Sejarah religi nusantara menyimpan catatan penting mengenai tokoh abdi abadi dalam pewayangan, bernama punakawan. Peran punakawan yang lekat pada banyolan, terbukti menjadi media transparan menyelami luasnya spektrum religi masyarakat. Dus masyarakat -penganut agama formal maupun bukan- sadar maupun tidak, dapat berinstropeksi melalui karakter yang dibawa punakawan.
Punakawan memiliki versi yang berbeda di masing-masing daerah laik adanya wayang Jawa, Sunda, dan Bali. Jika di pewayangan Jawa, punakawan adalah pendamping ksatria sekaligus rakyat jelata yang merupakan representasi peran walisongo di masyarakat Jawa. Di pewayangan Bali, penikmat punakawan akan lebih tertuju pada karakternya untuk mengidentifikasi etika keberagamaan di masyarakat.
Tualen, Merdah, Sangut, dan Delem, merekalah punakawan Bali. Tetap dengan tampang yang sama sekali tidak keren -serupa Semar, Gareng, Petruk, Bagong. Seperti punakawan Jawa, sekalipun abdi dan tidak keren, mereka membawa ajaran kebijaksanaan. Barangkali inilah inna akramakum ‘inda allaahi atqaakum (QS. 49:13). Bahwa yang lebih utama dari apapun untuk dinilai di haribaan tuhan adalah ketakwaan, yaitu laku kebijaksanaan dalam bahasa punakawan.
Punakawan memiliki peran yang seolah-olah tidak penting namun begitu dibutuhkan bagi kehidupan sehari-hari (Hermawan Kartajaya, 2009). Ayu Utami mengatakan punakawan adalah kenusantaraan, yang tidak bisa diserap dalam kategorisasi empat kasta (ajaran Hindu). Sekalipun mengemban nilai ksatriya-an, mereka menolak kasta. Suatu kemampuan menerima sekaligus menolak. Kalau bahasa sufi sih sebuah paradoks.
Tidakkah yang demikian mengingatkan kita pada kisah Nabi saw. ketika turut membangun masjid pertama dalam sejarah Islam? Dengan tangannya sendiri, sang Kekasih Allah memindahkan batu, menggali tanah, dan meletakkan pondasi bersama kaum Muhajirin dan Anshar demi berdirinya rumah ibadah itu. Nabi membaur tak sedikit pun bersikap untuk dianggap agung atau lebih tinggi dari siapapun. Inilah karakter yang dibawa oleh Merdah, salah satu anggota punakawan Bali.
Nampaknya, karakter yang dibawakan Merdah adalah pemahaman keberagamaan yang dijunjung tinggi dalam budaya bangsa Indonesia. Secara umum, masyarakat Bali menyebutkan Merdah merupakan karakter yang memiliki sifat toleransi tinggi, sehingga bisa berinteraksi dengan siapa saja. Demikian animisme dan dinamisme (agama lokal) bersinkretis dengan Hindu-Buddha (Pantheisme) lalu masuklah Islam dan beragam agama monoteis bersama “Al-Muhafadhotu ‘ala qodimis sholih wal akhdzu bil jadidil ashlah”, memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil tradisi baru yang lebih baik.
Demikian cara beragama masyarakat Indonesia sedari purwa adalah tepa salira (tepa slira) sesuai budaya bangsa ini -sama sekali tidak baru maupun berubah- bahkan setelah Islam lahir sekitar abad pertengahan lalu. Cara beragama yang mana sesama makhluk berusaha merasakan (menjaga) perasaan (beban pikiran) yang lain sehingga tidak menyinggung perasaan atau dapat meringankan beban orang lain, adalah laku ketaatan seluruh agama.
Jika Merdah ada di kubu Pandawa, ada Delem dan Sangut di kubu Kurawa. Delem ini dapat kita identikkan kepada arogansi keberagamaan. Normatifitas agama yang mengakar adalah konsekuensi logis atas arogansi keberagamaan. Pemilahan atas Islam akademis dengan islam yang berkembang di desa. Serupa anggapan Islam harus khilafah, Kristen adalah Calvinis, dan seterusnya. Sikap fanatisme agama yang membawa budaya impor (saja), atau dalam bahasa Johanes Adrian Titaley ‘tanpa menjadikan Indonesia sebagai konteks berteologi’, adalah kelambanan beragama.
Kalau kata Gus Dur sih Islam itu datang bukan untuk mengubah budaya leluhur kita jadi budaya Arab. Bukan untuk ‘aku’ menjadi ‘ana’, ‘sampeyan’ jadi ‘antum’, ‘sedulur’ jadi ‘akhi’. Kita pertahankan milik kita. Kita harus serap ajarannya, bukan budaya Arabnya.
Kalau kata pewayangan Bali, yang demikian adalah serupa Delem. Di hadapan raja serta kesatria, Delem selalu memperlihatkan ketundukan. Namun, sifat yang berbeda bakal diperlihatkan oleh Delem ketika berhadapan dengan orang biasa atau orang dengan usia lebih muda. Saat itu, Delem bakal menunjukkan sifat aslinya yang sombong dan congkak. Kok, jadi teringat Kiai saya berladang di kampung.
Miris terasa dewasa ini kecongkakan semakin eksis, semakin deras terjadi kasus intoleransi di berbagai daerah. Mulai dari pembakaran atau penolakan rumah ibadah, pengusiran keluarga non-muslim, hingga bom bunuh diri sebagai laku jihad di negeri ‘kafir’. “Terlalu banyak Muslim yang gagal untuk memahami Islam, yang mengajarkan seseorang untuk menjadi lunak terhadap orang lain dan untuk memahami sistem nilai mereka, mengetahui bahwa ini ditoleransi oleh Islam sebagai agama” (Abdurrahman Wahid).
Delem yang demikian selalu hadir bersama Sangut cum abdi Kurawa. Ini menarik bahwa Delem dengan sikap congkaknya selalu bersanding dengan Sangut yang dikenal jenaka. Walaupun berada di pihak antagonis, namun sifat Sangut tidak sedikitpun menampakkan hal negatif. Ia sangat polos, jenaka, patuh dengan ajaran agama, mengutamakan kebenaran, dan suka melantunkan lagu-lagu suci.
Dalem dan Sangut menyampaikan pesan bahwa Ekstremisme agama sudah selayaknya disikapi dengan easy going, tanpa perlu marah tetapi teguh (prinsip). Pengajian-pengajian di desa dengan Kiai super lucu yang selalu sesak dihadiri masyarakat adalah gambaran nyata keberagamaan yang menyenangkan, sembari tetap eling lan waspada terhadap segala wujud arogansi beragama. Dan Sangut ternyata saudara yg hadir dalam pengajian tersebut.
Terakhir Tualen, menurut pewayangan Bali, ialah Semar dalam wayang Jawa. Penulis tidak memiliki kemampuan menjelaskan perannya. Peran yang selalu hadir bersama nasehat bijak kepada Merdah, Sangut, dan Delem -dan tentu kepada seluruh penonton pertunjukkan. Namun barangkali bisa melihat perannya dari tutur Imam al-Ghazali dalam masterpeace-nya Ihya Ulumuddin mengenai empat golongan manusia.
Pertama, Rajulun Yadri wa Yadri Annahu Yadri, seseorang yang tahu bahwa dirinya tahu. Ia mungkin saja Merdah. Kedua, Rajulun Yadri wa Laa Yadri Annahu Yadri, seseorang yang tidak tahu bahwa dirinya tahu. Ketiga, Rajulun Laa Yadri wa Yadri Annahu Laa Yadri, seseorang yang tahu bahwa dirinya tidak tahu. Ia mungkin saja adalah Sangut. Keempat, Rojulun Laa Yadri wa Laa Yadri Annahu Laa Yadri, seseorang yang tidak tahu kalau dirinya tidak tahu. Ia mungkin saja Delem. Maka dimana letak Tualen? Kita boleh bertabayyun sesuai keyakinan masing-masing.
Leave a Reply