Diskriminasi merupakan suatu praktik atau kebijakan di mana seseroang atau sekelompok diperlakukan secara berbeda dalam arti yang menjurus pada ketidakadilan berdasarkan karakteristik tertentu, dapat berupa perbedaan karakteristik ras, gender, usia, agama, kepercayaan, atau lainnya. Diskriminasi tersebut dapat berwujud pembatasan kesempatan dan juga hak terhadap anggota dari satu kelompok, yang tersedia bagi anggota kelompok lainnya.
Hingga hari ini, di berbagai belahan dunia masih banyak dilaporkan berbagai macam kasus diskriminasi di masyarakat, terutama di lingkungan kerja. Perempuan menjadi sosok yang sangat rentan terpojokkan di dunia kerja, di mana sebagian besar perusahaan-perusahaan mengkotak-kotakkan karyawannya berdasarkan gender secara personal maupun gaji yang diberikan. Dalam dunia kerja, terutama bisnis, laki-laki cenderung lebih diuntungkan dan mendominasi dari pada perempuan karena sebagaimana yang kita ketahui, laki-laki memiliki stereotip yang lebih positif sejak kelahirannya, di mana kelak dianggap sebagai pencari nafkah utama karena dikatakan lebih mampu, terutama dari segi fisik. Sedangkan perempuan, cenderung dicap sebagai sosok yang cengeng, tidak bisa mengambil keputusan yang baik, suka menggoda, emosional, dan irasional yang pada akhirnya lebih dipastikan untuk mendapat posisi sebagai ibu rumah tangga, sang pencari nafkah tambahan. Hal ini lebih terdengar seolah perempuan memang tidak seberapa berguna dalam bekerja dibandingkan laki-laki. Secara tidak sadar, bersamaan dengan perlakuan tersebut telah terjadi proses pemiskinan yang beralasankan gender.
Hal tersebut masuk akal karena gender telah membedakan karakter manusia menjadi laki-laki atau perempuan, di mana perempuan dianggap feminin sedangkan laki-laki maskulin. Tidak ada yang bisa disalahkan akan perbedaan dua ciri yang sudah umum tersebut. Namun sayangnya, selain disudutkan dalam ranah dunia kerja, perempuan juga lebih sering menjadi sasaran kekerasan, fisik maupun nonfisik. Sifat feminin yang lebih digambarkan lemah dan penurut membuat perempuan rentan diremehkan dan diperlakukan semena-mena, seperti dilecehkan, diperkosa atau diserang secara fisik seperti yang telah banyak dilaporkan, terlebih pada kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Untuk menghindari hal-hal tersebut, akan lebih baik jika kita memperhatikan pentingnya kesetaraan gender. Laki-laki harus menahan dirinya dari rasa dominasi akan perempuan. Perempuan juga harus bisa membuktikan bahwa dirinya berguna dan mampu dalam banyak hal karena kehebatannya, bukan karena belas kasih yang diberikan atau hanya karena tampangnya yang cantik. Seperti yang pernah disampaikan Najwa Shihab, bahwa kita, sebagai perempuan harus membuang jauh-jauh rasa tidak mampu dan terus berambisi, bahwa tidak seharusnya gender menjadi penghalang kesuksesan perempuan. Jika perempuan menghadapi kesulitan di dunia kerja karena gendernya yang sudah secara bawaan diasumsikan kurang positif, maka dari individu perempuan sendiri juga harus mau berubah, terutama dari pola pikir kita yang ikut terbawa anggapan lemah.
Pada 2019, Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati pernah menyampaikan pentingnya kesetaraan gender, di mana kesetaraan tersebut tidak hanya penting dari sisi moralitas, keadilan, tetapi juga sangat penting dan relevan dari sisi ekonomi. Jika suatu negara tidak menciptakan lingkungan yang setara seperti kesetaraan gender maka sangat disayangkan 12 triliun USD kue ekonomi, akan hilang sekitar 16,5% dari total ekonomi global, setara 8 kali ekonomi Indonesia.
Di samping itu, ranah keIslaman juga telah menjunjung tinggi nilai-nilai keadilan dan persamaan, yang mana mencakup prinsip kesetaraan gender. Disimpulkan dari QS. Al-Zariyat ayat 56, QS.Al-Baqarah ayat 30, QS. Al-A’raf ayat 172, QS.Al-‘A’raf ayat 20 sampai 23 dan QS.Al-Nahl ayat 97, bahwa baik laki-laki maupun perempuan sama-sama seorang hamba,sama-sama berperan sebagai khalifah di bumi, sama-sama menerima perjanjian primordial, sama-sama memainkan peran tergoda akan buah khuldi, diusir dari surga dan bertaubat, serta sama-sama berkesempatan untuk meraih prestasi yang optimal. (Suhra, 2013)
Leave a Reply