Neswa.id- Keseimbangan antara kesejahteraan dan kebahagiaan merupakan bentuk ideal dari kehidupan berumah tangga. Keduanya dapat dicapai dengan ketahanan keluarga yang tinggi. Ketahanan keluarga yang dimaksud adalah kemampuan menghadapi dan mengelola masalah agar fungsi keluarga tetap berjalan dengan harmonis, untuk mencapai kesejahteraan lahir dan kebahagiaan batin anggotanya.
Sebuah keluarga akan mencapai tahapan tersebut apabila fungsi keluarga berjalan secara selaras dan seirama. Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) menerangkan bahwa salah satu fungsi keluarga adalah berkaitan dengan dimensi agama. Keluarga memiliki tanggung jawab untuk memperkenalkan dan mengajak anak serta anggota keluarga lainnya dalam kehidupan beragama.
Hal ini menunjukkan bahwa keluarga bukan hanya menjadi lingkungan tempat tumbuh kembang fisik, tetapi juga sebagai wahana pendidikan keagamaan bagi anggota keluarga. Sebab pengetahuan agama menjadi bekal yang sangat berharga untuk membentuk pondasi kuat bagi keluarga khususnya dalam menghadapi berbagai tantangan di masa depan.
Perempuan sebagai istri sekaligus seorang ibu dan pendidik, memegang peran yang sangat signifikan dalam menciptakan ketahanan suatu keluarga, terutama berkaitan dengan manajemen kehidupan rumah tangga dan perkembangan serta pendidikan anak. Ibu merupakan rumah pertama bagi seorang anak bahkan sebelum anak dilahirkan. Ibu adalah wanita yang selalu mengayomi, tulus melindungi, dan merawat anak-anaknya, serta tempat mengeluh di kala anak-anaknya sedang menghadapi berbagai masalah kehidupan. Ibu juga merupakan madrasah pertama bagi anak-anaknya. Sebagaimana yang telah di ungkapkan oleh penyair ternama Hafiz Ibrahim, al-ummu madrasah al-ulaa.
Dalam QS. at-Tahrim ayat 6 disebutkan:
يٰٓاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا قُوْٓا اَنْفُسَكُمْ وَاَهْلِيْكُمْ نَارًا وَّقُوْدُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ عَلَيْهَا مَلٰۤىِٕكَةٌ غِلَاظٌ شِدَادٌ لَّا يَعْصُوْنَ اللّٰهَ مَآ اَمَرَهُمْ وَيَفْعَلُوْنَ مَا يُؤْمَرُوْنَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu. Penjaganya adalah malaikat-malaikat yang kasar dan keras. Mereka tidak durhaka kepada Allah terhadap apa yang Dia perintahkan kepadanya dan selalu mengerjakan apa yang diperintahkan.” (QS. At-Tahrim [66]: 6)
Ayat “Quu Anfusakum wa Ahlikum Naaron” menurut Wahbah al-Zuhaili bahwa setiap seorang muslim diberikan amanah untuk mendidik dirinya juga keluarganya. Dalam konteks ini mendidik tidak hanya dalam pengetian jasmani atau pendidikan formal saja namun juga pentingnya rohani atau spiritual agar tumbuh dan berkembang dengan baik. Seorang anak harus dididik dan diperintah untuk taat kepada Allah dan melarang mereka dari berbuat buruk atau maksiat, serta diberi nasehat sehingga tidak melakukan perbuatan yang mengundang murka Allah. (Tafsir al-Munir, Juz 28, h. 316)
Quraish Shihab menyoroti bahwa tanggung jawab ini bukan hanya tugas satu orang saja, katakanlah suami sebagai kepala keluarga, tetapi juga melibatkan seluruh keluarga termasuk perempuan khususnya perannya sebagai ibu dalam mendidik dan mengajarkan nilai-nilai moral. Sebagaimana ayat-ayat yang serupa misalnya perintah untuk berpuasa yang juga tertuju kepada kaum laki-laki dan perempuan, ini berarti kedua orang tua bertanggung jawab terhadap anak-anaknya dan juga pasangannya masing-masing. (Tafsir al-Misbah, Jilid 14, h. 326-327)
Senada dengan Fakhruddin ar-Razi yang menekankan pentingnya pendidikan agama dalam keluarga dalam menafsirkan ayat ini. Bahwa pengetahuan mengenai agama hendaknya disampaikan secara aktif kepada anggota keluarga. Hal ini bukan hanya sebagai kewajiban, melainkan sebagai sarana untuk memastikan bahwa anggota keluarga dapat mengamalkan ajaran agama dalam kehidupan sehari-hari. (Tafsir Mafatih al-Ghaib, Vol 16, h. 520)
Pendidikan dalam Surat at-Tahrim ayat 6 ini setidaknya terdapat dua poin penting. Pertama, pendidikan keteladanan. Dalam redaksi ayat “Quu anfusakum” yang bermakna jagalah dirimu. Maka unsur keteladanan dalam diri menjadi hal yang utama dan pertama. Dalam konteks pendidikan keluarga, orang tua terutama seorang ibu merupakan model yang sangat berpengaruh terhadap perkembangan karakter anak-anaknya. Ketekunan ibu dalam hal beribadah dan berperilaku sesuai dengan norma agama akan membawa dampak besar bagi keluarga terutama anak.
Kedua, pendidikan agama. Menurut Nur Kholis Madjid, tidak hanya dibatasi kepada pengertian yang bersifat konvensional sebagaimana hanya sekedar menjalankan ritual-ritual keagamaan semata, melainkan dengan beragama sesungguhnya mengantarkan manusia kepada penyempurnaan berbagai keluhuran budi. Dalam konteks ini, perempuan sebagai bagian integral dari keluarga, memiliki peran kunci dalam menyampaikan nilai-nilai agama kepada anggota keluarga.
Oleh karena itu, melalui pendidikan keagamaan, terutama peran perempuan dalam mewujudkan dan mengajarkan ajaran agama dan nilai-nilai qurani dalam keluarga, akan terlihat bagaimana ketahanan keluarga dapat diwujudkan. Keterlibatan perempuan dalam menjalankan peran ini bukan hanya sebagai pelengkap, tetapi sebagai elemen yang sangat penting dalam menciptakan keluarga yang sejahtera dan bahagia. Wallahu a’lam. (IM)
Leave a Reply