya, di mana masyarakat, terutama Sunda, melakukan kegiatan-kegiatan terkait dengan persiapan perayaan hari kemenangan. Marema artinya laris manis, dan ini sebenarnya menunjuk pada aktivitas penjualan dan pembelian di pasar. Pada waktu saya kecil, saya memahami bahwa Marema adalah ritual menyenangkan sehari menjelang lebaran. Nah, biasanya, para ibu dan atau bapak berangkat ke pasar di pagi hari untuk membeli daging. Para penjagal tentunya telah menyiapkan daging jualan mereka bahkan pada sore hari sebelumnya. Beberapa ibu atau bapak dalam sebuah kelompok atau grup melakukan penjagalan bersama dimana sebelumnya mereka mengumpulkan sejumlah dana untuk disatukan dan dibelikan sapi atau lembu untuk disembelih pada hari Marema tersebut. Para anak juga sibuk mencari pakaian yang ia senangi dan sudah intai sebelumnya. Meskipun mempersiapkan pakaian adakalanya dilakukan pada beberapa hari sebelumnya, para anak tetap berangkat ke pasar untuk membeli pernak-pernik lainnya atau sekedar mencari kesenangan dengan melihat hiruk pikuk pasar.

Pada saat sekarang terutama di kota-kota, tradisi berbelanja pakaian dan juga kue-kue ini dianggap oleh para peninjau sebagai perilaku konsumerisme yang, menurut Mclean dalam bukunya Consumerism in Society (2006), seperti dikutip oleh Marwany, telah menggeser tatanan sosial. Menurutnya, sikap dan perilaku ini dihasilkan dari beberapa kecenderungan dan faktor, yaitu prestise, eksistensi diri, psikologis dan, kesejahteraan yang over-acting. Dalam beberapa konteks, pandangan ini bisa jadi benar dan momen ini faktanya dijadikan bahan atau inspirasi oleh beberapa perusahaan, seperti yang dilakukan oleh KOMISI di Bandung, yang menggelar seminar dengan judul ‘MaReMa (Mari Rebound Bersama)’. Tentu selain untuk memberikan kesenangan dan kemeriahan, acara ini digelar untuk meningkatkan penjualan produk mereka dan memberikan informasi gratis terkait produk-produk mereka dan hal ihwal terkait dengan taktik dan strategi penjualan.

Dalam konteks di kampung saya dan pada saat itu, apa yang saya lihat bukanlah sama sekali gaya konsumtif tetapi benar-benar sebuah perayaan atas kemenangan di mana anak-anak dibahagiakan oleh para orang tua karena telah menang mengalahkan keinginan untuk membocorkan puasa mereka. Memang terjadi pergeseran dalam hal pemilihan model pakaian dan mukena, sesuai dengan perkembangan desain dan gaya. Namun, saya memahami bahwa kebiasaan ini semata untuk memuliakan hari raya yang masih dalam batas anjuran Rasulullah (diriwayatkan Bukhari) kepada Muslim untuk berhias, memakai pakaian terbaik, dan mengkonsumsi makanan yang enak, sebagaimana Beliau katakan kepada Umar bin Khattab supaya ia memakai pakaian terbaik untuk menyambut para tamu atau utusan yang datang.

Selain Marema, yang menarik untuk dipaparkan adalah kegiatan menghantar menu lebaran dengan rantang. Kegiatan ini dilakukan pada hari Marema di sore hari. Beberapa memang melakukannya di siang hari pada hari raya. Tradisi ini merupakan implementasi dari rasa ingin berbagi dan saling merasakan apa yang dirasakan sesama Muslim terutama saudara dan tetangga. Tentu, ini merupakan juga implementasi ajaran Islam untuk saling membantu dan bertenggang rasa dalam hal makanan, dalam konteks lebaran ini, setelah satu bulan semua menahan dahaga dan lapar di siang hari.

Hantaran dalam rantang ini biasanya dilakukan oleh anak-anak. Anak-anak bersuka cita melakukannya. Dalam keluarga dengan dua anak atau lebih, semua anak-anak biasanya diberi tugas untuk membawa hantaran ke tempat yang berbeda. Tak jarang, si adik yang belum memahami dengan baik menemani si kakak menghantarkan rantang menu lebaran. Suka cita si anak dalam menghantarkan makanan tentu beralasan. Lembaran uang akan diselipkan oleh penerima hantaran di tangan si anak atau diletakan di dalam rantang yang tentu diperlihatkan supaya si anak mengetahuinya.

Menu yang dihantarkan biasanya terdiri dari bistik daging, opor ayam, ketupat atau nasi. Beberapa menyertakan kantong berisi kue bersama rantang yang ditenteng. Tak jarang, sesuai dengan kekhasan menu di kampung saya, bistik daging dan atau opor ayam diganti dengan ‘bekakak ayam’.

Ketika saya kecil, saya pun bersemangat membantu ibu membawa hantaran kepada para tetangga, para sesepuh di sekitar kampung, dan para kenalan ibu atau bapak yang dianggap akrab. Ketika pulang, saya dengan senang hati melaoprkan ‘penghasilan’dari membawa hantaran. Terus terang tak jarang ibu saya juga mengecek apakah saya memperoleh lembaran uang atau tidak. Tidak bermaksud untuk menegaskan itu keharusan, ibu hanya ingin mengetahui dan setelahnya tentu mengapresiasi pemberian lembaran uang tersebut. Rebutan lembaran uang dengan kakak saya juga beberapa kali terjadi, jika si penerima memberikan selembar dengan pesan bahwa lembaran itu untu dibagi berdua. Sungguh menyenangkan dan menggelikan pengalaman tersebut. Iya, praktik ini saya saksikan sekarang ketika saya sudah menjadi dewasa dan orang tua. Mengingat betapa saya merasakan kesenangan luar biasa, saya selalu memberikan tambahan lembaran pada anak-anak pembawa rantang ke rumah ibu, meskipun ibu sudah juga melakukannya.

Lembaran-lembaran uang itu, selanjutnya disebut THR, tentu tidak hanya diberikan kepada anak-anak pembawa rantang. Anak-anak dari saudara dan kerabat yang bersilaturahmi di hari lebaran bersama orang tua mereka akan mendapatkannya. Untuk itu kami selalu menyiapkan lembaran-lembaran uang pecahan, mulai dari 5 ribu sampai 20 ribu. Saya dan kakak-kakak serta adik-adik yang sudah menjadi orang tua biasanya bergantian memberikan kepada anak-anak yang datang tersebut.

Pemberian THR pada saat lebaran ini juga dilakukan dalam lembaga-lembaga atau perusahaan-perusahaan pemerintahan dan swasta. Disinyalir bahwa praktik ini mulai dilakukan pad 1950s. Dalam catatan “Sejarah dan Awal Mula Pemberian THR Lebaran, Sudah Ada Sejak 1950-an,’ Fahri Zulfikar menyebutkan bahwa THR kegamaan (lebaran) dicetukan pada 1950s oleh Soekiman Wirjosandjojo yang pada saat itu menjadi perdana Menteri dengan tujuan peningkatan kesejahteraan aparatur negara. Para pegawai swasta memperjuangkannya juga untuk memperoleh THR serupa dan secara resmi mereka memperolehnya pada 1990s. ” (IM)


Euis Nurlaelawati Avatar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *