Neswa.id-Barangkali lahir sebagai perempuan memang harus siap menerima takdir pincang. Stereotip buruk sebagaimana yang digambarkan Simone de Beauvoir dalam bukunya The Second Sex adalah fakta yang tidak bisa dipungkiri. Bagi de Beauvoir, perempuan tidak ubahnya seonggok daging tempat pelampiasan nafsu, sekaligus dikubur dalam ruang domestik. Hal ini terjadi akibat perbedaan cara pandang secara seksual yang terkonstruksi secara sosial di mata masyarakat, di mana perempuan dipandang sebagai objek kaum lelaki dan pemilik kuasa.
Meski de Beauvoir menerbitkan bukunya pada tahun 1949, narasi yang ia sampaikan masih bertahan hingga sekarang. Anggapan terhadap perempuan seperti kaum lemah akal, atau makhluk penghuni kelas dua, masih menyelimuti kehidupan tanpa memandang profesi, suku, ras, dan agama masih tersebar liar dimana-dimana.
Padahal zaman tengah merayakan peradaban paling canggih dibandingkan masa-masa sebelumnya. Modernisasi yang bergandengan tangan dengan digitalisasi seakan lubang momok menakutkan bagi perempuan saat mereka diperlakukan tidak senonoh oleh kaum Adam.
Catatan Komnas Perempuan periode 2015-2019, misalnya, menunjukkan kekerasan terhadap perempuan di era digital semakin marak dan kompleks, dan ini menyasar integritas perempuan melalui platform online. Sialnya, catatan yang buruk ini kian memburuk saat pandemi melanda Indonesia. Pada tahun 2020, Komnas Perempuan mencatat ada lebih dari 1.300 kasus kekerasan terhadap perempuan, tetapi kurang dari 10% yang berani melaporkan kasus mereka.
Contoh kekerasan seksual paling fenomenal di negeri ini yakni kasus Baiq Nuril. Ia yang menjadi korban pelecehan seksual dan sengaja merekam perbuatan atasannya, dan bukan dirinya yang menyebarkan rekaman, justru dihukum penjara.
Memang Presiden Jokowi mengeluarkan amnesti untuk mengeluarkan Baiq Nuril dari jerat pidana dan denda. Namun, ini adalah bukti betapa perempuan tidak memiliki ruang keadilan bahkan ketika menjadi korban pelecehan seksual.
Saya yakin, di luar sana, banyak Baiq Nuril lainnya yang tidak memperoleh keadilan. Permasalahan gender seakan warisan zaman yang tidak bisa diselesaikan. Fakta ini mengingatkan saya akan sosok Drupadi dalam kisah wayang, di mana ia tidak bisa memilih takdir saat menjadi istri bagi kelima Pandawa.
Cerita bermula saat Yudhistira memenangkan sayembara, dan ia menemui Dewi Kunti—ibu Pandawa—untuk mengabarkan kemenangan tersebut. Sebagaimana kebiasaan sebelum-sebelumnya, ketika Yudhistira memenangkan sayembara, maka hasil lomba harus dibagikan ke saudara yang lain. Tak heran, ketika itu Dewi Kunti menyuruh anaknya membagikan hasil lomba kepada Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa, tanpa melihat apa yang dibawa Yudhistira.
Setelah keluar kamar, Dewi Kunti benar-benar tercengang saat mengetahui hadiah lomba ternyata Drupadi. Nasi telah menjadi bubur. Drupadi pun terpaksa menuruti takdir buruk dengan menjadi istri bagi kelima punggawa. Sialnya, ia kembali mengalami nasib pincang kala Yudhistira kalah dalam meja judi melawan Kurawa, di mana Drupadi menjadi taruhan tanpa ia ditanya persetujuannya terlebih dahulu menjadi barang taruhan.
Di sinilah letak ketidakberdayaan Drupadi. Ia tidak bisa menolak suratan semesta saat tubuhnya dipermalukan di depan Kurawa. Ia hanya bisa mengutuk keadaan tanpa bisa melawan. Kondisi yang dialami Drupadi seakan-akan simbolik perempuan yang diwajibkan menerima takdir timpang di mata sosial.
Namun, sosok perempuan dalam wayang tak sekadar Drupadi. Ada kisah Srikandi yang dilambangkan sebagai perempuan tangguh dan pemberani. Saat Pandawa terdesak dalam pertempuran Bharatayuda melawan Kurawa yang dipimpin Bhisma, Kresna sang penasihat perang menunjuk Srikandi sebagai senopati. Keputusan ini menimbulkan polemik, sebab tabu dan tidak lazim seorang perempuan ikut berperang. Tetapi, Srikandi menjawab tudingan tidak berdasar ini. Ia berhasil melesatkan panah dan menembus dada Bhisma. Menanglah Pandawa melawan Kurawa.
Dari uraian singkat antara Drupadi dan Srikandi, terdapat perbedaan besar yang dapat kita petik hikmahnya. Situasi yang dialami Drupadi, misalnya. Ia tak ubahnya kaum perempuan yang dilarang bersuara, dan tubuhnya berhak dieksploitasi. Sementara Srikandi, mengajarkan kita untuk terus melawan ketidakadilan sosial. Dan ini yang perlu kita lakukan sebab masalah yang dialami kaum perempuan di era digital kian kompleks. Salah-salah akan menjadi viral dan dihujat habis-habisan.
Media sosial yang sejatinya tempat bersantai, terkadang menjadi kandang singa yang siap menyantap apa saja. Jika pelakunya perempuan, maka seluruh bagian tubuh seakan halal untuk dilecehkan secara verbal. Barang tentu hal semacam ini tidak bisa didiamkan begitu saja.
Salah satu jalan memperkuat perempuan selain lewat perlindungan hukum adalah dengan membuat gerakan yang sifatnya melawan perundungan terhadap perempuan. Misalnya, membuat meme lucu dengan bahasa jenaka. Isinya bersifat ajakan untuk menghargai perempuan, dan tidak mudah mengeksploitasi tubuh secara lisan.
Soal efektivitas gerakan, barangkali tidak semudah menyebarkan berita hoaks, atau menyebarkan tulisan bernada kebencian. Namun, diam tanpa melakukan apa-apa tidak akan mengubah keadaan. Karenanya lebih baik bergerak melakukan perubahan, meski dari kaum perempuan sendiri tidak banyak yang berani lantang.
Jika tidak saling support sesama perempuan, maka saya dan perempuan-perempuan lainnya kian lunglai di atas celana dalam dan kutang. Sementara kaum lelaki kian tertawa memandang perempuan, yang baginya perempuan sebatas selaput dara selangkangan. (IM)
Leave a Reply