,

Pernikahan: Sebuah Hubungan Partnership, Bukan Atasan dan Bawahan

/
/

Pernikahan Itu tentang Partnership, Bukan Relasi Atasan dan Bawahan

Neswa.id-Setelah satu tahun pernikahan, saya kerapkali mendengar komentar yang cukup mengganggu dari teman-teman saya di media sosial. Katanya setelah banyak membaca buku-buku feminisme saya jadi perempuan yang menyalahi kodrat. Pasalnya sampai saat ini saya dan suami sepakat untuk menunda mempunyai anak. Apalagi ditambah dengan keputusan saya yang tetap aktif bekerja setelah menikah.

Keputusan-keputusan tersebut ternyata dianggap sebagai kesalahan. Pasalnya bagi sebagian orang, terlahir sebagai perempuan itu sudah seharusnya berdiam diri di rumah, mengurus keperluan suami dan melahirkan anak secepat dan sebanyak-banyaknya. Padahal tidak semua perempuan mengingkan hal itu.

Konon, saat ini juga katanya susah untuk mencari perempuan yang nurut dan manut kepada suami. Sebab, banyak perempuan yang teracuni kesetaraan gender hingga melupakan fungsi utamanya sebagai ibu yang harus mengasuh anak serta keluarga.

Hmmm… masa sih?

Dulu bapak saya seringkali memberi nasehat kepada kami anak-anaknya, baik anak laki-laki maupun perempuan:

“Terlahir sebagai laki-laki dan perempuan itu sama-sama harus mandiri, cari uang sendiri, punya penghasilan sendiri, berpendidikan, mampu mengerjakan berbagai pekerjaan domestik dan harus bermanfaat bagi orang banyak. Laki-laki dan perempuan juga harus bisa berbuat baik kepada pasangannya, jangan pernah saling menyakiti, harus saling meringankan pekerjaan masing-masing, mengasuh anak secara bersama-sama dan juga tidak mementingkan diri sendiri”

Awalnya, saya tidak mengerti mengapa dulu bapak memberi nasihat seperti itu. Apalagi, saya dibesarkan di lingkungan masyarakat yang cukup kental kultur patriarki. Sebagaimana nenek saya menganggap bahwa para lelaki tak seharusnya masuk dapur atau melakukan pekerjaan rumah. Dapur dianggap sebagai salah satu ruangan yang tabu dimasuki oleh para lelaki.

Namun, hal ini justru dibantah oleh bapak. Dia bilang pekerjaan itu tidak berjenis kelamin,  sehingga laki-laki dan perempuan bisa saling bekerjasama dalam mengerjakan pekerjaan apapun, domestik atapun publik. Hal tersebut juga dilakukan oleh bapak. Ia tidak malu untuk menyiapkan  sarapan untuk anak-anaknya, bapak juga tidak malu untuk memandikan dan mengasuh anak-anak dan cucu-cucunya.

Dari nasihat dan contoh yang diberikan bapak, saya jadi paham mengapa pernikahan seharusnya menjadi sebuah hubungan yang berkesalingan, sebuah partnership antara perempuan dan laki-laki. Ini bukan tentang melangkahi aturan atau siapa kalah dari siapa, melainkan justru untuk membangun suasana yang nyaman, tentram dan bahagia. Mungkin inilah yang disebut dengan pernikahan yang Sakinah, mawadah dan rahmah itu.

Mengasuh anak dan mengerjakan pekerjaan domestik bukan hanya menjadi tanggung jawab seorang ibu atau bapak saja. Tapi keduanya. Seperti yang disampaikan oleh Kiai Faqihuddin Abdul Kodir dalam buku “Perempuan (bukan) Makhluk Domestik” bahwa seluruh pekerjaan domestik seharusnya menjadi tanggung jawab seluruh anggota keluarga yang tinggal bersama di dalam rumah.

Sebab tanggung jawab bersama ini merupakan bagian dari kemitraan suami dan istri (zawaj) dan kerjasam dalam berkeluarga (musyarakah). Hal ini ditegaskan dalam sebuah hadis Nabi Muhammad Saw yang mengatakan “Sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap keluarganya”.

Menurut Kiai Faqih, hadis tersebut mengajarkan kepada kita untuk selalu berbuat baik kepada seluruh anggota keluarga, termasuk suami kepada istri, istri kepada suami. Sebab, suatu masyarakat dianggap mulia dan berbudaya luhur jika semua individu di dalam keluarganya bisa menerapkan nilai-nilai kesalingan dalam semua pekerjaan rumah tangga. Inilah yang diteladankan oleh Nabi, yaitu kehidupan rumah tangga yang partnership.

Dengan begitu, pekerjaan rumah tangga dan pengasuhan keluarga itu bukan tugas istri atau suami saja, tapi tanggung jawab bersama. Tidak ada pihak yang dilemahkan dan dikuatkan, karena pada dasarnya pernikahan itu melibatkan dua orang dengan posisi yang setara. Lagi pula namanya juga pasangan, bukan majikan dan karyawan kan? Ini juga menjadi refleksi bersama dalam sebuah hubungan yang sedang kita bangun. (IM)



One response to “Pernikahan: Sebuah Hubungan Partnership, Bukan Atasan dan Bawahan”

  1. […] Neswa.id-Pernikahan dalam QS. 4:1 disebut sebagai Mitsaqan ghalizha atau perjanjian yang kokoh. Artinya betapa agungnya ikatan pernikahan yang disaksikan langsung oleh Allah dan Rasul. Sehingga wajib bagi keduanya mempertahankan atau memperkuat relasi sehingga tidak mudah goyah atau hancur. […]

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *