Genap sebulan saya merasakan hidup sebagai difabel, membatasi aktivitas karena tulang lengan kanan patah, sejak kecelakaan yang menyebabkan saya “difabel” itu tangan kanan saya vakum dari semua aktivitas. Alih-alih beraktivitas, menggerakkan jemari saja tidak bisa. Untunglah tangan kiri dan anggota badan lainnya sangat kooperatif menggantikan peran tangan kanan, makan, minum, pakai baju, cuci dan lain sebagainya.
Sebagai muslim saya punya kewajiban personal untuk wudu dan salat sebisa mungkin (mā istaṯā’a). Sebelum patah sampai 7 hari pertama saya menstruasi jadi bebas dari urusan wudu dan salat. Belum kepikiran jauh bagaimana wudu dengan balutan perban dan kayu di lengan. Namun setelahnya saya merasa kesulitan melakukan ketentuan keringanan (rukhsah) dalam fikih yang selama ini saya ketahui untuk pemakai perban (şāhibu ak-jabāir).
Sejak dulu yang saya tahu, ketentuan bersesuci untuk pemakai perban; jika yang diperban adalah anggota wudu maka cukup diusap perbannya, sebagai gantinya harus tayammum karena ada bagian yang tidak tersentuh air. Okelah ini keringanan. Tidak perlu membuka perban dulu, cukup diusah perbannya.
Tapi ada embel-embel tambahan, jika saat memakai perban dalam keadaan hadas atau ada najis di badan maka nanti setelah sembuh harus mengganti semua salat yang dikerjakan selama pakai perban itu. Nah Lo, aku kok merasa ini berat banget ya?
Sejak pertama pakai perban saya sudah menstruasi dan baru dibuka 30 hari setelahnya, maka kalau ikut ketentuan tadi saya harus mengganti salat selama 3 minggu, 5 (salat wajib dalam sehari) x 21 hari=105 salat.
Astaghfirullah, saya mohon ampun atas kelemahan diri yang merasa tidak mampu bahkan sebelum mencoba. Untuk salat saat sakit saya harus berusaha menahan ngilunya tulang tiap bergerak, masihkah saya harus mengganti salat yang saya lakukan dengan susah payah itu? Akhirnya saya telusuri lagi fikih empat madzhab.
Imam Nawawi pembesar madzhab syafi’iyah mensyaratkan 2 hal dalam kebolehan mengusap perban; 1) perban menutupi bagian yang sakit saja dan bagian untuk menopang balutan perban, 2) memakai perban dalam keadaan suci dari hadas dan najis. Menurut pendapat lain (wa fī wajhin) tidak mensyaratkan suci. Sedangkan menurut pendapat yang sahih wajib suci, jadi kalau memakai perban dalam keadaan hadas, harus dibuka dulu jika memungkinkan, dan jika tidak maka tidak perlu dibuka namun salat selama pakai perban tersebut harus diganti setelah suci nanti (Raudatu at-Tālibīn wa ‘Umdatu al-Muftīn 1/106).
Ahmad At-Ṯahṯāwī ulama madzhab hanafiyah tidak mensyaratkan suci (hadas-najis) saat memakai perban karena menyulitkan dan mennyakitkan. Muhammad al-‘Arabī dalam kitabnya al-Khulāşah al-Fiqhiyah ‘alā Madzhabi as-Sādati al-Mālikiyah mengatakan dengan tegas tidak ada syarat suci sebelum memakai perban.
Syekh Wahbah Zuhailī dalam magnum opusnya merangkum pendapat 4 madzhab dan beberapa ulama, kesimpulannya adalah menurut madzhab hanafiyah dan malikiyah, suci bukanlah syarat kebolehan mengusap perban. Memakai perban dalam keadaan suci atau tidak maka tetap boleh mengusap perban dan tidak perlu mengulang salat, untuk menghindari kesulitan saat sakit (memakai perban) dan setelah sembuh. Pasalnya, menurut syekh Wahbah pendapat inilah yang lebih masuk akal untuk disebut sebuah keringanan (rukhsah) karena hampir dipastikan tidak ada yang berencana mengalami luka dan memakai perban. Maka mensyaratkan suci hanya akan mendatangkan kesulitan lain (Al-Fiqhu al-Islamī wa Adillatuhū 1/504).
Ini hanya secuil dari perbedaan pendapat yang saya temukan dan masih banyak lagi pendapat serta alasan ulama lain. Namun dari perbedaan di atas setidaknya saya –dan mungkin juga pembaca yang budiman- bisa mengetahui dan kemudian memilah mana yang layak dipakai, tentu sesuai kondisi dan situasi. Jangan sampai terlena memakai pendapat hanya karena dinilai paling ringan dan mudah.
Jika anda pengikut madzhab syafi’iyah, ditakdirkan mengusap perban dan memungkinkan untuk mengganti salat maka silahkan ganti namun jika itu memberatkan karena masa pemakaian perban relatif lama, sebulan dua bulan misalnya, maka silahkan pakai pendapat hanafiyah dan malikiyah.
Adapun saya, tanpa mengurangi penghormatan terhadap madzhab yang pendapatnya banyak saya pakai selama hidup, berdasar keyakinan atas firman-Nya “Allah tidak menginginkan kesulitan” saya ikut pendapat yang tidak memberatkan saat sakit dan saat sembuh nanti. Dengan ini saya bersaksi bahwa perbedaan pendapat sungguh menjadi rahmat.
WalLahu A’lamu.
Artikel ini adalah hasil kerja sama neswa.id dan Jaringan GUSDURian untuk kampanye #IndonesiaRumahBersama
Leave a Reply