,

Perjalanan Menyembuhkan Luka: Korelasi Psikologi dan Agama

/
/

Menyembuhkan luka

Neswa.id-Belum genap setahun ibu meninggalkan saya. Beliau tutup usia ketika saya belum siap dan dalam keadaan krisis. Saya rasa tidak pernah ada yang siap dengan perpisahan. Selasa pagi itu, saat beliau hendak pergi mengajar seperti biasanya, beliau terkena serangan jantung. Terkejut, menyangkal, berduka, menyesal, dan bingung—berkelindan dalam diri saya.

Bahkan setelah 100 hari wafatnya ibu, tiga kali saya bermimpi bertemu ibu yang berpakaian rapi, sedang duduk dan tersenyum. Lantas saya tertegun, “lho, ibu? Ibu tidak jadi meninggal kan?” setelah itu saya terbangun. Ya, saya masih menyangkal kenyataan. Saya tanyakan mimpi ini kepada Ustaz Haidar Bagir dan beruntung saya mendapat takwil dalam pandangan tasawuf yang menenangkan. Wallahu a’lam.Saya terus mencari cahaya. Mencari petunjuk.

Suatu ketika, saya melihat pamflet kelas online yang diadakan Nyantri Kilat bertajuk Journey to Innerpeace. Kelas ini menyajikan paduan psikologi dan agama. Salah satu sesi kelas bertema Finding Light in The Darkness.

Penyangkalan Duka: Budaya yang Sangat Tidak Baik

Narasumber pertama adalah seorang psikolog klinis, founder Welas Asih.id, Bianglala Andriadewi, M.Psi. Saya memanggilnya Mbak Lala. Kelas dimulai oleh moderator yang membuka dengan keprihatinan banyaknya kasus bunuh diri akhir-akhir ini. Disusul dengan pertanyaan, bagaimana dinamika orang yang sedang mengalami fase kegelapan. Fase duka.

Sebelum menjawab pertanyaan, ia mengingatkan, “apabila ada teman-teman mengalami ketidaknyamanan atas tema ini, bisa mundur, jaga jarak, ambil nafas, minum. Atau nanti lihat playlistnya saja jika sudah siap.”

Ia bercerita saat ayahnya meninggal. Sebagai anak pertama, ia mendapat ujaran, “Lala gak boleh sedih. Lala harus jaga adik dan ibu.” Begitulah budaya tidak baik yang masih lestari di masyarakat kita: penyangkalan rasa sedih. Harus langsung menerima. Bahkan ada juga penghakiman dan ancaman: kamu tidak boleh sedih, kalau kamu sedih berarti tidak menerima takdir Allah. Takdir Tuhan.

Sedih dan meratap adalah dua hal yang berbeda. Pain (sakit, sedih) and suffering (ratapan). Suffering itu ada tambahan rasa sakit pada kesakitan itu sendiri. Pain itu tidak boleh langsung dieliminasi. Budaya kita itu ingain cepat menghilangkan pain, alih-alih sufferingnya itu.

Mbak Lala menyarankan, ketika kita melayat, tidak berkata apa-apa tidak apa. Atau lebih baik mengucapkan ikut berduka. Ia menambahkan, “proses berduka itu hal yang sangat personal. Pemaknaan, duka, dan cinta berbeda-beda. Saya percaya bahwa sedih, rapuh, dan lemah itu tidak apa. Kalau tidak ada itu, saya mungkin akan lupa kalau manusia itu makhluk lemah, kecil, dan membutuhkan Tuhan.”

Ia juga memaparkan, “kalau kita sedih biasaya akan pertama, self isolated, jangan-jangan hanya kita yang sedih kayak gini, apalagi di era sosmed yang kerap menampilkan kebahagiaan. Kedua, self judgement yakni menghakimi diri sendiri. Sebaikanya, setelah evaluasi adalah self improvement (sehingga tidak sampai menghakimi diri sendiri). Ketiga, over identification, terlalu mengidentifikasi perasaan.”

