Sejak berita Afghanistan kembali jatuh ke tangan Taliban, linimasa saya banyak bersliweran obrolan terkait Taliban. Dari berbagai opini, analisa serius sampai candaan satir dalam gambar meme. Sementara netizen terpecah antara yang beropini bahwa Taliban kini berbeda dengan Taliban dahulu, yang menurut saya ini tentu saja masih perlu dibuktikan bagaimana nanti kenyataannya, dan yang mengira Taliban tetaplah sama seperti dua puluh tahun lalu.
Saya sendiri tidak ingin berspekulasi dengan berbagai wacana bagaimana prospek Afghanistan setelah kembali jatuh ke tangan Taliban, karena sudah lama saya tidak terlalu mengikuti dinamika sosio-politik kawasan Asia Selatan selain dari beberapa wacana sekilas yang saya dapatkan lewat browsing internet atau sorotan berita-berita yang menjadi headline.
Dalam benak saya yang terbersit adalah, ‘kira-kira bagaimana nasib perempuan Afghanistan di tangan Taliban yang ‘katanya’ Taliban versi baru ini?’ Saya mencoba menuliskan sedikit resensi dari salah satu buku yang saya baca ini dengan selingan penggalan kisah yang saya rangkum menjadi memori ketika saya masih tinggal disana.
Buku ini berjudul “Pious Peripheries, Runaway Women in Post-Taliban Afghanistan” karangan Sonia Ahsan (2021). Menariknya karena buku ini mengangkat kisah perempuan-perempuan yang lari dari rumahnya, terutama diambil dari kisah perempuan-perempuan Afghanistan yang mendapatkan stigma sosial karena lari dari rumahnya.
Sebelum bercerita tentang resensi buku, saya ingin sedikit berbagi kisah tentang perempuan WNI yang menikah dengan orang Afghanistan. Karena satu dan lain hal, dia lari dari rumah suaminya. Saya masih ingat, ketika saya masih tinggal di Islamabad, seorang perempuan WNI Indonesia yang menikah dengan laki-laki berasal dari Afghanistan meminta perlindungan ke KBRI Islamabad karena diburu dan akan dibunuh oleh keluarga suaminya karena dia lari dari rumah disebabkan mendapatkan siksaan oleh suaminya. Dalam budaya Afghanistan, perempuan yang lari dari rumah atau suaminya dianggap sebagai perempuan ‘nakal’, tidak peduli meskipun perempuan ini lari karena siksaan dari anggota keluarganya.
Beruntungnya, WNI ini berhasil sampai di kota Peshawar dan bertemu dengan seseorang yang bersedia menolong dan memberi tumpangan untuk mengantarkan ke KBRI Islamabad. KBRI Islamabad berjarak kurang lebih 2-3 jam perjalanan darat dari Peshawar. Saat itu belum ada perwakilan KBRI Indonesia di Afghanistan, dan entah bagaimana caranya perempuan WNI ini bisa kabur dari keluarga suaminya bahkan bisa sampai ke Peshawar mengingat perjalanan dari Afghanistan ke Peshawar itu melewati wilayah tak bertuan Khyber Pakhtunkwa bagian dari North West Frontier Province (NWFP) wilayah Pakistan, dan untuk melewati wilayah ini kita mesti mendapatkan ‘izin melintas’ dari setiap suku yang berkuasa sepanjang rute tersebut sampai ke kota Peshawar.
Gambaran ini semoga sedikit banyak dapat memberikan sedikit perspektif bagaimana perempuan di sana, sebelum lebih dalam bicara tentang isi buku ini.
Baiklah, buku yang saya resensi ini diawali dengan kisah Samia Sarwar, tetangganya, teman sekelas kakak perempuannya, yang dinikahkan dengan saudara sepupunya (putra saudara perempuan ibunya) dalam suatu pernikahan megah di Peshawar. Perjodohan antar sepupu dekat sudah menjadi tradisi di masyarakat ini, tidak terkecuali juga di Pakistan. Tahun 1999, Samia memperoleh kekasih dan melarikan diri dari pernikahan yang menyedihkan dan akhirnya membawanya ke tempat penampungan perempuan. Ibunya sendiri mengikuti, menemukan dan membunuhnya di tempat penampungan.
Tidak ada satupun wawancara dari keluarga kepada media. BBC menjadikan kasus ini sebagai sebuah film dokumenter “Licence to Kill” namun tanpa disertai wawancara dari orang-orang terdekat korban. Buku ini menguak kisah ragam perspektif perempuan yang tinggal di penampungan ini, sehingga memberikan perspektif dengan warna lain tentang perempuan Afghanistan.
Kesulitan dalam mengakses informasi kisah Samia Sarwar ini menjadikan ragam studi kasus ataupun reportase tidak mendapatkan gambaran mendalam tentang bagaimana budaya dan konteks sosial yang ada pada masyarakat Pusthun, sehingga kisah-kisah tentang kasus Honor Killing seperti yang terjadi pada kasus Samia ini seringkali dikaitkan dengan pendidikan, kemiskinan, Islam, Taliban, kehormatan (honor) dan Pasthunwali (kesukuan).
Namun pada kenyataannya jika melihat latar belakang keluarga Samia adalah keluarga yang semuanya berpendidikan, cukup terhormat, kaya raya, ibunya seorang dokter ginekologi. Ayahnya adalah orang yang cukup berpengaruh dan latar belakang keluarganya adalah Pasthunwali muslim, namun juga tidak terlalu konservatif. Bahkan Samia dan saudara perempuannya belajar di kedokteran, dan mereka dibesarkan di kota Peshawar yang bisa digambarkan sebagai kota yang secara sosial cukup metropolitan.
Mungkin tidak akan terpikirkan bagaimana seorang ibu akan tega membunuh anaknya sendiri yang dia cintai dan sayangi. Namun demikianlah, kasus ini berakhir. Ayah Samia sebagai wali dari Samia memaafkan ibunya sehingga dengan demikian tidak ada tindakan hukum yang dapat diambil terhadap ibunya berdasarkan hukum Qisas dan Diyat, yang memungkinkan wali dari korban untuk memaafkan pembunuhan anggota keluarganya.
Samia dibunuh di tempat penampungan perempuan yang dikelola oleh aktivis hak-hak asasi perempuan di Asma Jahangir, sehingga membuat cerita ini menjadi sorotan internasional. Sebagai akibat dari kemarahan internasional, sebuah undang-undang diajukan ke parlemen yang poin utamanya membatasi pembunuhan terhadap perempuan.
Namun sayangnya, ketua senat, seorang pengacara dan sekaligus teman ayah Samia mem-veto-nya, sehingga tidak ada yang dihukum dan kematian Samia surut ke masa lalu. Namun tentu kasus ini selamanya menjadi kisah yang tidak pernah terlupakan oleh penulis. Beberapa tahun berikutnya, salah seorang sepupu perempuan penulis buku ini tewas dengan misterius meninggalkan dua anak perempuan yang masih balita, kejadian ini terjadi setelah sepupunya meninggalkan suaminya. Bibinya, ditemukan tewas di tempat tidurnya bersama dua anak laki-lakinya yang masih berusia enam dan tujuh tahun.
Pembunuhan terhadap perempuan yang kerap terjadi justru dilakukan oleh anggota keluarganya sendiri. Keluarga besar kemudian mencapai kesepakatan untuk tetap diam. Dan mayoritas di semua kasus, para perempuan yang meninggal kerap dilabeli sebagai perempuan nakal, gila, tidak patuh dan bebas memilih. Stigma ini sebagai suatu alat pembenaran sosial yang membuat perempuan-perempuan yang lari dari rumahnya ini bertanggungjawab atas kematiannya sendiri.
