, ,

Prenuptial Agreement dan Pencegahan KDRT Belajar dari Kisah Sahabat Perempuan Atikah binti Zaid

/
/


Prenuptial Agreement atau seringkali disebut dengan perjanjian pra nikah adalah perjanjian yang dibuat oleh calon mempelai sebelum mereka melaksanakan pernikahan secara sah. Perjanjian pra nikah ini tentu saja akan mengikat kedua mempelai selama mereka terikat dalam pernikahan, dan akan memberikan perlindungan hukum ketika pernikahan tersebut harus berakhir baik karena kematian maupun perceraian. Biasanya perjanjian pra nikah ini terkait dengan pembagian harta kekayaan masing masing ataupun terkait dengan harta pribadi masing-masing, sehingga jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan, maka tidak akan ada tuntutan di kemudian hari.

Di Indonesia, prenuptial agreement ini dilindungi secara hukum yang tertuang di dalam Undang undang perkawinan  nomor 1 tahun 1974  pasal 29 ayat 1 yang berbunyi “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga, sepanjang pihak ketiga tersangkut”.  Namun demikian perjanjian pra nikah ini masih dianggap tabu bagi sebagian besar masyarakat kita, karena dianggap mendoakan terjadinya perpisahan setelah dilaksanakan pernikahan secara sah. Padahal kalau kita membaca sejarah Islam, praktik prenuptial agreement sudah pernah terjadi pada masa sahabat Nabi.

Adalah Atikah binti Zaid, seorang sahabat perempuan yang pernah melakukan perjanjian pra nikah ketika dilamar oleh khalifah Umar bin Khatab. Atikah binti Zaid adalah putri dari Zaid bin Amr bin Nufail, seorang Quraisy yang cukup terpandang pada masanya. Atikah dikenal sebagai perempuan yang pandai bersyair dan sangat cantik di kalangan masyarakat Arab saat itu. Sebelum menikah dengan Umar bin Khatab, Atikah adalah istri dari Abdullah bin Abu Bakar yang wafat sebagai syahid dalam perang Thaif.

Setelah ditinggalkan oleh Abdullah dan menjadi janda, Atikah dilamar oleh Umar bin Khatab. Lamaran Umar tersebut tidak langsung diterima oleh Atikah, karena Atikah mengajukan persyaratan berupa perjanjian pra nikah yang berisikan dua hal, yakni pertama, jangan melakukan kekerasan fisik kepada dirinya, dan kedua, tidak melarang sang istri untuk melaksanakan sholat di masjid. Perjanjian tersebut akhirnya disepakati oleh keduanya sehingga Atikahpun menikah dengan Umar bin Khatab. Menurut beberapa sumber sejarah, Umar adalah sosok sahabat Nabi Saw yang sangat tegas, namun dia seringkali memandang inferior terhadap perempuan. Umar adalah sahabat Nabi yang bersuara lantang menanyakan kepada Nabi Saw ketika turun kebijakan hak waris bagi perempuan . Umar juga pernah melarang perempuan untuk sholat di masjid. Karenanya Atikah mengajukan persyaratan tersebut sebelum menerima lamaran Umar.

Setelah Umar wafat dan Atikah kembali menjadi janda, datanglah Zubair bin Awwam melamar Atikah. Sebagaimana kepada Umar, Atikah juga mengajukan persyaratan berupa perjanjian pra-nikah yang sama kepada Zubair. Sebelumnya, Zubair bin Awwam pernah menikah dengan Asma binti Abu Bakar, tetapi keduanya bercerai. Menurut beberapa riwayat, salah satu penyebab perceraian keduanya adalah karena prilaku Zubair yang keras sampai pernah memukul Asma di hadapan anak-anaknya. Setelah bercerai dengan Zubair, Asma memilih tetap menjanda hingga akhir hayatnya, sebaliknya Zubair memilih untuk menikah kembali. Pernikahan Zubair dan Atikah ini tidak berlangsung lama, karena Zubair akhirnya menjadi syahid karena meninggal dalam perang jamal sehingga Atikah kembali menjadi janda.

Kisah dari shahabiyah Atikah binti Zaid diatas menunjukkan bahwa perjanjian pra-nikah menjadi salah satu cara yang cukup efektif untuk mecegah adanya kekerasan di dalam rumah tangga. Karena pada saat itu Atikah mendapat lamaran dari seseorang yang memang dikenal memiliki watak yang keras seperti Umar bin Khatab dan Zubair bin Awwam. Dalam konteks saat ini, isi perjanjian pra nikah ini sangat fleksibel tergantung pada kesepakatan calon mempelai selama tidak bertentangan dengan hukum agama, negara dan norma kesusilaan. Perjanjian pra nikah ini dilaksanakan di KAU atau tempat pernikahan dicatatkan. Melalui perjanjian pra nikah ini diharapkan bisa memberikan perlindungan baik kepada pasangan suami istri maupun kepada anak-anak terutama jika terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Demikianlah kisah sahabat perempuan Atikah binti Zaid, yang kemudian dikenal sebagai istri dari para syuhada ini. Prenuptial agreement atau perjanjian pra nikah yang dilakukan oleh Atikah dan calon suaminya saat itu menunjukkan bagaimana perempuan telah memiliki posisi yang setara di dalam masyarakat Arab. Perempuan bahkan juga bisa mempengaruhi kebijakan yang dibuat saat itu, dan meskipun dalam bentuk dan format yang berbeda dengan konteks saat ini, perjanjian pra-nikah yang terjadi pada masa sahabat tersebut, merupakan salah satu bentuk perlindungan dan pencegahan bagi perempuan dari ancaman kekerasan di dalam rumah tangga.

Sumber: kitab Thabaqat al-Kubra karya Ibn Sa’ad



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *