Judul Buku : Ulama Perempuan Madura (Otoritas dan Relasi Gender)
Pengarang : Hasanatul Jannah
Penerbit : Ircisod
Cetakan, Tahun terbit : Pertama, Oktober 2020
Dimensi buku : 344 hlm.
ISBN : 978-623-7378-83-9
Sebutan ulama dalam banyak komunitas muslim di dunia selama ini banyak ditujukan untuk laki-laki dan tidak untuk perempuan. Untuk menyebut perempuan sebagai ulama harus ditambah kata “perempuan” sehingga menjadi “ulama perempuan” atau “perempuan ulama”.
Kenyataan ini jelas memperlihatkan bahwa perempuan dianggap tidak layak disebut ulama. Dengan kata lain, mereka dianggap tidak memiliki kapasitas intelektual, keilmuan, moral, dan keahlian yang lain.
Pandangan semacam ini ternyata juga dianut oleh berbagai kebudayaan di dunia. Bahkan para filsuf menempatkan perempuan sebagai makhluk bodoh dan tidak layak menempati posisi kepemimpinan di ruang mana pun. Ini merupakan salah satu fakta peradaban pratriarkis yang telah berlangsung berabad-abad.
Quraish Shihab, misalnya, menjelaskan bahwa perempuan dalam peradaban tersebut dipandang sebagai manusia kelas dua, subordinat, tidak cerdas, terlarang, untuk berada pada posisi menafsirkan, mengelaborasi, memutuskan, menentukan, dan mengimplementasikan hukum-hukum agama “perempuan”. Bahkan, Plato, seorang filsuf besar, menempatkan kedudukan terhormat laki-laki pada kemampuannya memerintah, sementara posisi terhormat perempuan terletak pada kemampuannya melakukan pekerjaan sederhana atau hina dengan berdiam tanpa bicara.
Berbicara soal perempuan memang tidak ada habisnya. Topik perempuan selalu menjadi tema hangat untuk diperbincangkan dan selalu mendapat perhatian besar di seluruh dunia. Meski demikian, faktanya selama ini tidak ada penelitian yang melakukan kajian secara mendalam mengenai perempuan khususnya dalam hal ini ulama perempuan (nyai). Mungkin karena nyai dipandang sama dengan perempuan-perempuan lainya. Beda dengan penelitian yang berkaitan dengan kiai, begitu mudah ditemui.
Di tengah minimnya kajian/penelitian mengenai sosok seorang nyai, Hasanatul Jannah menulis buku yang menjadi sangat amat berarti, buku ini di tulis selain sebagai bentuk kekagumannya pada beberapa nyai di Madura, buku ini sekaligus melemahkan pandangan-pandangan partiarki.
Menurutnya, nyai tidak hanya sekedar menjadi pendamping kiai belaka di dalam dunia pesantren. Akan tetapi nyai punya peran aktif di dalam membangun pesantren, berdakwah, dan juga menjadi tumpuan masyarakat untuk memecahkan pelbagai persoalan sosial keagamaan.
Nyai Madura, merupakan elite agama yang berada dalam lapisan sosial teratas, kedudukannya di tengah-tengah keluarga dan masyarakat sangat krusial dalam menegakkan martabat dan kehidupan rumah tangga. Tanggung jawab domestik dan publiknya menuntut keahlian tersendiri sebagai bentuk kelebihan dalam melakukan “bargaining position” dengan kiai. Nyai juga berkontribusi cukup dominan dalam membangun karakter kiai sehingga eksistensi kiai dengan nyai saling menopang.
Buku ini fokus pada kiprah empat sosok Nyai di Madura, antara lain Nyai Aqidah Usmuni, Nyai Khairiyyah, Nyai Sifak Tabroni, dan Nyai Muthmainnah. Nyai Aqidah Usmani, misalnya, di Kabupaten Sumenep merupakan satu-satunya nyai yang ikut membantu mengembangkan pesantren, selain itu juga mendirikan, memimpin dan mengelola pesantren sejak tahun 1985 sampai saat ini. Beliau juga mendirikan pendidikan formal mulai dari Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) sampai perguruan tinggi. Santrinya pun mencapai 500-an, selain itu yang menjadi unik adalah nama pondok pesantrennya dinisbatkan kepada Aqidah Usmani yakni namanya sendiri, sebab biasanya nama pesantren cenderung dilekatkan kepada nama kiai atau suami, ayah atau kakek.
Menurut Hasanatul Jannah, dalam realitas sosial keagamaan di Madura, kehadiran nyai di tengah-tengah masyarakat selalu dinanti dan diharapkan kehadiranya, sebagaimana Nyai Syifak Sampang dan Nyai Mutmainnah Bangkalan. Sosok nyai tersebut dipandang sebagai pemandu dalam mengarahkan tujuan hidup masyarakatnya sehingga segala aktivitas dan petuahnya senantiasa menjadi panutan. Kontribusi ulama perempuan yang dipraktikkan oleh para nyai tersebut menunjukkan bahwa mereka menjadi pemegang otoritas tanpa adanya unsur keberatan dari sang kiai.
Gambaran peran penting nyai Madura tersebut di atas menunjukkan eksistensi nyai Madura khususnya, dan representasi ulama perempuan Indonesia pada umumnya. Otoritas nyai Madura sebagian mencerminkan substansi keterlibatan dan peran perempuan sebagaimana pada masa Nabi Muhammad Saw., meskipun prosentase dan bentuknya tidak sama karena perbedaan ruang dan waktu.
Leave a Reply