Pusara berbungkus kain putih memanjang dengan hiasan bunga serta aroma wewangian yang sangat tajam menyeruak begitu saja dari dalam makam Sayyidah Rabi’ah Adawiyah. Ya, memori berziarah ke makam ibu para sufi ini masih saya rekam dengan baik hingga hari ini. Selain di Kairo, konon makam sayyidah Rabi’ah juga berada di Jerussalem dan Basrah. Entahlah, kabar tentang makam para awliya’ kerapkali simpang siur. Namun yang paling kuat menurut catatan sejarah adalah di Basrah.
Saya tak lagi peduli siapa sebenarnya jasad yang ada di makam ini. Yang menjadi perhatian saya tentu saja tentang perjalanan dan laku spiritual yang dijalani sayyidah Rabi’ah hingga ia mampu dijuluki sebagai ibunya para sufi setelah sayyidah Aisyah RA. Nama Rabi’ah begitu populer bagi ulama-ulama besar dalam sejarah awal Islam dan dituliskan dalam kitab-kitab besar mereka termasuk Harist ibn Asad Al-Muhasibi dalam ‘al-Qasd wa al-Rujūʿ ila Allah’, Al-Jahiz dalam bukunya Al-Bayān wa al-Tabyīn, Imam Qusayri dalam ‘Risalah Qusayriyyah’ hingga Imam Abu Hamid Al-Ghazali. Keterangan tentang Rabi’ah yang dianggap paling komplit adalah dari seorang hagiographer Persia asal Naishapur, Fariduddin Al-Attar dalam bukunya ‘Tadzkiratul Awliyā’ yang ditulis tahun 1117 M. Biografi yang ditulis Fariduddin Attar menjadi referensi terkuat yang banyak dirujuk oleh penulis-penulis lainnya terkait dengan Rabi’ah Adawiyyah.
Sayyidah Rabi’ah Adawiyyah Al-Qaysiyyah lahir di Basrah tahun 717-801 M. Ia lahir dari keluarga miskin dan merupakan anak keempat sehingga dinamakan Rabi’ah (keempat). Adawiyyah al-Qaysiyyah merujuk ke nama klan dan suku dari silsilah keluarga Rabi’ah. Ia menjadi yatim piatu ketika berumur 10 tahun. Rabi’ah kemudian diculik dan dijual dengan harga enam dirham. Dalam sebuah riwayat dikatakan Rabi’ah bekerja sebagai penyanyi dan penari, namun riwayat tersebut dianggap lemah.
Rabi’ah bekerja sebagai budak, ia bekerja sangat keras dari pagi hingga sore. Di malam hari Rabi’ah menghabiskan waktu dengan beribadah. Tak hanya sebatas sembahyang dan berdoa, ia juga bermunajat sepanjang malam dan hanya meluangkan waktu untuk tidur sebentar sebelum Subuh. Rabi’ah kemudian merdeka sebagai budak sesaat setelah majikannya secara tak sengaja melihat cahaya yang memancar di atas kepala Rabi’ah ketika ia bermunajat pada suatu malam. Sayyidah Rabi’ah kemudian memilih untuk hidup di padang pasir jauh dari kota Basrah, dan mulai beruzlah untuk menjadi ‘kekasih Allah’.
“Wahai Tuhanku. Sesudah aku mati, masukkanlah diriku ke dalam neraka. Dan jasmaniku memenuhi seluruh ruangan neraka. Sehingga tidak ada orang lain yang dapat dimasukkan kesana”.
“Wahai Tuhanku. Bilamana aku menyembah-Mu karena takut neraka, jadikanlah neraka kediamanku. Bilamana aku menyembahmu karena gairah nikmat surga, maka tutuplah pintu surga selamanya untukku. Tetapi, bila diriku menyembahMu karena Dikau semata, maka jangan larang diriku untuk menatap keindahanmu yang abadi”.
Petikan doa-doa Rabi’ah yang masyhur dan juga menggetarkan hati ini dikutip oleh beberapa sufi ternama. Di masa hidupnya Rabi’ah tak meninggalkan satupun catatan, namun murid-murid Rabi’ah kemudian mulai menyebarkan ajaran-ajaran spiritualnya yang dinilai sangat indah dan intim sebagai wujud kecintaannya kepada Tuhan. Rabi’ah Adawiyah tak hanya dikenal sebagai ibu para sufi agung, namun ia juga dikenal sebagai guru intelektual dalam ilmu agama. Murid-murid Rabi’ah datang dari berbagai penjuru, laki-laki dan perempuan.
Imam Ghazali menyebut Rabi’ah sebagai khawāshul khawas atau superistimewa, yaitu tingkat tertinggi setelah tingkat orang awam dan tingkat orang-orang istimewa (khawash). Tak jarang Rabi’ah mendapatkan karamah dari Allah dalam bentuknya yang bermacam-macam. Kewalian Rabi’ah didapatkan dari kecintaannya (mahabbah) terhadap Allah dengan sepenuh hati dan tak sekalipun tertarik terhadap kehidupan duniawi. Tingkat kezuhudan Rabi’ah dan juga pandangan-pandangan spiritualitasnya bahkan telah mempengaruhi sufi-sufi besar dalam Islam sebut saja Abdurrahman Al-Sulami, Sufyan Al-Tsauri, Hasan Basri, Fariduddin al-Attar, Abu Thalib Malik al-Bahgdadi dll.
Relasi spiritual yang sangat kuat antara Tuhan dan seorang perempuan nyatanya ada dalam diri Sayyidah Rabi’ah dan sederetan perempuan alim lainnya dalam sejarah Islam. Perempuan juga memiliki ruang, posisi dan kesempatan yang sama di mata Tuhan. Tak ada yang mampu membatasi pun menciptakan sekat-sekat spiritualitas atas kecintaan seorang hamba kepada Tuhan-nya. Ibnu Arabi pernah mengatakan, “Siapa saja yang ingin menjadi sufi hendaknya menjadi perempuan dulu. Maksudnya, hatinya harus lembut dan didominasi kasih sayang”.
Kisah Sayyidah Rabi’ah seolah menjadi oase di tengah maraknya hegemoni spiritualitas yang kerapkali hanya disematkan kepada laki-laki, seolah perempuan tak punya kekuasaan penuh atas dirinya dan Tuhan-nya. Dalam spiritualitas dan dalam beragama perempuan tetaplah bertanggungjawab atas dirinya sendiri, perempuan mampu berbicara langsung kepada Tuhannya tanpa perantara tanpa sekat. Yang ada hanyalah Aku, Dia, Kita dan Sang Maha Cinta.
Karena dalam perjalanan spiritual Tuhan tidak mengenal hamba laki-laki dan perempuan. Ia hanya mengenali dan melimpahkan rahmah mereka yang ingin selalu dekat dengan-Nya. Tuhan tak lagi peduli apakah ia lelaki atau perempuan. Ia hanya mencintai mereka yang berusaha memberikan cinta tulus kepada Rabb-Nya, Sang Pemilik Cinta.
Wallahu A’lam.
Leave a Reply