,

Perempuan Seharusnya punya banyak Pilihan

/
/


Perempuan dan pilihan barangkali adalah dua hal yang terasa saling asing bagi sebagian komunitas masyarakat. Berbagai norma sosial yang kelewat patriarkis memaksa perempuan untuk puas dengan pilihan yang terbatas atau bahkan sama sekali tidak punya pilihan. Potret keterbatasan ini terekam jelas dalam film Yuni yang disutradarai oleh Kamila Andini. Film feminis itu memotret ketimpangan dan keterbatasan perempuan terkait pilihan dalam hidup secara gamblang. Alih-alih mengkampanyekan feminisme secara lantang, Kamila Andini langsung menyodorkan realita masyarakat yang direkam secara nyata.

Yuni, seorang remaja kelas tiga SMA itu dihadapi dengan berbagai permasalahan sulit di usianya yang seharusnya sedang bebas-bebasnya untuk bermimpi dan mengembangkan diri. Mulai dari awal, film ini dibuka dengan scene tes keperawanan. Menceritakan bagaimana ‘nilai’ seorang perempuan hanya ditaksir dari ‘keutuhan’ hymen yang bahkan bentuknya bisa jadi berbeda di lain perempuan. Bahkan di scene berikutnya, diceritakan pula seseorang yang melamar Yuni dan menjanjikan mahar tambahan apabila setelah malam pertama ternyata Yuni masih perawan. Jelas terlihat bagaimana perempuan masih ternilai harganya seperti sebuah benda.

Kembali lagi soal pilihan, berkembang mitos di lingkungan sekitar Yuni tentang pamali apabila menolak lamaran lebih dari tiga kali. Yuni sendiri seorang siswi yang cerdas dan memiliki potensi untuk melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi. Namun, adanya lamaran dari beberapa laki-laki seakan membuat Yuni tidak punya pilihan atas kebebasannya dalam melanjutkan pendidikan. Hal ini dikarenakan norma yang masih dianut oleh lingkungan sekitar Yuni bahwa perempuan yang sudah berkeluarga diharuskan hanya fokus pada urusan domestik rumah tangga. Di lingkungan tempat tinggalnya pun masih menjadi hal yang tidak biasa apabila perempuan melanjutkan pendidikan tinggi.

Pernikahan kerap kali dianggap sebagai jalan keluar atas berbagai permasalahan. Perempuan, khususnya, kerap kali dinikahkan bahkan di usia yang masih dalam kategori anak sebagai upaya pencegahan kehamilan di luar nikah maupun sebagai solusi bagi yang terlanjur hamil di luar nikah hingga sebagai solusi atas permasalahan ekonomi. Masih ada keluarga yang beranggapan bahwa menikahkan anaknya, apalagi perempuan, sama dengan melepas satu beban ekonomi keluarga yang harapannya kelak akan menjadi tanggungan suaminya.

Merujuk pada film Yuni, pada adegan saat Yuni berbincang dengan teman perempuan seusianya yang menikah di usia dini, terlihat bahwa realitanya pernikahan dini bukan menjadi suatu solusi yang nyata atas berbagai permasalahan tadi. Ketidaksiapan secara mental dan finansial meningkatkan risiko adanya kekerasan dalam rumah tangga hingga kesejahteraan keluarga, yang pada akhirnya hal tersebut justru tidak akan memutus lingkaran setan kemiskinan. Kesehatan dan kesejahteraan anak hasil pernikahan dini pula yang dipertaruhkan. Minimnya pengetahuan dan rendahnya kemampuan ekonomi untuk mencukupi kebutuhan gizi keluarga menjadi ancaman yang berpotensi melahirkan anak dengan permasalahan gizi kronis atau stunting yang akan berpengaruh pada tumbuh kembang anak. Sedihnya, tidak jarang kegagalan atas ketidakmampuan dalam mengasuh dan memenuhi kebutuhan anak ini dibebankan pada perempuan seorang.

Dalam perjalanannya, Yuni bertemu dengan Suci. Seorang pekerja salon yang mempunyai latar belakang kabur dari keluarganya akibat korban kekerasan pada rumah tangga sebelumnya. Suci mengakui bahwa keputusannya untuk menikah di usia dini menambah berbagai keterbatasan sebagai perempuan. Pada akhirnya, Suci yang “freedom abis” itulah yang meyakinkan Yuni bahwa perempuan seharusnya punya banyak pilihan atas dirinya sendiri.

Barangkali, sesuai dengan cuplikan puisi Sapardi Djoko Damono di dalam film tersebut, “Tak ada yang lebih tabah dari hujan di bulan Juni”, menggambarkan Yuni yang menjadi representasi susahnya menjadi perempuan usia belasan di negeri ini. Dituntut oleh berbagai norma sosial, hingga tak diberi ruang atas pilihannya sendiri. Sudah seharusnya kita akhiri ini, perempuan semestinya punya banyak pilihan dan berdaulat atas dirinya sendiri.



Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *