,

Perempuan dan Persoalan Double Standard yang Belum Juga Selesai

/
/


**

Setelah lulus S1:

Loh kok masih berkeliaran di kampus aja sih, nggak lanjut S2? Teman-teman kamu sudah pada lanjut loh.”

Setelah lulus S2:

“Alhamdulillah, sudah lulus S2, cus lanjut S3 lah.”

Atau

“Wah sudah S2 aja, lanjut S yang lain lah, S-tri (baca: istri a.k.a nikah). Nanti nggak laku-laku loh. Cowok pada minder deketin kamu.”

Setelah menikah:

“Akhirnya nikah juga ya, kamu. Cepetan ‘produksi’, biar segera punya baby.”

Setelah hamil:

“Kerja apa? Masa cuma di rumah aja? Apa nggak bosan? Mending cari kerja deh.”

Setelah dapat kerja:

“Kamu lulusan S2 tapi cuma kerja gini? Ngapain sekolah tinggi-tinggi kalau gitu? Lulusan S1 juga bisa keles.”

Setelah melahirkan dan masih bekerja:

“Anak kamu siapa yang urus? Orang tua kamu? Masa nyusahin orang tua sih? Nggak merasa bersalah?”

Setelah melahirkan dan tidak bekerja:

“Enak ya jadi kamu. Kerjanya di rumah aja. Nggak usah capek-capek cari duit, tinggal minta aja sama suami. Cuma ngurus anak dan rumah doang gampang banget.”

Atau

“Kamu sudah S2, tapi cuma ngurus rumah dan anak doang? Duh rugi banget sih.”

Saya yakin, sebagian dari kita pernah mendapatkan komentar demikian. Komentar yang kadang pedasnya melebihi cabai Jalapeno ini tak jarang menciptakan pergolakan batin di dalam diri kita sebagai seorang wanita. Setelah muncul kesadaran bagi wanita untuk mengembangkan dirinya, kok muncul double standard, ya? Apakah sesuatu yang selama ini kita sebut sebagai ‘emansipasi wanita’ benar-benar bermakna ‘emansipasi’ sebagaimana mestinya?

Tak ayal lagi, di era kiwari ini, sudah banyak wanita yang sadar bahwa dirinya pun berhak mendapat kesempatan yang sama untuk mengembangkan diri selayaknya pria. Semasa menempuh S2 saja, mayoritas mahasiswa di kelas saya adalah wanita. Hal senada juga tampak di tempat kerja. Bukankah ini indikasi bahwa wanita sudah semakin ‘melek’ dengan ‘diri’ nya?

Meskipun demikian, nilai-nilai yang dikonstruksi oleh masyarakat masih tidak berubah, bahkan tampaknya semakin menekan wanita. Yang lebih menyakitkan lagi, tak jarang tekanan itu muncul dari mulut sesama wanita. Kan jadi lucu. Seharusnya, women support women, bukan malah sebaliknya.

Wanita yang memiliki pendidikan tinggi maupun jabatan tinggi dan berdikari kini sudah dianggap keren. Artis seperti Maudy Ayunda dan Tasya Kamila yang memilih melanjutkan S2 semakin dijadikan idola. Sri Mulyani dan Tri Risma Harini juga semakin dipuji karena jadi mentri. Nama Najwa Shihab, Kalis Mardiasih, dan Gitasav pun tak ketinggalan menjadi figur inspiratif yang dijadikan panutan para wanita.

Banyak wanita yang menempuh jalan yang sama, berani speak up, berani mendobrak dan melampaui batas yang sudah sekian lama dikonstruksi masyarakat, agar bisa ‘merdeka’. Namun, setelah ‘kemerdekaan’ itu didapat dan kesetaraan sudah dirasa, wanita tersebut tetaplah wanita dengan stigma yang begitu-begitu saja.

Sebagaimana yang dikatakan Holmes (2008), masyarakat cenderung mengharapkan wanita memiliki perangai yang lebih baik dibanding pria, mengingat perannya kelak sebagai seorang ibu. Arkian, wanita itu harus sempurna lahir dan batin. Akan ada persepsi negatif ketika si wanita yang sudah berpendidikan tinggi, memilih untuk menunda atau bahkan tidak menikah sama sekali karena ingin fokus pada karirnya.

