Sebuah pertanyaan klise dari masyarakat negara berkembang dengan sejagat problemnya—ketimpangan ekonomi, sulitnya akses pendidikan dan kesehatan, serta budaya patriarkinya, yakni; “perempuan berpendidikan tinggi, untuk apa?”
Tidak heran muncul pertanyaan demikian, lha wong tujuan berpendidikan atau sekolah sampai jenjang tinggi saja masih diperdebatkan. Buat apa sekolah tinggi-tinggi kalau lapangan pekerjaan tidak tersedia luas? Kalau akhirnya ikut nguli dan jualan. Ngabis-ngabisin biaya saja. Apalagi pendidikan tinggi untuk perempuan, pasti lebih dipermasalahkan.
Sebuah jawaban yang masyhur untuk pertanyaan “perempuan berpendidikan tinggi, untuk apa?” mengatakan: perempuan berpendidikan tinggi, berprestasi, bersekolah sampai jenjang tinggi, adalah untuk anaknya. Adalah agar ia dapat mendidik anaknya dengan baik.
Jawaban itu memang betul. Namun, rasanya, jawaban tersebut masih sempit dan keliru. Seakan manfaat pendidikan bagi perempuan dibatasi hanya untuk anaknya. Jika muncul pernyataan “untuk apa laki-laki berpendidikan tinggi?” Pasti jarang muncul jawaban yang sempit sekadar “untuk mendidik anaknya”.
Jawaban tersebut mengesankan, pertama, seakan-akan urusan pengasuhan anak hanya dilimpahkan pada perempuan (istri atau ibu). Masyarakat kita masih tak sedikit yang beranggapan pengasuhan anak adalah kodrat perempuan. Di sini jika terjadi kesalahan pengasuhan pada anak, maka akan rawan bagi sang ibu yang paling disalahkan. Padahal kodrat perempuan adalah sesuai biologisnya—hamil, melahirkan, dan menyusui. Kodrat tersebut pun harus disertai lingkungan dan kesiapan diri yang mendukung. Pengasuhan anak sendiri, adalah kodrat kedua orang tuanya—ayahnya (lelaki) dan ibunya (perempuan). Ungkapan al umm madrasatul ula, “ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anak”, dalam buku Qira’ah Mubadalah yang ditulis K.H. Faqihuddin Abdul Qadir, adalah sebuah pernyataan tentang pentingnya pendidikan bagi perempuan agar kelak saat menjadi ibu, mampu mendidik anaknya dengan baik. Di sisi lain, secara substansi, ungkapan itu berarti siapa pun yang di dekat sang anak, maka merekalah yang akan menjadi sekolah pertama bagi anak tersebut. Sebab itu, istilah al-umm dari sisi mubadalah, lebih tepat dimaknai orang tua atau keluarga terdekat, bukan ibu semata. Peran sosok ayah, juga sangat memengaruhi dalam tumbuh-kembang anak. Ketidakhadiran atau sikap tak acuh sosok ayah pun akan berpengaruh bagi anak. Dalam Islam, pendidikan dan pengasuhan anak pada prakteknya adalah tanggung jawab yang diemban ayah dan ibu. Sehingga anak tumbuh dengan psikis dan fisik lebih sehat. Nabi Muhammad pun memberi teladan turut mengasuh anak—menggendong, bermain, memberi pengajaran, dan praktek pengasuhan lainnya.
Kedua, jawaban tersebut seakan-akan melimpahkan beban kemampuan menghasilkan anak pada perempuan saja. Seakan-akan perempuan hanyalah mesin penghasil anak (hanya benda). Walaupun kodrat biologis perempuan adalah hamil dan melahirkan, tidak semestinya perempuan direduksi seputar kemampuan hamil dan melahirkan saja. Masih seputar macak, masak, manak. Masyarakat kita pun masih banyak yang menodongkan kemampuan menghasilkan anak pada istri saja. Jarang suami mendapat tekanan (berkedok perhatian) “kapan isi?” atau “kapan punya anak?”.
Perempuan—baik yang tidak memiliki anak maupun yang memiliki anak, adalah manusia seutuhnya, sebagaimana laki-laki juga manusia seutuhnya. Manusia utuh yang memiliki dimensi spiritual dan intelektual. Manusia utuh yang terdiri dari tubuh dan jiwa. Manusia utuh dengan segala kompleksitasnya.
Akhirul kalam, setiap manusia berhak memenuhi kebutuhannya—sandang, pangan, papan, juga pendidikan. Nabi Saw. bersabda “menuntut ilmu wajib hukumnya bagi tiap muslim dan muslimah”. Perempuan berpendidikan tinggi dan laki-laki berpendidikan tinggi adalah untuk mengembangkan bakat, memenuhi kebutuhan intelektual, dan membentuk diri menjadi pembelajar sejati. Manfaat pendidikan sejatinya adalah untuk individu itu sendiri, kemudian semestinya akan meluas kemanfaatannya untuk orang lain, keluarga, masyarakat, hingga bisa jadi untuk seluruh manusia dan alam semesta.
Sudah saatnya tidak mempersempit ruang gerak perempuan sebatas seputar anak, suami, dan kegiatan domestik. Saatnya kita wujudkan ruang publik yang aman bagi laki-laki dan perempuan pada tiap waktu. Dan saatnya kita wujudkan kesalingan kerja sama antara suami dan istri pada karir, anak, keluarga, dan urusan domestiknya.
*Sumber gambar ilustrasi: Hops.id
Leave a Reply