Buku ini menggambarkan dinamika kisah perempuan yang tinggal di salah satu penampungan perempuan yang terletak di Kabul Afghanistan dengan mengangkat kisah keberanian para perempuan yang tinggal di penampungan ini melawan ancaman kematian. Dalam istilah bahasa Phustun penampungan perempuan yang lari dari rumahnya ini dinamakan khana-yi-aman (rumah keselamatan).
Siapa saja yang berhak tinggal di sini? dan bagaimana negara (state) mengkategorikan mereka? Bagaimana stigma masyarakat atas penampungan perempuan ini?
Penulis memberikan gambaran tentang ragam latar belakang perempuan yang akhirnya bisa sampai di penampungan ini. Saya bisa membayangkan resiko meneliti di tempat yang secara sosial telah terstigma sebagai rumah bordir, rumah perempuan prostisusi dan label negatif lainnya. Di antara perempuan-perempuan yang sampai di penampungan ini, ada diantaranya perempuan yang lari dari suaminya karena suaminya melakukan kekerasan seksual. Di bab berikutnya penulis mendeskripsikan kisah informannya yang harus melayani suaminya sampai pingsan dengan tangan terikat dan terbangun oleh anak-anaknya yang menangis.
Meskipun demikian ketika perempuan ini mencari perlindungan kepada keluarganya, justru perempuan ini yang dicap tidak mampu melayani suaminya, sehingga dia sampai di penampungan ini tanpa support sama sekali dari keluarganya. Informan lain adalah seorang perempuan yang melarikan diri dengan membawa serta putranya karena suaminya bergabung dengan Taliban, dan masih banyak lagi latar belakang lainnya yang mendorong para perempuan ini pada akhirnya meninggalkan rumah.
Sebagaimana penampungan perempuan pada umumnya, khana-yi-aman merupakan rumah perlindungan bagi perempuan yang ingin mendapatkan perlindungan dari ancaman atau kekerasan. Di Afghanistan, tempat penampungan khana-yi aman (rumah keselamatan) adalah rumah perlindungan bagi perempuan yang telah diklasifikasikan sebagai “pelarian” oleh negara dan berada di tengah sanksi hukum dan sosial.
Sejak Taliban jatuh, pada masa Presiden Hamed Karzai, shelter ini dikembangkan sedemikian rupa di bawah otoritas negara dan mereka yang tinggal di dalamnya kebanyakan tanpa mendapatkan perlindungan keluarga. Bahkan dalam beberapa kasus mereka justru menjadi korban pemerkosaan dan kekerasan lainnya atas perintah pejabat yang semestinya bertugas melindungi mereka.
Yang lebih menyedihkan lagi, ketika cerita perkosaan dan kekerasan ini beredar sampai di luar penampungan, bukannya simpati yang didapatkan oleh perempuan-perempuan ini, namun justru memperkuat stereotip pembenaran sosial bahwa perempuan pelarian yang ada di penampungan adalah perempuan tuna susila.
Sebagaimana saya ceritakan di pembuka tulisan ini, perempuan yang lari dari rumah telah melanggar tradisi sosial yang sangat sensitif. Sekali seorang perempuan perempuan tersebut lari dari rumah, maka dia akan kehilangan semua sumber daya, baik itu dalam bentuk support sistem keluarga, mendapatkan stigma sosial sebagai perempuan nakal, tuna susila atau tidak tau malu.
Dengan stigma sosial yang demikian, perempuan-perempuan ini tidak hanya membahayakan diri mereka sendiri dengan menuntut kesetaraan, namun mereka juga mendefinisikan kembali apa artinya menjadi setara dalam genuitas budaya Pasthun, salihah dan kehormatan (honor). Sehingga perlu kita pahami, bagaimana dinamika kehormatan (honor), kesalihan, Islam dan Pashtunwa (kesukuan) merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan ketika melihat perempuan Afghanistan.
Leave a Reply