Sarannya, hal itu bisa diminimalisir dengan welas asih pada diri sendiri. Kemudian, menyadari bahwa rasa sakit ini tidak hanya kita yang merasakan, tapi semua orang memiliki rasa sakitnya sendiri-sendiri. Selain itu, dengan mindfulness. Sederhananya artinya adalah secukupnya saja. Secukupnya baik dalam senang maupun sedih.

“bahkan mindfulness tertinggi adalah tidak ada penilaian apapun. Tidak ada prasangka apapun. Oh iya ini memang sedih, ini memang senang. Hidup memang sudah baik adanya. Se-flat itu. Jadi sedihnya diakui, senangnya diakui. Namun tidak tenggelam pada perasaan itu,” ungkapnya.

Saya jadi ingat penjelasan Ustaz Nur Jabir, founder Rumi Institute. Bahwa, seorang sufi baginya, kegembiraan dan kesedihan adalah sama saja. Sebab semua rasa itu dari Allah. Kehendak Allah.

Perlu diketahui bahwa, dalam masalah Covid-19 beberapa waktu lalu, salah satu penelitian di Italia ketika pandemi Covid-19 yang menuai banyak korban meninggal, menyatakan bahwa spiritualitas itu membantu proses griving, yakni kepercayaan bahwa keluarganya sudah berpindah ke dimensi lain. Inilah peran penting agama (spiritualitas) dalam proses menuju kedamaian.

Narasumber selanjutnya adalah Ismael Alkholilie (Lora Ismael). Tokoh agamawan dari Bangkalan, Madura. Beliau tertarik dan setuju apa yang disampaikan Mbak Lala. Lantas beliau menyinggung hadist yang kerap disalahfahami; jangan menangis, nanti yang meninggal akan disiksa. “Hadis itu tidak boleh difahami secara tekstual. Tapi hadis itu mengarah pada ratapan. Yang sampai memukul-mukul dada, merobek baju, yang menunjukan tidak ridlo pada Allah.”

Rasulullah pun bersedih kala Sayyid Ibrahim meninggal, “sungguh air mataku mengalir, dan hatiku bersedih, tapi saya tidak akan mengucapkan kecuali apa yang diridloi Allah.”

Untuk isu kesehatan mental, Lora Ismael menukil nasehat Habib Ali Al Jufri, “jangan takut atau malu ke psikolog”. Karena dalam kalangan santri, masih banyak kekeliruan, yakni jika ada gangguan kesehatan mental, biasanya diruqyah. “Saya pernah mengalami gangguan cemas dan insomnia,” aku Lora, “tidak relate jika diobati dengan ruqyah.” Lora pergi ke psikolog untuk kesembuhannya.

“Rasulullah mengajarkan kita untuk menjaga Kesehatan mental,” ujar Lora Ismael, “untuk tidak berlarut-larut dalam kesedihan. Para wali pun, adalah orang yang sedih dan tidak takut. Bukan tidak punya sedih atau takut, tapi tidak berlarut-larut dalam penyesalan apa yang sudah terjadi, atau mencemaskan apa yang belum terjadi.”

Lora Ismael menukil kesaksian sahabat Nabi, Anas bin Malik. “Sayyidina Anas bin Malik bercerita, bahwa saya itu berhikmah kepada Rasulullah selama 10 tahun, Rasul tidak mengatakan atau menegur saya atas sesuatu yang telah saya lakukan; mengapa kamu melakukan itu. Dan tidak menegur saya apa yang tidak saya lakukan; mengapa kamu tidak melakukan itu.”

Penjelasan ini menyadarkan saya. Salah satu rasa yang menghantui saya adalah penyesalan. Mengapa aku tidak berbuat ini ke ibu, atau mengapa aku berbuat itu ke ibu. Selanjutnya, rindu dan duka itu akan sesekali menyergap. Tapi saya belajar memprosesnya, hingga tubuh, pikiran, dan perasaan saya meresponnya dengan lebih baik. (IM)


Farida Novita Rahmah Avatar

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *