Sektor pertanian, menurut data Badan Pusat Statistik/BPS (2019) masih merupakan sektor yang paling banyak menyerap lapangan pekerjaan sebesar 27,33 persen meski terus mengalami penurunan setiap tahunnya. Dan, 40 persen dari aktivitas pertanian di Indonesia menurut pengamatan PRISMA dilakukan oleh perempuan.
Adanya ketidakseimbangan pembagian kerja, partisipasi kuantitatif dan kualitatif antara perempuan dan laki-laki dalam berbagai aktivitas pembangunan di sektor agraria, serta kuasa atas akses dan kontrol sumberdaya maupun manfaat pembangunan masih menjadi tugas besar dalam literatur kajian gender.
Minimnya Akses Bagi Petani Perempuan
Salah satu faktor penyebab semakin menurunnya sumber daya manusia (SDM) di sektor pertanian adalah tidak dilibatkannya perempuan dalam ranah pengambilan keputusan dan jauhnya indikator kesejahteraan bagi petani perempuan. Padahal, hampir seluruh proses pertanian dilakukan oleh perempuan seperti; penyiapan bibit, penanaman bibit, perawatan sampai masa panen tiba. Namun, laki-laki menjadi fokus utama dalam strategi bisnis pertanian nasional dalam berbagai hal mulai dari penjualan peralatan, penjualan bahan mentah, sampai pada ketersediaan pelatihan untuk meningkatkan kemampuan petani yang sangat minim melibatkan perempuan.
Selain itu, lahan pertanian yang mengalami pergeseran setidaknya 60 ribu (ha) per tahun (Biro Humas dan Informasi Publik Kementerian Pertanian) yang beralih menjadi pemukiman, pabrik, jalan tol, dan fasilitas lainnya menjadi faktor pendorong terjadinya pergeseran profesi dari petani menjadi non petani bahkan di usia produktif. Kondisi yang demikian ini tentu mengancam ketersediaan pangan Indonesia serta berdampak terhadap hilangnya profesi petani dalam jangka panjang jika tidak ditangani dengan benar. Dan tentu saja, jumlah kemiskinan yang semakin luas, terutama korban yang terdampak langsung yakni kaum tani.
Meskipun pasar, perusahaan, maupun lembaga lain di sektor pertanian memegang peranan penting dalam mengurangi kemiskinan dengan meningkatkan ketahanan pangan. Namun, ketahanan pangan tidak dapat meningkat jika petani luput dari perhatian pemerintah. Terutama perempuan, sebagai aktor yang berperan penting dalam melakukan kerja-kerja pertanian. Itu sebabnya, pembangunan sektor pertanian dan peningkatan kapastas petani mendesak agar segera dilakukan.
Setiarso (2007) dalam argumennya memposisikan pentingnya pengembangan SDM yang berkualitas berbasis pengetahuan sebagai prasyarat pembangunan yang unggul dan siap bersaing di abad 21. Sedangkan akses informasi pertanian Indonesia sangat minim diperoleh para petani perempuan skala kecil – menengah. Hal tersebutlah yang memicu lemahnya kemampuan berinovasi kaum petani perempuan dalam menghadapi dan mengatasi setiap persoalan yang terjadi.
Ciri-Ciri Kemiskinan Kaum Petani
Pertanian skala kecil – menengah adalah dominasi sektor pertanian di Indonesia. Skala pertanian yang kecil – menengah selalu identik dengan para petani yang taraf hidupnya memasuki kategori miskin. Kemiskinan dicirikan dengan rendahnya kualitas sumberdaya manusia, rendahnya penguasaan asset produktif seperti lahan pertanian, dan rendahnya aksesibilitas masyarakat terhadap sumber-sumber permodalan dan peluang-peluang ekonomi. Sebab yang demikian itulah, pembangunan dalam sektor pertanian harus berorientasi pada peningkatan produktivitas dan kesejahteraan kaum petani. Dan kondisi ini tentu sebagian besar dialami dan sangat berdampak bagi petani perempuan.
Banyak aspek yang masih harus dibenahi di sektor pertanian. Pembangunan pertanian secara berkelanjutan dapat terealisasi jika SDM petani perempuan juga dibangun dan dibenahi. Kapasitas petani perempuan yang masih rendah menyebabkan minimnya inovasi dalam sektor pertanian. Hal tersebut nampak terlihat dari kurang optimalnya petani perempuan memaksimalkan lahan di pekarangan rumah yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan dapur sehari-hari serta rendahnya inovasi untuk menghasilkan produk turunan dari hasil panen lahan pertanian mereka.
Realita di atas mengharuskan adanya upaya peningkatan kapasitas bagi petani perempuan untuk dapat berinovasi. Hal ini diperlukan agar petani perempuan dapat membuat olahan produk turunan dari hasil pertanian, lebih-lebih ketika masa panen raya tiba. Peningkatan kapasitas petani perempuan dapat mulai dilakukan dengan memberi pelatihan dan pendampingan.
Perlunya Wirausaha Tani
Rendahnya pemahaman dan kesadaran akan pentingnya organisasi bagi peningkatan kekuatan dan kapasitas petani perempuan masih amat rendah. Hal ini menyebabkan organisasi yang sudah ada pun tidak mampu dikembangkan dengan baik bagi kelompok usaha tani kaum perempuan. Padahal, untuk meningkatkan kapasitas petani perempuan memerlukan wadah melalui organisasi kemasyarakatan.
Selain itu, rendahnya keterampilan para petani perempuan tidak memadai untuk membuat olahan hasil panen dan mengembangkannya. Dampaknya, program-program yang ditujukan guna peningkatan kapasitas pun tidak optimal karena berbagai komoditas hasil pertanian belum dapat diolah. Komoditas sayuran seperti cabe, tomat, ketela, sayuran hijau dan lainnya hanya disetorkan kepada tengkulak. Petani perempuan tidak memiliki kapasitas untuk meningkatkan nilai jual komoditas hasil panen. Hal ini menjadi persoalan klasik di sektor pertanian terutama ketika musim panen raya. Untuk dapat berinovasi guna menghasilkan produk turunan hasil panen, petani perempuan membutuhkan kapasitas pengetahuan, keterampilan, dan sikap mental yang mendukung wirausaha pertanian. Seperti misalnya membuat olahan ketela menjadi berbagai macam jajanan keripik, roti, ataupun wingko. Begitu juga dengan cabai diolah menjadi saos, atau bubuk cabai kering. Sama halnya dengan tomat yang dapat dijadikan berbagai jenis olahan saos, manisan, ataupun kurma tomat. Dan sayuran hijau yang dapat diolah menjadi nugget sayur, salad, dan lain sebagainya. Cara-cara seperti ini dapat memberikan nilai ekonomi tambah bagi kaum petani perempuan alih-alih hanya menyetorkan hasil panen kepada para tengkulak atau menjualnya dengan harga sangat murah.
Leave a Reply