, ,

Pesantren dan Santri; Dinamika dan Sistem Pembelajaran

/
/


“Ustadzah, mudabbirah Laila mariidhah!”, dengan nada teriak seorang santriwati tergopoh-gopoh mendatangi ruangan para ustadzah, di suatu sore jelang maghrib. Tak lama kemudian, dua ustadzah mengikuti santriwati ke arah yang dimaksud. Mereka berucap salam lalu masuk ke salah satu kamar para santriwati di mana mudabbirah Laila (santriwati pembina) yang menjadi pemimpin di asrama situ sedang terbaring setengah pingsan. Ya, ia setengah pingsan karena masih tampak menggerakkan mata dan mengernyitkan dahi, seakan menahan rasa sakit di perut. Dua ustadz sebenarnya  juga datang untuk memeriksa keadaan, namun kemudian mundur meninggalkan ruangan ketika mereka mengetahui dua ustadzah sudah berada di sana. Dua ustadzah (Nis dan Me) lalu mendekat dan duduk, menanyakan apa yang dirasakan Laila. Mudabbirah Laila tidak menanggapi dengan kata-kata, tetapi dengan kernyitan dahi yang semakin tegas. “Sepertinya Laila sakit maag, pernah beberapa kali ia mengeluh”, gumam satu ustadzah Me. Para santriwati yang duduk mengelilingi mudabbirah Laila merespon dengan anggukan dan wajah prihatin. Tidak lama, Laila bergumam, dan mengucapkan kata ‘perih dan nyeri’ sambal menekan perutnya. “Anaa fii khair, la ba’sa”, bisik Laila. Beberapa usapan minyak angin yang dilakukan oleh ustadzah Nis membuatnya mampu membuka mata dan meredakan gelisah para santriwati dan ustadzah.

            Laila merupakan satu di antara ratusan santri di Pondik Pesantren Daarul ‘Uluum, Bantar Kemang Bogor. Ia santri kelas 2 Aliyah dan menjabat sebagai mudabbirah sejak ia duduk di kelas 1 Aliyah. Ia masuk pondok sejak ia menempuh pendidikan tingkat Tsanawiyah. Laila merupakan santri ‘nyeleneh’. Ia masuk Pondok Daarul ‘Uluum sebagai salah satu muqiimaat di pondok dan bukan dari kelompok muta’allimaat. Ia datang ke Bogor untuk menjadi pelajar di Madrasah Tsanawiyah Negeri Padjajaran Bogor. Ia dibawa oleh saudara-saudaranya dari kampung yang belajar di Pendidikan Guru Agama Negeri Bogor yang juga nyantri di Pondok Daarul ‘Uluum. Namun, seiring dengan perubahan sistem pembelajaran di pondok, seperti akan disinggung di bawah, dan ketika Laila duduk di kelas 2 Tsanawiya, ia menjadi santri muqiimat sekaligus muta’allimat. Hal inilah yang menyebabkan ia harus mengeluarkan ekstra tenaga dan waktu untuk menjalani kegiatannya sebagai santri sekaligus pelajar di pondok dan sebagai pelajar di luar pondok.

Sistem dan Materi Pembelajaran dan Kitab Kuning

Pondok pesantren Daarul ‘uluum merupakan salah satu pesantren yang menerapkan sistem pendidikan modern, mengadopsi kurikulum negara dengan perpaduan kurikulum khusus pondok. Pondok ini didirikan oleh seorang kyai terkenal di wilayah Bogor, bernama Kyai Syuja’i. Dituturkan secara luas, bahwa ada tiga kyai terkenal di Bogor, dua di antaranya adalah Kyai Makshum dan Kyai Syuja’i. Ketika didirikan, pondok ini dberi nama Pondok Syuja’iyah.

            Pondok Syuja’iyah didirikan untuk menampung para santri yang sebenarnya mengikuti pembelajaran di sekolah-sekolah di sekitar Bogor. Para pelajar di beberapa sekolah tingkat Tsnawiyah dan Aliyah datang ke pondok Syuja’iyah untuk menjadi santri dan memperoleh pembelajaran agama lebih mendalam. Para pelajar yang kemudian menjadi santri ini dinamakan santri muqiimiin atau muqiimaat, di mana mereka mempunyai kegiatan pendidikan di luar pesantren dan sekadar mengikuti pembelajaran kitab kuning  (fiqh) di beberapa waktu saja, yaitu di pagi dan malam hari. Sementara di siang hari mereka mengikuti pendidikan formal di sekolah mereka masing-masing, mayoritas di Pendidikan Guru Agama (PGA) yang beralamat di Jl. Pajajaran Bogor. Sekilas tentang PGA, lembaga pendidikan ini merupakan lembaga yang diminati banyak pelajar dan mempersiapkan para pelajar untuk menjadi guru agama. Lembaga pendidikan ini sudah tidak lagi dipertahankan seiring dengan kebijakan bahwa menjadi guru memerlukan pendidikan yang lebih tinggi, yaitu pendidikan di perguruan tinggi yang disediakan oleh Perguruan Tinggi Keagamaan Islam (PTKI), khususnya Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan.

            Bercirikan pondok salafiya, pondok ini menekankan pada kegiatan pembelajaran pembacaan buku-buku fikih secara sorogan dan bondongan, seperti pondok-pondok salafiya lain. Pembelajaran dilakukan pada malam dan pagi hari. Di pagi hari pembelajaran buku fikih dilakukan setelah shalat subuh berjamaah. Para santri membuka kitab dan menyimak paparan Kyai Syuja’i atau para putranya, yaitu ustadz Abdul Rozak dan (belakangan) ustaz Aef (ketiga kyai ini sudah wafat. Allahumma yarham). Pada malam hari pembacaan kitab dilakukan setelah shalat isya. Metode pembelajaran ini berlangsung demikian sampai pada suatu masa ustadz Dimyati (alm., Allahumma yarham) yang merupakan menantu kyai Syuja’i bergabung di pondok Syuja’iyah, di mana pembelajaran mengalami pengembangan dan sekaligus perubahan.

            Ustadz Dimyati yang merupakan alumni Pondok pesantren Daar al Qalm datang di Pondok Syuja’iyah, kemudian metode pembelajaran dan arah pendidikan yang dicanangkan pondok pesantren mulai dikembangkan dan diubah. Pesantren mulai menyediakan kelas-kelas pembelajaran dengan beberapa mata pelajaran yang disesuaikan dengan kurikulum pemerintah, juga beberapa mata pelajaran khas pesantren, seperti materi mahfuudhat dan nahwu sharf yang diberikan pada kelas tingkat Tsanawiyah. Periode berikutnya, di mana pondok sudah menerima santri kelas Aliyah, materi tersebut juga diberikan kepada santri Aliyah tingkat pertama. Adapun beberapa mata pelajaran khusus yang diberikan di kelas Aliyah tingkat kedua dan ketiga, adalah pelajaran Balaaghah yang diampu oleh ustadz Doktor Muhyidin, alumni Lybia dan mahir berbahasa Inggris, menjadi salah satu mata pelajaran yang sangat disenangi. Balaaghah merupakan suatu disiplin ilmu yang berlandaskan kepada kejernihan jiwa dan ketelitian dalam memahami keindahan dan kejelasan perbedaan yang samar di antara macam-macam uslub (ungkapan), dengan menekankan pada tiga unsur, yaitu bayaan, ma’aani, dan badii’. Hal yang disenangi para santri adalah utamanya pemahaman tentang sastra bahasa Arab yang contoh-contohnya diambil dari ayat-ayat suci AlQuran dan dari puisi-pusi Arab yang sering ditugaskan kepada para santri untuk menghapalnya. Contoh ungkapan ‘Man yuhibbuka lan yatrukuka walau kunta syaukan baina yadaihi (orang yang sungguh-sungguh mencintaimu tidak akan meninggalkanmu meskipun engkau menjadi duri yang tampak di hadapannya) merupakan salah satu ungkapan yang hingga sekarang masih terhapalkan karena keindahan dan keromantisan maknanya. Ungkapan lain ‘wa laisa qurba qobri harbin qobru  (tidak ada kuburan lain di dekat kuburan harb itu) masih terus terngiang karena kerumitan dan tantangan pelafalannya.

Dengan perubahan kurikulum dan sistem pengajaran tersebut, pembelajaran kitab kuning yang tetap dipertahankan di pondok ini, mengalami perubahan dan pembaruan terkait terutama sistem dan waktu pengajarannya. Selain setiap usai subuh dalam durasi sekitar 45 sampai dengan 60 menit di mana ustadz Syuja’i masih terus memberikan materi dan melakukan pembacaan terhadap kitab kuning, juga diprogramkan satu kegiatan pembelajaran terpisah di pukul tiga sore hari, yakni pukul 15.30 WIB sampai 17.00 WIB. Hal ini dilakukan setiap minggu untuk pembacaan kitab Jurumiyah, Imriithi, dan Alfiyah dengan anggota santri sesuai dengan kemampuan dan tingkat pengetahuan mereka. Kegiatan ini dipandu oleh ustadz Aef (Allahumma yarham).



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *