Neswa.id-Dalam bukunya Ramadan in Java: The Joy and Jihad of Ritual Fasting, yang diterbitkan di 2005, Andre Muller, mendiskusikan dan memaparkan tentang praktik dan fenomena berpuasa Ramadlan di Indonesia, di Jawa khususnya. Dalam satu bab yang ia beri judul ‘Lived Ramadan’, ia mengungkapkan bahwa praktik ibadah puasa bertemu dengan kesenangan dan kebahagiaan para pelakunya. Ia menjelaskan dengan gamblang bagaimana bulan Ramadan dan praktik-praktik ibadah di dalamnya, termasuk puasa, shalat tarawih, dan shalat idul fitri dilakoni dengan keceriaan dan kesenangan masyakarakat Muslim, baik orang tua, dewasa, maupun anak-anak. Ia juga dengan apik mengungkapkan bagaimana kegiatan berpuasa berdampak pada perilaku sosial Muslim, termasuk perilaku di jalan raya, di mana, mereka berlomba untuk mencari ‘bukaan’ dan memacu kendaraan mereka untuk segera tiba di rumah atau tempat berbuka di luar rumah sebelum beduk bertalu atau sirene menjerit menandai berakhirnya puasa di hari itu.
Apa yang dipaparkan oleh Muller merupakan sebuah kenayataan yang memang kita, saya, dan kawan-kawan alami dan temukan sejak masih anak-anak sampai dewasa di masas sekarang. Setiap masyarakat memang mempunyai tradisi masing-masing dan berbeda, tetapi secara umum fenomena atau ritual ibadah berpuasa, ber-tarawih, ber-witir, dan bershalat idul fitri sama dan seirama.
Berpuasa: Berburu ‘Bukaan’ dan ‘Ngadulag’
Kaitannya dengan puasa, secara umum masyarakat Muslim di Indonesia berpuasa dengan baik. Beberapa kelompok memang tidak melaksanakannya sebaik kelompok lain. Anak-anak dilatih untuk berpuasa dengan baik; mereka diajari oleh para orang tua untuk belajar melaksanakan ibadah puasa secara bertahap, dengan harapan bahwa mereka akan terlatih dan mampu melaksanakannya dengan baik ketika mereka sudah menjadi dewasa atau sudah menjadi mukallaf. Untuk memotivasi lebih baik anak-anak mereka, para orangtua bahkan menjanjikan kepada mereka pahala dunia atau hadiah dalam bentuk materi, sebuah praktik yang memang dikiritisi oleh beberapa kelompok umat Muslim, seperti mereka mengkritik praktk pemberian lembaran-lembaran rupiah pada perayaan hari kemenangan atau pada hari raya idul fitri, yang juga akan saya singgung di paparan berikutnya.
Ketika saya kecil, saya sudah memulai berpuasa sejak saya berusia 5 tahun. Pada saat itu, puasa saya masih ‘bolong-bolong’ atau ‘belang bentong’. Pada fase selanjutnya, pada saat saya berusia 7 tahun di mana saya sudah masuk sekolah dasar, puasa saya mulai sempurna sesuai dengan definisi puasa, ‘menahan rasa haus dan lapar’, dalam konteks atau sisi penggemblengan fisik dan kontrol diri untuk menahan kemarukan perut dan lidah untuk mengkonsumsi makanan dan minuman. Di kedua masa ini, paling tidak sampai saya menginjak usia 12 tahun, di mana saya sudah masuk fase belajar di Sekolah Menengah Pertama (SMP), saya menikmati praktik puasa dengan cara kami sebagai anak-anak. Pada siang hari kami tetap melaksanakan kegiatan kami, yaitu belajar dan bermain. Untuk perayaan buka puasa pada saat bedug maghrib tiba, pada siang hari dan atau sore kami biasa bergerilya untuk mendapatkan bekal berbuka. Meskipun ibu bapak kami tentu menyediakan menu berbuka, saya bersama kawan-kawan seringkali sibuk menyimpan apa saja yang kami temukan dalam aktifitas bermain kami, seperti buah yang terjatuh (buah jambu, mangga, dan bahkan buah asem) dan jajanan kecil dari warung yang kami rindukan untuk saya konsumsi.
Pada saat menjelang maghrib, ketika ibu bapak saya menyiapkan menu berbuka, saya biasanya diberi tugas membeli batu es di warung bi Utung, yang mempunyai depot es. Saya membawa sebuah rantang untuk menempatkan es yang saya beli. Kesempatan tugas membeli es ini saya gunakan untuk memangkas waktu tunggu saya mendengar bedug sebagai penanda waktu berbuka puasa. Untuk itu biasanya saya berangkat jalan kaki menuju warung bi Utung menjelang bunyi Kentongan, pertanda bedug dalam beberapa menit (biasanya 15 menit) akan dipukul oleh Merbot masjid Agung yang letaknya persis di depan samping rumah ibu bapak saya.
Kaitannya dengan tugas ini, bapk saya biasanya berkata dan berkelakar, ‘sok buru, tah jemput bedug-na, ambeh tereh datang. Balik ti meli es, pasti tah bedugna engke datang (yooo…. jemput bedug maghrib. Pulang beli es sampai rumah maghrib akan segera datang’). Memang, kentongan biasanya dibunyikan ketika saya di jalan menuju rumah dari warung bi Utung, dan bedug dipukul ketika ibu siap memecahkan batu es untuk dicampur ke dalam olahan es kelapa atau es buah bercampur roti sobek yang ibu beli di warung Bi Emin. Di saat inilah kebahagian dan kesenangan memenuhi hati kami, sebuah perasaan yang memang ditegaskan dalam sabda Rasulullah, yang diriwayatkan Bukhari, bahwa, “Bagi orang yang berpuasa akan mendapatkan dua kebahagiaan, yaitu kebahagiaan ketika dia berbuka dan kebahagiaan ketika berjumpa dengan Rabbnya.”
Kegiatan berpuasa bagi anak-anak di kampung saya memang merupakan kegiatan biasa dan dianggap tidak memberatkan. Kesenangan malah lebih lekat ketimbang penderitaan rasa lapar. Bahkan pada malam menjelang sahur, kegiatan menabuh bedug menambah kesenangan berpuasa. Pada pukul 02.00 (sesuai kesepakatan warga) anak-anak, baik laki-laki maupun perempuan berlomba mendatangi masjid untuk menabuh bedug dengan irama khas kampung kami atau yang kami sebut dengan’ ngadulag’. ‘Ngadulag’ ini merupakan kagiatan untuk membangunkan para orang tua (ibu-ibu) untuk menyiapkan menu sahur. Kami biasanya datang dari kobong karena terutama untuk beberapa malam dalam 3 minggu puasa kami bermalam di Kobong/ pondok pesantren ‘Nadhmiyah’.
Pukul 03.00 “ngadulag’ biasanya berakhir, dan anak-anak kembali ke rumah masing2 untuk bersantap sahur. Kesenangan tentu juga dialami saya ketika saya sudah menginjak usia belia dan dewasa dengan bentuk kesenangan berbeda, yang saya tidak akan paparkan di sini, kecuali satu ini saja, yaitu berkumpulnya kami di beberapa malam terakhir Ramadlan dimana kami pulang dari pengumbaraan masing-masing– saya mondok di Bogor, kakak pertama kuliah di Jakarta, kakak kedua mondok di Cianjur, adik laki-laki di Cariu, dan 2 adik masih tinggal bersama ibu bapak di rumah—.
Di momen kebersaman ini kami menikmati membangunkan adik laki-laki dengan cara ekstrim karena ia juga secara ekstrim sulit dibangunkan. Kami biasanya menggotongnya ramai-ramai atau menarik tikar atau kasurnya sekalian yang biasa terpasang di lantai menuju ke ruang makan. Kami lalu mendudukan adik laki-laki kami dan kami kumbah mukanya dengan air gayung. Meski ia akhirnya berusaha menyantap menu sahur, kedua matanya sulit sekali terbuka sempurna.
Tarawih dan Witir di Kobong Istri
Pada saat kami masih kecil, kami senang melaksanakan ibadah tarawih. Kami melaksanakannya di kobong kami atau di majelis istri dengan para ibu di kampung kami dan dengan imam perempuan, yaitu istri ajeungan kami. Kami melaksanakannya dengan formasi jumlah 20 rakaat tarawih dan 3 rakat witir; 10 kali niat tarawih dan 1 niat untuk 2 rakaat dan 1 niat lainnya untuk 1 rakaat witir.
Kami melaksanakannya secara tuntas, tidak melewatkan satu rakaat-pun. Namun, kami melakukannya dengan tingkah anak-anak. Kami sesekali saling menyikut, menyenggol, dan menggeser sejadah. Tentu itu bukan sikap atau tindakan yang dibolehkan, dan kami akan kena sanksi jika imam atau kakak santri mengetahui tingkah kami. Memang, kecuali tindakan kami berteriak kencang melafalkan ‘Aamiiin’, sikap-sikap tadi itu tidak seluruhnya bisa diketahui kecuali ada yang mengadukannya. Ahhh…, kami waktu itu mengetahui bahwa Allah tidak marah dengan sikap kami dan kami memang tidak bermaksud untuk mempermainkan praktik shalat. Kami hanya ingin membuat godaan-godaan saja yang kami bawa ke kegiatan ibadah shalat tarawih dan witir. Masih ingat, seorang ibu akan melirik ke arah kami dan mengucapkan ‘ssuutt’ untuk menghimbau supaya kami tenang.
Sebagai anak-anak yang memang belum bisa ber-khusyuk, kami juga merasa kesal jika imam membawakan ayat-ayat dengan irama lambat dan jika ia melambatkan gerakan shalat. Tak jarang kami ingin ikut kabur bersama para anak laki-laki yang melewati kobong kami dengan nyanyian-nyanyian ceria setelah mereka menyelesaikan shalat lebih awal dari jamaah kami. Gerakan kami menjadi tidak karuan, dan kami mulai celingukan, seakan ingin mempengaruhi imam kami untuk segera bergerak cepat menyelesaikan gerakan-gerakan shalat. Ahhh…, kami memang nakal dan keterlaluan, dan untuk itu sikap dan tindakan kami tentu bukan untuk ditiru. (IM)
Leave a Reply