Pun, andaikan mereka sudah menikah tetapi tidak bekerja, ya masih jadi omongan juga. Apalagi, sudah berpendidikan tinggi, menikah, bekerja, tetapi memilih menunda atau bahkan tidak mau punya anak alias child free seperti isu yang lagi booming saat ini. Wah, bakal dihina-hina lah. Wanita yang mampu menduduki jabatan penting di ruang publik juga dianggap perlu diwaspadai, sebab bisa dianggap ancaman di dalam rumah tangga karena berpotensi terlalu dominan.

Kondisi ini sebagian besar tidak dialami oleh pria. Pria berpendidikan tinggi itu keren. Pria punya pekerjaan yang mapan itu keren. Pria yang menunda menikah karena ingin sukses pada karirnya terlebih dahulu bukanlah sebuah kesalahan. Pria yang memilih tidak menikah juga tidak apa-apa. Pria yang menikah kemudian tidak memiliki anak dalam jangka waktu tertentu juga bukan kesalahannya, melainkan kesalahan wanitanya, entah karena faktor kesuburan atau hal lain. Hanya ada satu kondisi yang membuat pria terlihat salah: tidak bekerja. Selebihnya, oke-oke saja.

Jadi, siapa bilang wanita selalu benar dan lelaki selalu salah? Faktanya, kami sering sekali salah dan disalahkan. Bahkan kabarnya, saking seringnya salah, nabi melihat kebanyakan penghuni neraka adalah wanita. Ah, ternyata menjadi wanita itu berat, Bung. Dan mirisnya lagi, kekerasan dan ketidakadilan terhadap wanita masih marak terjadi. CNN Indonesia mencatat per Januari-Juli 2021, ada 2.500 kasus kekerasan terhadap perempuan. Terjadi kenaikan 100 kasus dibandingkan tahun lalu. Terakhir, saya membaca berita tentang wanita yang dibunuh pacarnya karena hamil. Sungguh ironis.

Tampaknya, double standard ini akan selalu dialami para wanita. Perempuan ini dituntut untuk menjadi super dalam berbagai keadaan dan multi tasking dalam berbagai kesempatan. Dunia seakan-akan berkata “Kalau kamu mau sekolah ya silakan, bekerja ya silakan, tapi jangan lupa, kamu itu ‘wanita’ dengan segala kodratnya.” Ya, tentu saja kita sudah mafhum bahwa kodrat memang tak bisa dielak dan harus dijalani dengan sepenuh hati. Tetapi, penting untuk memahami apa itu ‘kodrat’. Sebagaimana kata Najwa Shihab, kodrat wanita itu hanya tiga: haid, hamil, dan menyusui. Sebab, ketiganya tidak bisa dikerjakan dan digantikan oleh pria. Memasak, membereskan rumah, dan hal-hal domestik lainnya adalah kodrat yang dikonstruksi oleh masyarakat, yang sayangnya justru sangat diamini dan dijunjung tinggi di dalam masyarakat kita.

Ah, rasanya sulit sekali bagi wanita untuk mencapai standar ‘sempurna’. Gerakan emansipasi yang sudah berjalan pun, meski memberi kesempatan seluas-luasnya kepada wanita untuk mengekspresikan dirinya agar bisa setara, juga tampak melahirkan double standard.

Jadi, wanita masa kini akan dianggap merugi jika hanya berdiam diri di rumah, tidak sekolah tinggi dan tidak bekerja. Tetapi di waktu yang bersamaan, mereka juga akan dianggap salah ketika tidak bisa membagi waktu dengan baik untuk menjalankan urusan domestik dan hal lain yang katanya ‘kodrat’ hasil konstruksi masyarakat tadi.

Duh, salah mulu ya kita, kapan benernya nih?

Mungkin, sampai ladang gandum berubah jadi choco crunch pun, wanita akan selalu salah, bahkan di mata sesama wanita itu sendiri.

**



One response to “Perempuan dan Persoalan Double Standard yang Belum Juga Selesai”

  1. Avatar
    Reza

    Kalau di agama Islam, kewajiban wanita hanya 2, yaitu mengurus anak dan urusan ranjang. Sisanya kewajiban laki2, seperti memasak, membereskan rumah, dll. Tetapi di masyarakat Indonesia, memasak, membereskan rumah, dll, dianggap sebagai kewajiban wanita juga.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *