“Di sana sudah buka puasa belum?”
“Dereng, pak. Ten mriki taseh jam 10 pagi.”
Neswa.id-Percakapan begini, dan yang senada, barangkali jadi percakapan paling sering dialami oleh saya dan teman-teman pelajar Indonesia yang sedang menjalani Bulan Ramadan jauh-jauh di Maroko. Belum lagi kalau kami ikut kegiatan kajian online yang pesertanya dari manca-negara tapi berbasis di Indonesia. Bisa-bisa, selain kajian, kami sekalian menguji iman sebab teman-teman di sana menyimak kajian di depan kamera sambil menikmati jajanan atau minuman segar sehabis tarawih. Cerita di atas baru satu dari sekian kisah yang kami, pelajar dan perantau di Maroko rasakan di bulan puasa. Selain kangen rumah dan suasana pondok, kami juga harus berdamai dengan beberapa hal lain yang berbeda dari suasana posonan di tanah air.
Menjalani puasa di Maroko, setidaknya ada beberapa perbedaan yang saya alami, di antaranya :
Pertama, tauqit. Setiap tahun menjelang Bulan Ramadhan, warga Maroko dan beberapa negara timur tengah lainnya harus beradaptasi dengan pergantian tauqit. Maksudnya, pergantian penerapan jam yang awalnya GMT+1 menjadi GMT. Perubahan ini tidak sekadar angka. Kami harus beradaptasi dengan kegiatan sehari-hari yang dimulai lebih siang dan, yang paling sulit, mencari waktu untuk berkomunikasi dengan orang-orang di Indonesia. Sebab perubahan tauqit berakibat juga pada perubahan jarak waktu antara Maroko dan Indonesia yang awalnya hanya berbeda enam jam menjadi tujuh jam. Tentunya masih ditambah keharusan berkali-kali menjelaskan hal ini pada orang-orang yang kami hubungi.
Kedua, kebiasaan berbuka puasa dan jam operasional toko. Kebiasaan ngopi orang Maroko setengah berhenti di Bulan Ramadhan. Warung-warung kopi yang berjajar di pinggir jalan tutup. Berbeda dengan di Indonesia, warung kopi dan restauran di sini tidak buka setengah tirai di siang hari. Jam buka mereka pindah sebentar sebelum maghrib dan malam hari. Kadang-kadang beberapa warung kopi juga menambah menu jualan mereka dengan takjil-takjil atau kue-kue manis yang dijual menjelang berbuka, menjadi saingan toko-toko kue kecil di sekitarnya.
Kebiasaan bukber (buka bersama) di luar juga tidak berlaku bagi orang Maroko. Selain warung yang buka lebih telat dari biasanya, kebanyakan warung dan restoran tutup di waktu maghrib sebab mereka mengedepankan berbuka di rumah bersama keluarga. Alih-alih buka bersama yang harus reservasi dan antri, restoran dan warung sepi. Isinya hanya beberapa pelayan yang baru persiapan buka toko di waktu Isya’. Meskipun masih ada beberapa restoran yang buka di waktu berbuka dan punya menu special khusus paket berbuka. Beberapa mall dan toko juga melakukan adaptasi jam buka dengan menambah jam operasional di malam hari dan tutup setengah di waktu tarawih.
Ketiga, tarawih di dua waktu. Hal lain di Maroko yang berbeda dengan kebiasaan di Indonesia adalah jam tarawihnya. Tarawih di kebanyakan masjid-masjid Maroko biasanya dibagi menjadi dua waktu. Di satu sisi, jamaah tarawih dilaksanakan setelah jamaah sholat Isya’ sebanyak empat salam. Surat yang dibaca juga bukan surat-surat di Juz ‘Amma, melainkan urutan dari awal Alquran. Di sisi lain, menyempurnakan jumlah rakaat sholat tarawih dan jamaah sholat witir dilakukan sebelum subuh. Masjid-masjid akan dibuka sekitar dua jam sebelum waktu subuh dan jamaah sholat dilaksanakan sekitar satu jam sebelum waktu subuh. Kegiatan di masjid ini kemudian disempurnakan dengan pembacaan Alquran bersama-sama setelah jamaah sholat subuh.
Di samping itu, kami juga berusaha berdamai dengan homesick dan kerinduan pada takjil-takjil khas jalanan di Indonesia. Meskipun demikian, tanah rantauan tidak pernah lupa memberi kami beberapa potong cerita semanis takjil untuk oleh-oleh pulang nanti.
Rabat, Maroko, Ramadhan 1444 H. (IM)
Leave a Reply